Bagaimana bila diriku terlalu mencintaimu?
•-----•
Daniel Dirgantara; pemuda berparas tampan bak seorang idol itu tengah menyeruput secangkir kopi susu panas di balkon kamarnya.
"Gue harus percaya omongan si Kino nih?" gumamnya pelan setelah meletakkan cangkir tersebut.
Sudah seminggu berlalu. Ia masih tak habis pikir bagaimana bisa Vernon, sahabatnya sendiri mencoba menusuk dirinya dari belakang.
Helaan napas terdengar darinya. "Kayaknya bener deh, Vernon nggak mungkin nikung gue! Eh tapi..." Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, "... mikir apaan sih lo Niel!" monolognya.
"ABAAANG!" tiba-tiba sang Ibu berteriak dari lantai bawah.
Beruntung Daniel tidak sedang meneguk kopi susu panasnya. Bagaimana jika... ah, tidak-tidak. Kasihan pemuda tampan itu kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Ia segera beranjak dari duduknya dan keluar kamar. "Iya ma, ada apa?" tanyanya sambil menuruni tangga.
"Ada temen kamu di depan tuh. Mama suruh masuk tapi dia nggak mau," jawab sang Ibu dari bawah tangga.
Daniel sampai pada anak tangga. "Siapa ma? Vernon? Atau Kino?"
"Bukan." Sang Ibu menggeleng singkat.
"Lah terus siapa?" tanya Daniel penasaran.
Ibu nan cantik jelita tersebut hanya membalas dengan senyuman. Lalu, ia kembali ke dapur dan meninggalkan putranya dalam keadaan bingung.
"Ih mama kesambet apaan coba? Pake senyam-senyum begitu." Daniel beranjak dari tempatnya, menuju teras rumah.
Ketika ia sampai di depan pintu utama, seluruh tubuhnya tiba-tiba saja kaku dan keterkejutan tak bisa ia hindari.
Kenapa?
Ada apa?
Ternyata, seseorang yang datang menemui Daniel adalah Sejeong. Ya, gadis yang selama ini selalu ia rindukan dalam diam. Ia sesali setiap kebersamaannya selama ini.
Menyesal?
Karena apa?
Jawabannya adalah... Tidak, jangan sekarang. Nanti saja.
Baiklah kembali ke cerita...
"Hai Niel," sapa Sejeong yang begitu ramah, dengan senyuman yang mengembang di wajah cantiknya.
Bagaimana dengan hati Daniel? Ah, jangan ditanya lagi. Ia begitu bahagia hingga tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana sapaan gadis itu.
Sejeong melambaikan kedua tangannya di hadapan wajah Daniel. "Hai Niel. Ada apa denganmu?" tanyanya bingung.
"Ah, Se..." Daniel mengerjap berkali-kali dan menjadi salah tingkah. "Ada keperluan apa Se? Ah, maaf silahkan masuk." Ia mempersilahkan Sejeong masuk ke dalam dan duduk di sofa yang bersebrangan.
Sejeong mengangguk dan tersenyum. Ia pun duduk dan meletakkan tasnya di pangkuan. "Aku akan mengajar pelajaran tambahan untuk Renjun dan teman-temannya. Mereka memintaku datang ke sini."
"Ah, begitu. Silahkan tunggu di sini sebentar. Renjun dalam perjalanan pulang kayaknya."
Sejeong mengangguk tanda mengerti.
"Kamu mau minum apa Se?" tanya Daniel.
"Nggak perlu repot-repot Niel. Aku nunggu Renjun dan temen-temennya aja." Sejeong merasa canggung dengan keadaan seperti ini.
Daniel mengangguk kecil. Tanpa sadar, ia meremas kedua tangannya sendiri akibat kegugupan yang dirasakannya. Ya Tuhan, mimpi apa gue semalem? Batinnya.
Detik demi detik telah berlalu dengan kesunyian antara keduanya. Hingga Ibu Daniel menghampiri sambil membawa sebuah nampan beserta isinya —minuman dingin dan cemilan.
Sejeong beranjak dari duduknya, berniat ingin membantu Ibu Daniel membawakan nampannya. Tapi, dicegah oleh wanita dewasa itu.
"Diminum Se." Tawar Ibu Daniel sambil meletakkan nampan di atas meja. Kemudian ia duduk di samping gadis itu.
