Kita skip Ujian Nasional.
Bagian itu terlalu rumit untuk dibicarakan.
Dengan selesainya Ujian Nasional, selesai pula proses belajar mengajar untuk kelas XII. Para murid tinggal menunggu pengumuman kelulusan lalu berpindah status menjadi mahasiswa.
"Akhirnya, kebebasan menjadi hak milik kita sekarang." teriakan itu benar-benar menggambarkan perasaan bebas para siswa kelas XII.
Bayangkan saja, di tahun terakhir mereka sekolah adalah masa-masa yang berat. Setiap hari mereka bergelut dengan soal latihan ujian. Belum selesai ujian akhir, mereka harus memikirkan untuk mencari universitas yang nantinya akan mereka masuki setelah dinyatakan lulus dari SMA.
Ini masih jam pelajaran, tapi karena mirid kelas XII sudah tidak ada tanggungan belajar, mereka memilih mengisi waktu luang dengan apa saja yang bisa mereka lakukan. Termasuk bermain basket di tengah teriknya matahari. Raffi yang memang suka dengan basket, tak memedulikan panasnya matahari.
"Shoot!" teriak Raffi kepada rekan setimnya.
"YEAH!!" teriakan penonton di pinggir lapangan mpecah setelah Raffi melakukan three point shoot.
Iya, lelaki tinggi mah bebas ya.
"Go Raffi go!" Lulu tak mau kalah memberikan sorak sorai ala cheerleader.
Melihat Farani dan Lulu di pinggir lapangan, Raffi segera menghampiri mereka, menghentikan permainannya. Raffi lalu merebut botol minum yang ada di tangan Farani, lalu meminumnya.
Pose Raffi yang sedang minum membuat dirinya terlihat seperti seorang model. Apalagi menurut para perempuan, laki-laki yang berkeringat itu seksi.
"Abis ini ikut jemput Mama yuk di bandara." ajak Raffi setelah selesai mengosongkan botol minum Farani.
"Apa ini? Gue aja belum minum, ini udah kosong aja." sang pemilik botol mengamuk.
Dengan polosnya, Raffi memamerkan cengiran kuda khasnya. "Ampun, nanti gue ganti."
Untung tepat pada waktunya, Raffi melindungi wajahnya dengan tangan. Kalau tidak, wajahnya akan terkena lemparan botol kosong dari Farani.
"Tumben Mama balik? Bukannya masih lama ya?" Lulu bertanya, untuk mengalihkan Raffi dan Farani terlibat adu mulut.
"Iya, Mama mutasi lagi. Jadi dikasih waktu buat beberes beberapa hari." jelas Raffi.
"Berarti Mama bakal libur juga dong?"
"Huuh."
"Asik. Gue mau minta Mama buatin kue kek yang sebelumnya." dengan mata berbinar, Farani membayangkan rollcake yang lembut buatan Mama.
Membayangkan keseruan yang akan mereka bertiga lewati saat Mama Raffi pulang sungguh menyenangkan. Hal itu membuat mereka melupakan cibiran siswi-siswi lain yang merupakan fans berat Raffi.
Tiga tahun bersekolah di SMA Beethoven dan bersahabat dengan Raffi membuat Farani menjadi sasaran cibiran. Itu karena Farani cukup dekat dan akrab dengan Raffi, murid yang mempunyai fans dari adik kelas hingga kakak kelas. Masih tergambar jelas diingatan Farani saat pertama kali dia mendapat bully dari kakak kelas yang tidak suka melihat kedekatan Raffi dan Farani.
Pukul 13.00 WIB.
Raffi dan Farani menjemput Mama Raffi di bandara. Lulu akhirnya memutuskan untuk tidak ikut karena Mamanya mengajaknya pergi untuk urusan lainnya.
"Raff, ganti baju gih, keringet lo nggak kering-kering dari tadi."
"Ini malah keren tau dek. Cowo kalo abis olahraga itu keren."
"Keren? Lo mah keliatan kusut mukanya, udah gitu dekil banget sumpah."
