•-----•
Meet (again)
•-----•
"Ah, tadi Jaehyun meneleponmu. Kau diminta segera membantunya di kitchen." Aya baru mengingat bahwa beberapa menit lalu ada pesan untuk sahabatnya itu —ah, ralat. Kekasih baru sepuluh menitanya itu —Lee Jeno.
Astaga, apa yang sudah Aya pikirkan sampai - sampai menerima tantangan dari Jeno untuk menjadi kekasihnya. Satu hal yang harus Aya ingat, sebelum mengenal Mingyu, ia sempat menyukai Jeno; sahabatnya sendiri.
Lantas sekarang? Aya menjadi kekasih dadakannya Jeno. Akankah rasa yang dulu Aya pendam, akan muncul kembali ke permuakaan? Bagaimana dengan Jaehyun dan Mingyu yang menyepakati sesuatu?
Entahlah...
Terlihat Jeno menyambar ponselnya yang sedari tadi tergeletak di atas meja. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku harus segera kembali kalau begitu. Kau akan makan malam di restoran La Bosseade atau bagaimana?"
"Aku belum tahu. Nanti akan kuhubungi. Sudah sana kembali bekerja," sahut Aya lalu menyedot minuman yang ada di genggamannya.
Jeno mengangguk sembari menyapu sisa cokelat yang ada di ujung bibir Aya. "Makannya jangan seperti anak kecil. Ya sudah aku pergi. Sampai jumpa nanti," ucapnya.
Meninggalkan Aya yang masih mematung akibat perlakukan spontan dari Jeno yang menyentuh bibirnya. Bahkan gadis itu mengulangi perbuatan Jeno sambil tersenyum simpul.
"Ya, hati - hati doneus!" sahut Aya lantang, walau Jeno tak dengar karena ia sudah berlalu pergi.
"Tapi, kenapa ekspresi Jeno biasa saja saat aku sudah menyanggupi tantangannya? Atau seharusnya kutolak? Ah, molla!" gumam Aya.
Aya, gadis itu meraih tasnya dan beberapa berkas yang ada di atas meja, lalu beranjak dari tempatnya menuju halte bus yang tak jauh dari minimarket tersebut.
Tak ada hujan, bahkan tak ada badai... tiba - tiba ada suara klakson mobil tepat di belakang Aya. Otomatis gadis itu terkesiap dan siap untuk mengomel.
Namun, omelan itu terasangkut saat Aya menoleh dan mendapati pelaku yang membunyikan klakson. Ternyata, Mingyu. Kim Mingyu mantan terindah Aya. Ah bukan, mantan saja.
Dengan gerakan cepat, Aya memutar kembali tubuhnya dan mengambil langkah lebar bahkan seperti setengah berlari. Ia tak menghiraukan Mingyu yang meneriakkan namanya.
"AYA PARK! TUNGGU!" teriak Mingyu yang sudah turun dari mobil. Bahkan laki - laki itu mengejar Aya.
Langkah kaki jenjang milik Mingyu, berhasil menyusul langkah Aya yang semakin menipis. Mingyu mencekal pergelangan tangan gadis itu hingga membuatnya berhenti.
Dengan tegas Aya menghentakkan tangannya dan terlepas dari genggaman Mingyu. "Apa maumu?!" tanya Aya ketus.
Terlihat Mingyu yang menatap Aya sendu. "Maafkan aku..." sahutnya lirih.
O, astaga! Inilah kelemahan Aya. Ia tak tahan melihat seseorang memasang wajah memelas di depannya. Kini gadis itu menjadi serba salah.
Aya mendesah pelan. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi Gyu. Aku sudah memaafkanmu. Maafkan aku juga atas kejadian semalam. Aku —"
"Ya, aku tahu. Semalam kau dibawah pengaruh alkhohol. Aku tahu kalau kau tak kuat minum lebih dari dua gelas," potong Mingyu.