Sejeong tersenyum lembut. "Makasih banyak tante."
"Yaampun 'nak Sejeong, udah lama banget nggak main ke rumah," ucap Ibu Daniel sambil melirik putra sulungnya.
"Iya maaf tan, sekarang Seje agak sibuk karena udah mulai ngajar di sekolah," jawab Sejeong sopan.
"Oh iya, kata Renjun kamu jadi wali kelasnya ya sekarang? Ya ampun kamu udah jadi guru sekarang."
"Iya tan. Makanya sekarang Seje mau ngisi pelajaran tambahan buat olimpiade bulan depan. Renjun dan temennya kebetulan terpilih tan."
Ibu Daniel mengangguk paham. Lalu, ia melirik putra sulungnya dan memberi kode dengan matanya.
Si mama apa-apaan sih? Pake main mata segala. Batin Daniel.
Sang Ibu gemas melihatnya. Ih anak siapa sih? Nggak peka banget, beda sama Papanya. Batinnya.
Ibu dan anak itu seperti perang batin. Sedang, Sejeong hanya memerhatikan keduanya sambil mengernyitkan dahi karena bingung.
Hingga, tiba-tiba suara gaduh mulai terdengar. Ternyata Renjun dan teman - temannya datang. Kecuali, Felix.
"Lo sih nggak liat mukanya Jaemin pas gue kerjain tadi." Jeno bercerita kepada Renjun dengan antusias.
"Parah emang tuh bocah. Untung Lira lagi nggak pms. Bisa abis gue!" Jaemin menepuk pundak Jeno.
Sedang Renjun dan Hyunjin hanya menggelengkan kepalanya melihat sahabat - sahabatnya beradu mulut.
"Lah, Bu Seje udah sampe duluan?" tanya Hyunjin.
Sejeong berdiri dari duduknya. "Ibu baru aja sampe kok."
Jaemin dan Jeno berhenti berkelahi dan tersenyum canggung, lalu mencium tangan Ibu Daniel dan Renjun.
"Siang tante... makin cantik aja tan," goda Jaemin sambil menunjukkan cengengesannya.
"Mama gue woy! Jangan digombalin!" protes Renjun.
Sang Ibu hanya tertawa pelan. "Siang anak - anak, yaudah duduk dulu biar mama bikinin minuman dingin." Ia pun berjalan menuju dapur.
"Sekalian cemilan ya ma," celetuk Jeno dan mendapat jitakan dari Renjun.
Daniel yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. "Hhh berisik banget! Ganggu aja!"
Renjun mengangkat tangannya agar sahabat - sahabatnya diam.
"Woy! Lo berdua diem kenapa! Itu bang Daniel marah!" pekik Hyunjin.
Sejeong melirik Daniel dan tersenyum kecil.
"Sabar bang, ntar ada waktunya buat berduaan sama bu Seje. Ya nggak bu?" goda Renjun.
"Kamu ini Jun. Jangan didengerin ya Niel," jawab Sejeong, yang membuat hati Daniel tersakiti secara tak langsung.
Jaemin dan Jeno mulai menggoda Daniel. Mereka meletakkan satu tangannya di dada - dada masing - masing, seakan seperti kesakitan. Jangan lupakan wajah keduanya yang begitu menyebalkan —menurut Daniel.
"Yaudah lanjut, gue ke atas dulu," ujar Daniel. Ia pun meninggalkan ruang tamu.
"Jeno dan Jaemin kenapa kalian ada di sini?" tanya Sejeong.
Benar, seharusnya hanya ada Renjun dan Hyunjin. Karena mereka berdua yang terpilih untuk mengikuti olimpiade matematika nanti.
Jaemin menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "Kami pengen belajar juga bu, boleh 'kan ya?"
"Belajar atau mau main Jae?" celetuk Hyunjin sambil tersenyum nakal.
Jeno menjitak Hyunjin mewakili Jaemin.
"Ya sudah nggak apa - apa. Renjun dan Hyunjin, ayo mulai bimbingannya. Jaemin dan Jeno tolong jangan mengganggu ya," jelas Sejeong.
"SIAP BU," ucap Jeno dan Jaemin bersamaan.
Sejeong tersenyum melihat tingkah laku siwa - siswanya, lalu ia melirik ke arah tangga di mana Daniel melewatinya tadi. Senyuman luntur seketika dan berubah menjadi tatapan sendu.