Mendengar perkataan Farani, Raffi segera mengeluarkan HPnya. Menyalakan dan mengecek wajahnya. Memang terlihat sedikit kusam, tapi itu efek terkena matahari dan keringat.
"Nggak papa, masih laku juga." ucapnya, berusaha meningkatkan harga dirinya.
Farani menahan perkataan untuk menyanggah Raffi. Dilihatnya Mama berjalan di kejauhan. Dengan sigap, Raffi dan Farani berjalan ke arah Mama, menyambut kedatangan Mama sambil membawakan beberapa barang Mama.
"Halo anak-anak Mama." pelukan hangan menyambut kedatangan Mama. "Raf kok kusut sih? Basah lagi. Kamu nggak bawa baju ganti?"
"Itu sambutan Mama ke anak sendiri?"
"Aku udah ingetin Ma buat ganti baju, tapi jawabannya 'cowo abis olahraga itu keren'." Farani menirukan gaya Raffi saat mengucapkannya.
Mama otomatis menggelengkan kepalanya. Melihat putra semata wayangnya yang cuek membuat Mama memutar kepalanya. Dan Raffi yang mendapat perlakuan seperti itu langsung meninggalkan Mama dan Farani.
"Ada yang ngambek nih Ma kayanya." ledekan Farani terdengar di telingan Raffi. Raffi hanya menoleh lalu terus melanjutkan jalannya sambil menarik koper Mama.
Sekali lagi Mama memeluk Farani, lalu berjalan menyusul Raffi yang masih ngambek.
*
Mama Raffi bekerja sebagai pegawai BUMN jadi hal yang biasa bagi Mama untuk mendapat mutasi. Setelah di tempatkan di Surabaya selama hampir lima tahun, akhirnya Mama dimutasi lagi. Kali ini di Jogja.
Disaat sang anak akan pindah untuk kuliah ke Paris, Mama malah mendapat mutasi kerja di Jogja. Papa Raffi yang bekerja di Jakarta jarang pulang ke Jogja karena jatah cuti yang minim, juga biaya untuk pulang pergi. Berbeda dengan Mama yang bekerja di perusahaan negara, Papa bekerja di perusahaan swasta milik asing.
"Fa, udah ijin sama Ayah Bunda kalo kamu bakal sampe malam disini?"
Farani menganggukkan kepala sambil memilih beberapa oleh-oleh dari Mama. "Nanti abang yang jemput Ma."
"Jam berapa?"
"Abang bilang jam 8an."
"Kalo gitu, kita belanja bahan yuk. Jadi besok tinggal bikinnya aja." ajak Mama sambil meletakkan beberapa makanan ke dalam lemari es. Farani menganggukkan kepalanya.
"Raf, ayo kita beli bahan buat bikin kue besok."
Teriakan Mama terdengar sampai ke kamar Raffi. Dengan langkah malas, Raffi, yang hanya mengenakan celana rumah, keluar kamar. "Mama sama adek aja ya. Raffi mau di rumah aja."
Ting tong.
Bel rumah berbunyi.
Mama segera berjalan menuju pintu, melihat siapa yang datang disaat seperti ini. Ternyata Fareza. Sudah bisa dipastikan bahwa Raffi menghubungi kakak Farani untuk datang lebih awal, mereka pasti akan main game bersama.
"Mama." pelukan Fareza langsung mendarat untuk Mama. Tak lupa, Fareza memberikan cengiran yang paling manis untuk Mama.
"Oh, jadi itu alasannya mau di rumah aja?" protes Mama mengetahui maksud Raffi.
Kalau sudah main game, Raffi memang susah untuk diganggu. Jadi Mama dan Farani segera berangkat ke supermarket untuk belanja keburuhan besok membuat kue.
Hal yang paling tidak menyenangkan di dunia ini adalah menemani perempuan berbelanja. Dapet barang nggak, capek iya. Kalau orang berkata bahwa perempuan itu makhluk lemah, berbeda dengan Raffi. Perempuan itu makhluk paling kuat yang ada di bumi. Buktinya, perempuan bisa mengitari mall berkali-kali hanya untuk cuci mata.
