Unedited
'Sh*t! Aku gak percaya aku bakalan jadi istri pak Alex. Terus gimana Rafael? Mereka berduakan temenan? Ah, pusing. Whatever. Ini juga buat Williams senior. Itung-itung nolong orang yang membutuhkan. Lagian apa susahnya jadi istri big bos?'
"So, gimana? Kamu setuju?"
Pertanyaan dari Alex membuat kembali ke dunia nyata.
"Ha? Setuju? Setuju apa, pak?"
'Ini si bos ngomong apa sih?"
Mendadak dalam sekejap suasana di ruang kerja Alex berubah lebih kelam dan dingin. Delilah tanpa sadar menelan ludah. Saat matanya bertemu dengan mata Alex, ia merasa bulu kuduknya merinding. Bulu-bulu halus yang ada di kaki dan tangannya yang sudah lima hari ini tidak ia cukur seperti terangkat.
"Pikiran kamu kemana saat saya ngomong panjang lebar tadi?" tanya Alex dengan suara lebih rendah.
"Maaf pak, itu, saya tadi hanya—"
"Sudahlah." Alex menyela Delilah tidak ingin mendengar penjelasan wanita itu. Ia menyandarkan punggungnya yang lebar di sofa, dan menengadah ke langit-langit. Alex memejamkan matanya dan mulai memijit pelipisnya perlahan-lahan.
"Kalo menurut kamu, bagaimana harusnya kita ngejelasin pernikahan kita ke orang-orang?" ujar Alex tiba-tiba setelah lima menit bungkam.
"Soal kenapa sampai bapak sama aku bisa menikah?"
"Hm."
"Terserah bapak saja. Bapak maunya bagaimana?" ujar Delilah memberi Alex kepercayaan untuk mengarang cerita cinta mereka.
Mata Alex yang tadinya tertutup, sontak terbuka begitu dia mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Delilalah barusan. Dengan gerakan yang halus dan indah di mata para wanita, Alex menegakan tubuhnya.
"Tadi saya ngomong sampai hampir berbusa ke kamu, ngejelasin gimana sampe kita bisa menikah, kamu gak denger. Sekarang gilirin saya tanya sama kamu, kamu maunya gimana, ehh, kamu malah balik tanya sama saya." seru Alex menyampaikan rasa ketidak-sukaannya itu.
"Pak Alex, saya boleh minta tolong?" dengan tersenyum lembut Delilah bertanya. Semakin lembut senyum wanita itu, semakin kuat amarah yang ditahannya.
Delilah bisa melihat kerutan muncul di dahi mulus atasannya itu ketika Alex mendengar perkataannya.
"Apa?"
"Bisa baca syarat nomor satu?"
"Syarat nomor satu?" Alex merasa bingung dengan perubahan arah pembicaraan mereka yang begitu cepat.
"Iyaa. Syarat yang tadi baru bapak tanda tangani."
Alex pun dengan tangannya yang panjang, mengambil kertas HVS putih yang berisi syarat kawani kontrak mereia dan mulai membacanya sekali lagi.
"Syarat nomor satu. Harus saling menghargai dan menghormati."
"Boleh bapak baca sekali lagi? Tapi, dengan suara lebih kuat."
"Harus saling menghargai dan menghormati." ucap Alex sudah hafal tanpa membaca.
"Harus saling menghargai dan menghormati. Syaratnya baguskan, pak?"
"Bagus." dengan wajah datar Alex menjawab Delilah.
'Ngeluarin emosi aja, irit benget, pak.'
Sumpah selama dua tahun bekerja dengan atasannya ini, selain tatapan dingin dan tatapan tidak suka yang dia berikan, Delilah jarang sekali melihat emosi lain terpancar dari mata hitam pekat milik Alex itu. It
"Kalo bagus kenapa bapak melanggarnya?" tantang Delilah menarik perhatian Alex.
"Maksud kamu?"
"Maksud saya, bapak sepertinya melanggar syarat nomor satu."
"Kapan?"
"Barusan."
"Barusan, kapan?" wajah Alex nampak tidak mengerti. Dia benar-benar tidak tahu kapan ia tidak menghormati dan menghargai sekretarisnya itu.
"Pas bapak ngomong ke saya kalo bapak ngomong sampai hampir berbusa ke saya tapi saya tidak mendengarnya. Terus giliran bapak tanya sama saya, saya malah balik bertanya ke bapak." ujar Delilah masih tidak terima dengan sikap Alex tadi.
"Jadi maksud kamu saya tidak menghargai dan menghormati kamu pas saya ngomong begitu ke kamu tadi?"
"Saya merasa seperti itu." Delilah menjawab Alex dengan berani.
"Memangnya ada yang salah dengan ucapan saya ke kamu tadi?" tantang Alex tidak mau kalah.
"Ha?"
"Ada yang salah? Tidak, kan? Saya ngomong begitu ke kamu memang benar, kan? Faktanya begitu, kan? Saya ngomong panjang lebar ke kamu, kamu tidak dengar, kan? Hal yang seharusnya kamu dengar dengan jelas, tidak kamu dengar. Pas saya tanya ke kamu soal hal yang sudah saya bahas tapi tidak didengar kamu, kamu malah jawab, terserah bapak saja. Tersarah saya? Mau saya bagaimana? Kamu mau saya mengulangi apa yang sudah saya bahas tapi malah tidak di dengar kamu? Wah hebat ya. Terus sekarang kamu ngomong soal saya tidak menghargai dan menghormati kamu. Jadi, soal saya ngomong panjang lebar tapi malah kamu tidak didengar kamu itu maksudnya apa? Kamu menghormati dan menghargai saya? Begitu?" jelas Alex meluapkan emosinya.
Suaraku Delilah tercekat. Ia tidak bisa berkata-kata. Matanya terbuka lebar. Tidak menyangka lidah bosnya ini ternyata pedas juga. Dia dengan mudah memutar balikan fakta. Memang dari perspektif Alex, atasannya itu benar dan Delilah yang salah. Tapi itu dari pandangannya saja. Tidak melihat dari pandangan Delilah seperti apa.
'Ini gak bener.'