Lihat? Kim Mingyu masih sangat mengingat kebiasaan Aya Park seperti biasa. Bukankah itu tandanya ia masih sering memikirkan Aya? Lantas, kenapa ia harus mengakhiri hubungan dengan gadis itu?
Aya mengangguk pelan. Suasa menjadi canggung padahal disekitar mereka —Aya dan Mingyu cukup ramai. Di tepi jalan, Mingyu menghentikan langkah Aya yang ingin menghindarinya.
"Bisakah kita mengobrol sebentar? Ada yang perlu aku bicarakan," ucap Mingyu menepis kecanggungan yang ada.
"Mengobrol? Membicarakan apa? Haruskah aku menurutinya?" batin Aya.
Sejujurnya, Aya sangat ingin tahu alasan kenapa Mingyu memutuskan hubungan yang sebelumnya tidak ada masalah. Keputusan yang sangat tiba - tiba itu membuat Aya berpikir banyak. Apakah Mingyu hanya mempermainkannya atau memang ada alasan lain kenapa laki - laki itu sampai tega terhadapnya.
Namun, lagi - lagi rasa gengsi dan egonya lebih besar dari rasa penasaran yang ia rasakan. Aya, keras kepala!
"Kurasa aku sudah bilang padamu tadi. Sudah tidak ada yang pelu dibicarakan lagi. Aku permisi kalau begitu," sahut Aya. Lalu memutar tubuhnya dan melanjutkan langkahnya menuju halte bus.
Saat ini Aya butuh ketenangan. Ia akan mengikuti kata hatinya yang akan membawanya entah ke mana.
Sedangkan Mingyu, laki - laki itu hanya diam di tempatnya sambil memerhatikan punggung Aya yang semakin jauh. Tak ada hak, untuk Mingyu menghentikan Aya. Jadi, ia menyerahkan semuanya pada waktu dan takdir.
"Kuharap kau bahagia, Aya. Itu inginku sebagai seseorang yang teramat mencintaimu sampai detik ini," gumam Mingyu.
Laki - laki berkulit tan itu kembali ke mobilnya dan berlalu dari sana. Meninggalkan moment yang akan tersimpan di tempat itu dan jalanan serta bangunan yang akan menjadi saksi bisu antara Aya dan Mingyu —untuk pertama kalinya mereka bicara langsung setelah perpisahan waktu itu.
•-----•
Jaehyun; executive chef yang baru selesai membuat hidangan makan malam untuk hari ini, tengah memandangi hasil seni (masakan) yang ada di atas meja function order.
"Nakji bokkeum; olahan gurita dengan saus pedas. Melihatnya saja membuatku merasa lapar chef," ucap Taeyong yang berdiri tepat di samping Jaehyun.
Chef tampan bak kartun dalam komik itu sedari tadi tak melepaskan pandangannya dari hidangan nakji bokkeum yang ada di atas meja. Mungkin air liurnya sudah menetes kalau saja tak ia tahan.
Jaehyun terkekeh. "Kau bisa mencicipinya chef. Sudah kusiapkan di pantry. Setelah dinner time, kau bisa menyantapnya," sahutnya.
"Woah deabakk! Gomapta chef!" seru Taeyong kegirangan. Chef satu ini benar - benar luar biasa soal kuliner. Ia sangat suka dengan makan. Padahal masakannya sendiri sangat lezat tapi selalu ingin makan masakan orang lain. Rasanya berbeda —menurutnya.
Sedang di sisi lain, Jeno tengah khawatir sebab telepon dan pesan singkatnya tak dibalas oleh Aya —kekasihnya.
Firefly
Kau di mana? |
Jadi makan malam di sini? |
Aku membuatkanmu gurita pedas... |
"Kau di mana firefly! Astaga membuatku panik saja!" monolognya sambil mengusak rambutnya kasar.
Jeno sangat ingin berlari menghampiri Aya saat ini juga. Ia sudah paham, kalau gadis itu tak ada kabarnya hanya ada dua kemungkinan. Pertama, karena tidur terlalu nyenyak dan kedua, karena ingin menenangkan diri.