Daftar belanja yang sudah dibuat oleh Mama memudahkan mereka untuk berbelanja. Selain tahu apa saja yang dibutuhkan, mereka juga bisa mempersingkat waktu untuk mencari barang karena sudah tahu tujuannya.
Tapi meskipun sudah dibuat seefisien mungkin, keduanya tetap memerlukan waktu lebih dari sejam untuk berbelanja. Bahkan Mama sedikit kaget saat mengetahui jam sudah menunjukkan pukul enam malam.
"Fa, kita makan dulu yuk. Udah kelewat makan malam lho ini."
Farani mengecek jam tangannya. Sudah pukul enam sore. 'Pantes dari tadi perutnya keconcongan.'
Foodcourt mall ramai dengan pengunjung yang memanfaatkan untuk makan malam. Tidak hanya di foodcourt, restoran terdekat juga ramai.
"Mau makan apa Fa?" tanya Mama sambil memperhatikan sekelilingnya, mencari tempat yang tidak begitu ramai.
"Hotpot yuk Ma." Mama menyetujui pilihan Farani.
Sambil menunggu pesanan datang, Mama berbincang dengan Farani tentang Raffi. "Mama seneng Raffi bisa kuliah ditempat yang diaidamkan,tapi Mama juga sedih karena harus berpisah."
Farani mengerti bagaimana perasaan Mama,harus berpisah dengan anak semata wayangnya. Apalagi sekarang beliau ditempatkan di Jogja, tempat yang dari dulu diinginkan Mama Raffi.
"Sabar Ma, Farani yakin Raffi akan selalu inget Mama. Sekarang kan jaman juga makin canggih, bisa video call juga." Menggenggam tangan Mama, Farani mencoba menghibur Mama. "Paling nggak, Farani masih disini Ma.
Senyum Mama mengembang. Mama tahu, meski beliau akan kesepian seperti biasanya tapi paling tidak sekarang ada Farani yang akan menemaninya.
"Mama pengen Farani nemenin Mama selama Raffi di luar negeri. Kenapa kalian nggak nikah aja?"
Uhuk uhuk uhuk. Farani yang tengah minum langsung tersedak mendengar perkataan Mama.
"Farani baik-baik aja?" Mama terlihat khawatir melihat Farani batuk.
"Iya Ma, baik."
"Apa pertanyaan Mama terlalu vulgar?" senyum jahil Mama menggoda Farani.
Pukul 22.00 WIB
Janji untuk pulang jam 8 malam tidak sesuai kenyataan. Farani dan Fareza jelas akan mendapat masalah kalau Bunda menyadari bahwa kedua anaknya pulang terlambat.
"Abang punya kuncinya kan?" bisik Farani sesaat setelah mereka turun dari mobil. Dengan mantap, Fareza menganggukkan kepalanya.
Mengendap-endap, keduanya memegang gagang pintu. Saat berusaha membuka pintu, tiba-tiba pintu terbuka.
"Ngapain kalian ngenda-endap kek maling gitu?" Ayah berdiri di balik pintu.
"Haduh, Ayah ngagetin aja deh."
"Dari mana aja kalian? Kenapa jam segini baru pulang?" pertanyaan Ayah bagai kereta apai, panjang dan tanpa henti.
"Abis dari rumah Raffi." Fareza menjawab tanpa berani memandang ayahnya.
"Mentang-mentang udah kelar kewajiban belajarnya trus pada seenaknya? Gitu?"
"Maaf Ayah, adek salah." Farani langsung memasang wajah memelas.
Tak tega melihat putri kesayangannya memelas, Ayah menghela napas. Menepi dari pintu masuk dan memberi isyarat untuk masuk ke rumah.
"Kalo sampe kalian pulang telat lagi, nggak usah pulang sekalian. Ayah dengan senang hati mencoret nama kalian dari kartu keluarga."
Mendengar amcaman Ayah, baik Farani maupun Fareza langsung berhenti. Wajah keduanya memucat bersamaan, bahkan tidak ada yang memberi aba-aba. Dengan langkah lemas, keduanya berjalan menuju menuju kamar masing-masing.