Saat ini Jeno sudah memutuskan pada opsi kedua, bahwa Aya sedang ingin sendiri dan tak mau diganggu. Tapi, apa penyebabnya? Ini tak bisa dibiarkan, pikir Jeno.
"Haruskah aku izin keluar sekarang? Tapi, dinner time baru saja dimulai. Restoran sangat ramai, ck bagaimana ini!" gumamnya sambil mondar - mandir di depan kitchen.
Jaehyun baru saja keluar dari ruangan function order, mengernyitkan dahinya melihat Jeno yang tampak sangat khawatir. Terlihat dari kerutan di dahinya, juga langkahnya yang tak beraturan —mondar - mandir.
"Ada apa chef Jeno?" tanya Jaehyun. Bahkan Jeno tak menyadari kalau Jaehyun menghampirinya.
Jeno sedikit terkesiap. "Ah, chef. Tidak ada apa - apa," sahutnya sedikit ragu.
"Ya sudah, kalau begitu kau bisa tolong gantikan aku? Shiftku sudah habis dan aku akan siap - siap untuk pulang," sahut Jaehyun sambil menepuk pelan pundak Jeno.
Tanpa menunggu jawaban dari Jeno, Jaehyun langsung melangkahkan kakinya. Tapi, sebelum jauh tiba - tiba Jeno menyerukan namanya.
"Tunggu chef Jung."
"Ada apa?" tanya Jaehyun setelah menoleh.
Jeno menghampiri Jaehyun dan berkata, "bolehkah aku minta tolong padamu? Kau mengenal Aya bukan? Dia tak bisa kuhubungi, aku hanya khawatir. Rumahmu tak jauh dari taman dekat sungai Han 'kan? Kalau kau —"
"Ada apa dengannya? Nanti biar aku yang akan mencarinya. Kau tidak perlu khawatir." Jaehyun memotong ucapan Jeno dan langsung bergerak cepat. Bahkan ia tak sadar apa yang telah ia lakukan.
Sedangkan Jeno malah melongo dengan tindakan Jaehyun yang tak kalah khawatirnya itu. Ada apa dengan Jaehyun, pikir Jeno.
"Boleh aku minta nomor ponsel Aya? Siapa tahu bisa tersambung saat aku hubungi nanti?" tanya Jaehyun sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
Dengan gerakan lambat, Jeno mengangguk dan menyebutkan nomor ponsel Aya. Sampai saat ini ia masih tak paham kenapa atasannya begitu mengkhawatirkan Aya.
Apakah Jaehyun menaruh hati pada Aya? Lalu, tantangan soal menjadi kekasihnya bagaimana? Oh, Jeno rasa ini salah! Tak seharusnya ia menyetujui untuk menjadi kekasih Aya. Bagaimana kalau ini bisa jadi salah paham?
Eh? Kenapa jadi berpikir begitu? Kenapa juga Jeno harus memikirkan perasaan orang lain? Tak apa bukan kalau sekali saja Jeno egois?
Setelah mendapatkan nomor ponsel Aya, Jaehyun segera bergegas ke ruangannya untuk mengambil kunci mobil.
Meninggalkan Jeno yang penuh tanda tanya, tentang sikap Jaehyun dan juga perihal kesepakatannya dengan Aya. Ah, jangan lupakan kekhawatiran Jeno pada kekasihnya itu —Aya.
•-----•
•-----•
Red Eye Coffee
•-----•
Aku melirik jam di pergelangan tanganku, nyatanya waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di luar mobil kurasa angin berembus sangat kencang, terlihat dari dahan pohon yang berayun - ayun.
Fokus, aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut jalan yang kulewati dengan mobil yang melaju pelan. Tapi, tak jua aku menemukan sosok yang kucari —Aya Park.
Di mana gadis itu sebenarnya? Bukankah tadi chef Jeno bilang kalau Aya ada di taman dekat sungai Han? Dan saat ini aku sudah menelusuri setiap jalan di dekat taman.
Haruskah aku berjalan kaki untuk mencarinya? Kurasa jawabannya iya. Mungkin saja jangkauanku ada yang terlewat saat mencari Aya menggunakan mobil.
Baiklah, aku akan menepikan mobilku dan mencoba mencari gadis itu sambil berjalan kaki. Siapa tahu ketemu?
Kulepaskan seatbelt yang kukenakan, lalu menyambar ponsel yang ada di kursi penumpang. Sengaja aku letakkan di sana setelah mengirim pesan pada Mingyu beberapa menit lalu.
Mingyu Kim
Kau tahu di mana biasanya |
Aya menyendiri?
Ck, belum juga di baca olehnya. Ah, bukankah aku punya nomor ponsel Aya? Baiklah akan kuhubungi saja gadis itu dan bertanya dia ada di mana.
Aya dialling...
Satu detik.
Dua detik.
Hingga dering kesekian kali tak juga ada jawaban dari Aya. Hal itu membuatku mendesah pelan. Harus mencari ke mana lagi?
Lagi pula, aku sedikit aneh dengan sikapku sendiri. Kenapa juga aku begitu khawatir padanya? Apa karena kesepakatan dengan Mingyu? Ah, entahlah...
Oke, sekali lagi. Siapa tahu kali ini panggilan telepon dariku akan dijawab oleh Aya.
Aya dialling...
Ayo di angkat Aya-ssi...
Hhh, sepertinya dia benar - benar ingin sendiri. Baiklah aku akan menelusuri persis di tamannya.
Namun, tiba - tiba saat aku hendak melangkahkan kakiku, ada suara seseorang yang menyerukan namaku.
"Jaehyun-ssi?" tanya seseorang memastikan.
Aku berhenti melangkah dan menoleh, nyatanya sosok yang aku cari daritadi ada di depan mataku. Siapa lagi kalau bukan Aya Park; gadis yang mungkin sudah mencuri perhatianku bahkan hatiku (?)
"Benar, kau Jaehyun teman doneus! Apa yang kau lakukan di sini?" seru Aya.
"Aya-ssi? Harusnya aku yang bertanya. Kau sedang apa di sini?" sahutku.
"Aku? Hanya berjalan - jalan malam, mencari udara segar. Disekitar sini sangat tentram dan juga nyaman untuk menyendiri."
"Berarti, aku menganggumu?"
"Ah, tidak. Lagi pula itu hakmu melewati jalan ini."
Aku tersenyum. Dalam hati, aku bersyukur karena seseorang yang tengah kucari kini sudah ketemu. "Hm, kalau kau tak keberatan. Maukah minum kopi hangat denganku? Aku tahu kedai kopi yang sangat cozy di dekat sini."
Jangan lupakan kalau rumahku tak jauh dari taman tersebut. Sudah pasti aku tahu betul tempat - tempat yang asik untuk sekedar mengobrol atau minum kopi.
Kulihat Aya seperti ragu atau bahkan bimbang. Sepertinya dia akan kembali pulang, karena terlihat gerak - geriknya yang seperti gelisah.
"Kalau tidak bisa tak masalah. Mungkin bisa lain kali," lanjutku.
"A-ah, bukan begitu maksudku. Hanya saja aku belum izin pada Jeno. Hari ini orang tuaku pergi ke luar kota selama sebulan. Dan aku tinggal di apartemen Jeno..." sahut Aya.
What? Tinggal di apartemen yang sama? Hanya berdua? Bukankah mereka hanya teman? Bukan kakak beradik? Astaga apa yang kurisaukan!
"Kau.... satu apartemen dengan chef Jeno?... hanya berdua?"
Kulihat Aya mengangguk pelan. Lalu menggeleng kemudian. "Ada kakak perempuan Jeno yang tinggal di sana."
Fiuh... syukurlah. Tapi tetap saja mereka berdua tinggal di apartemen yang sama. Intensitas bertemu pasti akan sangat sering.