Kebiasaan sebelum tidur, Farani mengecek HPnya. Dan disana, pesan yang selalu ditunggunya menampakkan diri. Pesan dari Sita. Sita mengabarkan bahwa dirinya sudah di terima disebuah perusahaan swasta yang berlokasi di Jogja. Sesuai dengan apa yang selama ini diharapkan oleh Sita.
"Apa lo yakin akan bekerja di Jogja? Gajinya nggak sebanyak kalo lo kerja di Jakarta." balas Farani.
Drrtt. Kaget karena panggilan masuk, Farani menjatuhkan HPnya. Tanpa membuat suara yang terlalu berisik, Farani mengambil HPnya yang tergeletak dibawah kursi belajarnya dan segera mengangkat telepon. Dari Sita.
"Halo?"
"Udah tidur?" balas suara diseberang.
"Belum. Gimana?"
"Nggak papa. Cuma mau mastiin lo sampe rumah dengan selamat."
Tersipu, pipi Farani langsung berubah warna menjadi merah. "Udah sampe rumah. Anyway, lo keterima kerja dimana?"
"Ada lah. Tapi bukan perusahaan yang terkenal."
"Nggak papa, asal nggak maling sama korupsi."
"Kia bilang dia kangen, tanya kapan lo bisa ke Jakarta lagi."
"Gue juga kangen sama Kia, …"
"Sama gue?" Sita segera memotong perkataan Farani.
Mendengar pertanyaan Sita yang tiba-tiba membuat Farani tidak bisa berkata. Kalau boleh jujur, Farani jelas akan menjawab iya, tapi …
"Gue tunggu lo ke Jogja." lalu Farani menutup telepon.
Meletakkan HPnya di meja dekat tempat tidurnya, Farani tersenyum lebar. Sepertinya ada seseorang yang berbahagia malam ini. Oh iya, satu lagi yang berbahagia. Dia yang jauh disana, berbeda kota juga merasakan kebahagiaan. One step closer.
*
Semua memulai rutinitas pagi harinya. Ayah sibuk sarapan sebelum berangkat kerja, Bunda yang sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya, Fareza yang sibuk bermimpi dan bermalasan karena sudah bebas tugas dan Farani yang sama seperti Fareza menikmati hari bebasnya.
Farani segera terbangun, mengecek HPnya. Semalam rasanya dia bermimpi mendapat pesan dari Sita. Setelah mengecek dan mencdapati pesan dari Sita, Farani segera tersenyum puas. Itu artinya dia dan Sita akan lebih mudah untuk bertemu.
'Ternyata semalam bukan mimpi'
Sekembalinya dari Jakarta beberapa waktu, hubungan keduanya menjadi lebih dekat. Meski begitu, Sita masih Sita, orang yang irit kata dan irit ketikan. Namun mereka berdua lebih banyak berkirim pesan daripada sebelumnya.
Dengan tergesa-sega, dia bangun dan berlari menuju kamar kakaknya. Melihat kakaknya masih terlelap, Farani langsung membalikkan selimut dan menarik kakaknya. "Abang, bangun. Ada berita bagus nih."
"Apa sih? Nanti aja kenapa?" sambil menarik selimutnya, Fareza mengabaikan adiknya.
"Abang." Membisikkan tepat di telinga Fareza, Farani tidak mau menyerah begitu saja.
"Apa?" dengan pasrah, Fareza membuka matanya.
"Sita semalem ngirim pesan, katanya dia udah keterima kerja di Jogja." Dengan semangat, Farani memberitahukan berita itu kepada Fareza.
Anggukan lemah diberikan oleh Fareza. Dia ingin ikut berbahagia untuk adiknya, tapi disatu sisi dia sedang mengantuk karena baru bisa tidur jam 3 pagi.
"Nanti gue telepon Sita deh. Udah ya, mau tidur bentar lagi."
Baru saja Fareza meletakkan kepalanya dibantal, telinganya tiba-tiba terasa sakit karena dijewer.