"Ah begitu. Ya sudah kau bisa menghubungi chef Jeno bukan?"
"Ya, tunggu sebentar." Aya membelakangiku dan meraih ponselnya lalu menghubungi chef Jeno.
Sekiranya sekitar tiga menit, Aya kembali menghadap ke arahku dengan senyum simpul di bibirnya. "Ayo, Jeno sudah memberi izin."
Terima kasih Tuhan! Akhirnya aku punya kesempatan untuk melakukan pendekatan pada Aya. Aku mengangguk. "Ayo." Kami pun jalan bersisian di tepi taman sambil menikmati embusan angin malam. Lupakan mobil yang kuparkir sembarang di ujung jalan sana.
"Apakah di kedai kopi itu ada red eye coffee? Itu favoritku." Aya membuka suara lebih dulu.
Red eye coffee adalah campuran dari espresso dengan kopi hitam. Biasanya penikmat kopi belum disebut addict bila tak pernah mencicipi kopi red eye.
Daebakk! Apakah ini suatu kebetulan? Kopi red eye salah satu favoritku juga. "Tentu saja ada. Karena aku sering memesan itu."
"Jinjja? Woah daebakk! Selera kita sama. Apalagi kalau menggunakan dua metode cara menikmati kopi."
"Diawali dengan menyeruputnya, lalu menghabiskan dikit demi sedikit. Benar 'kan?" jawabku.
Aya berhenti melangkah dan membuat ekspresi seperti habis mendapatkan sebuah hadiah besar. "Kau benar - benar sesuatu Jaehyun-ssi! Jeno saja selalu tak bisa menikmati kopi dengan benar. Akhirnya, aku menemukan teman untuk berbagi pengalaman tentang kopi!"
Aku terkekeh mendapati sifat lain dari seorang Aya Park. Ternyata dia gadis yang menyenangkan. Ditambah kami memiliki selera yang sama. Penikmat red eye coffee.
"Ayo Jaehyun-ssi. Aku tak sabar ingin mencicipi kopi satu itu. Kebetulan aku sedang banyak pikiran dan ..." Kulihat Aya melirikku sebelum melanjutkan ucapannya.
Aku mengernyitkan dahi bingung. "Dan... apa Aya-ssi?" tanyaku penasaran.
"Ah, tidak ada. Kita teruskan nanti saja mengobrolnya sambil menikmati kopi. Kurasa akan seru," sahutnya sambil tersenyum canggung.
Kami pun kembali melangkahkan kaki ke kedai kopi Coffee Crazy. Kebetulan kedai atau kafe tersebut milik temanku —Mark Lee; dia pembuat kopi yang sangat handal. Kopi racikannya belum ada tandingannya selama aku menikmati kopi di mana pun.
•-----•
At Coffee Crazy.
"Kita sudah sampai. Bagaimana? Sangat cozy bukan?" tanya Jaehyun.
Kurasa dia benar. Saat aku masuk ke kedai ini, aroma kopi sudah menyeruak hingga menembus hidungku. Sangat menusuk tapi menyenangkan.
Terlihat juga design tempat yang begitu nyaman dan sedap di pandang mata. Tak mencolok tapi cukup ramai dengan lukisan - lukisan hasil karya seni. Tempat duduknya juga nyaman sepertinya. Bahkan spotnya tak kalah keren dengan kedai kopi yang ada di negara barat sana.
"This cafe looks elegant," sahutku.
Kulihat Jaehyun tersenyum senang. Tiba - tiba seseorang menyerukan nama laki - laki yang datang bersamaku ini.
"Yo Jaehyun-ah! Whats up men! Woah siapa ini, bro?" seru seseorang yang entah siapa. Kurasa pemilik kedai kopi ini.
Jaehyun menyambut orang itu dengan kekehan. "Yo Mark Lee, sang Professional Copper sekaligus pemilik kedai kopi terkenal ini."