"Enak ya Bang mau tidur lagi. Kemarin siapa yang janji mau anter Bunda ke tempet Nenek?"
Seketika Fareza langsung bangun. Bahkan matanya yang tadi terasa berat, langsung bersinar cerah begitu melihat Bunda. Apalagi janji untuk mengantar ke rumah Nenek.
Setelah Ayah berangkat kerja, Fareza mengantar Bunda ke rumah Nenek. Karena di rumah sendirian, Farani akhirnya memutuskan untuk ikut. Lagipula nanti siang dia harus ke rumah Raffi, kalau berangkat sendiri tentu akan merepotkan, naik taksi juga akan keluar uang lebih.
Siangnya, sesuai perjanjian, Farani ke rumah Raffi hari ini untuk membuat roll cake kesukaan Farani. Begitu sampai dirumah Raffi, Farani langsung menuju dapur, membantu Mama menyiapkan beberapa bahan yang kemarin sudah dibeli. Fareza yang ngotot menemani Farani langsung menuju kamar Raffi. Sudah bisa ditebak mereka berdua akan sibuk main game lagi.
Saat sedang membuat cake, Mama tiba-tiba berkata serius, "Dek, Mama berharap kamu bisa selalu nemenin Raffi. Mama pengen dia nggak merasa kesepian karena Mama sama Papa nggak bisa selalu ada nemenin dia."
"Mama kenapa sih? Dari kemarin bahasnya kek gitu?" tentu Farani sangat penasaran dengan sikap Mama Raffi yang tiba-tiba mellow.
"Nggak tau, Mama ngerasa beda aja. Saat Raffi sama Adek dan saat Raffi sama Mama tuh rasanya beda. Raffi lebih plong kalo sama adek." mata Mama tiba-tiba berkaca-kaca.
Farani mengerti perasaan Mama. Mama yang sayang kepada Raffi tentu menginginkan yang terbaik untuk putranya, tapi karena harus berpisah karena pekerjaan membuat keduanya memiliki jarak yang tidak sedikit. Meski terlihat akrab, tak jarang keduanya merasa canggung satu sama lain. Dan menurut Mama, Raffi bahkan tidak bisa curhat dengan lepas kepada Mama.
Mama menumpahkan semua keganjalan yang ada dihatinya. Tentang kekhawatiran Mama saat harus terpisah dengan Raffi dan juga perasaan bersalahnya karena tidak bisa selalu berada disisi anak tersayangnya itu.
Menurut pandangan Farani, menjadi Raffi bukan hal yang mudah. Memang sekarang dia sudah berusia 17 tahun, tapi tetap saja di usianya itu dia membutuhkan sosok orangtua sebagai pendamping dan juga pengawas dalam hidup. Apalagi emosi anak usia seperti dirinya, terkadang naik turun.
Mama segera menghapus air matanya. Beliau tidak ingin Raffi melihat kesedihan yang jelas tergambar di wajahnya itu. Betul saja, tak lama berselang, Raffi keluar dari kamarnya sambil beradu mulut dengan Fareza. Mereka dengan sengitnya beradu argument tentang siapa yang lebih kuat dalam hal bermain game.
"Kalian ini ya, bisa nggak sih nggak rebut soal game?" sambil berkacak pinggang, Mama mengomeli Raffi dan Fareza. Sepertinya mood Mama sudah kembali.
"Ma, wajar dong kita bahas game. Daripada kita bahas cewe, Mama malah makin emosi dengerinnya." Balas Raffi sambil melakukan tos dengan Fareza. "Kapan kuenya jadi? Udah laper pengen nyicip ini kita."
"Nyicip itu dikit ya. Nanti kalo udah jadi, porsi nyicipnya ditentukan." Dengan tegas, Farani menentukan batasan antara nyicip dan doyan.
También te puede interesar
Comentario de párrafo
¡La función de comentarios de párrafo ya está en la Web! Mueva el mouse sobre cualquier párrafo y haga clic en el icono para agregar su comentario.
Además, siempre puedes desactivarlo en Ajustes.
ENTIENDO