Professional Copper adalah seorang ahli yang bertugas untuk menilai rasa kopi dengan cara objektif. Tak hanya pengetahuan kopi enak dan tidak enak seperti yang kita nilai selama ini di coffee shop, mereka menilai kopi lebih dalam lagi. Menentukan kopi itu dalam kualitas baik atau tidak.
Kulihat Jaehyun dan seseorang bernama Mark Lee itu berpelukan ala men to men. "Ah, kenalkan. Dia adalah Aya Park." Jaehyun memperkenalkanku pada temannya itu.
"Partner penikmat kopi?" Kulihat Mark menyenggol lengan Jaehyun dan berbisik yang masih bisa kudengar. "Baru kali ini kau membawa seorang gadis. Woah, calonmu?" bisik Mark.
Entah kenapa, aku merasakan sensasi yang tidak biasanya. Seperti ada rasa kebahagiaan tersendiri mendengar pernyataan dari Mark itu.
Astaga! Apa yang kupikirkan! Ingat Jeno, dia kekasihku! Ah molla! Aku bingung. Untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati kopi kesukaanku; red eye coffe.
"Hi girl. Aku Mark Lee, panggil saja Mark jangan sayang. Nanti laki - laki di sebelahku akan menghabisiku," goda Mark membuat Jaehyun memukul pundak laki - laki bermarga Lee itu.
Sedangkan aku, hanya tertawa canggung.
"Ayolah Mark, kau tidak membiarkan kami duduk?" sindir Jaehyun bercanda.
Mark terkekeh. "Oh geez! Tenang saja, sudah kusiapkan spot paling cozy di meja ujung sana. Kalian berdua bisa menikmati kopi racikanku dengan santai dan nyaman. Sekalian mengobrol tentunya."
"Kau terbaik Mark-ssi. Terima kasih," sahutku sambil mengacungkan ibu jari.
Akhirnya kami berdua —Jaehyun dan aku mengikuti Mark dari belakang menuju tempat yang direkomendasikan olehnya.
Ternyata benar. Tempat ini menjadi salah satu favorit pengunjung di sini. Tepat berada di lantai dua, dengan atap terbuka dan banyaknya lampu tumblr yang menghiasi disetiap sudutnya.
Menikmati kopi ditempat yang tepat, dengan teman yang mengasyikkan bagaikan surga dunia bagiku dan mungkin Jaehyun, juga.
"Red eye coffee seperti biasa?" tanya Mark pada Jaehyun.
"Of course! Tolong buatkan dua gelas, karena si pemilik senyum manis ini, juga penikmat kopi red eye," sahut Jaehyun sambil melirik ke arahku.
O ya ampun! Jaehyun sudah berani menggodaku. Membuatku malu dan timbul semburat merah di telingaku. Bahkan seperti ada kupu - kupu yang berterbangan di dalam perutku.
Mark mengacungkan ibu jarinya. "Wait a minutes. Sambil menunggu kopinya, kalian bisa menikmati malam yang indah ini. Kebetulan bintang di langit sedang bersinar terang."
"Terima kasih Mark-ssi," sahutku.
Jaehyun pun mengangguk tanpa berkata apa pun.
Selepas Mark pergi, tak sengaja aku menangkap dari ujung ekor mataku bahwa Jaehyun tengah memerhatikanku. Membuatku menjadi salah tingkah. Hingga aku memberanikan diri untuk menatapnya.
Kami pun bersitatap cukup lama. Entah apa yang ada dipikiran Jaehyun. Jelas, bahwa aku sangat gugup saat ini karena arah pandang Jaehyun yang tak lepas dari memerhatikanku, bahkan sambil tersenyum manis.
I want to die, now!
•-----•
Comentario de párrafo
¡La función de comentarios de párrafo ya está en la Web! Mueva el mouse sobre cualquier párrafo y haga clic en el icono para agregar su comentario.
Además, siempre puedes desactivarlo en Ajustes.
ENTIENDO