Aku berusaha menyibukkan diri dengan menulis. Aku hanya ingin melepaskan pikiranku dari Andrea dan mengisinya dengan tokoh-tokoh novel. Aku menciptakan suatu negeri bernama Kerajaan Air, suatu kerajaan fiksi di Indonesia yang sezaman dengan Kalingga. Pangeran putra mahkota bernama Tasi dan harus naik takhta ketika berumur 9 tahun saat ayahnya, sang raja meninggal dunia. Tasi terkurung di balik tembok istana dengan pamannya yang memerintah sebagai wakil raja hingga usianya 16 tahun.
Tasi tidak bahagia karena ia sadar dirinya dimanfaatkan pamannya yang jahat sebagai raja boneka untuk memerintah kerajaan dan tidak seorang pun dapat ia percayai di istana. Selama bertahun-tahun ia merencanakan pelariannya dari istana. Pada ulang tahunnya yang ke-15, Tasi dipaksa menikah dengan seorang putri dari kerajaan Kalingga untuk mengukuhkan statusnya sebagai raja.
Sebelum rombongan gadis itu tiba di istana, Tasi mematangkan rencana pelariannya dan kemudian meninggalkan istana selamanya. Ia menyamar sebagai rakyat biasa dan hidup mengembara. Selama setahun mengembara, Tasi melihat betapa rakyatnya hidup menderita di bawah pemerintahan pamannya yang jahat.
Kemana pun ia pergi, ia menemui kesedihan di antara rakyatnya akibat pejabat yang curang, pajak yang tinggi, dan penguasa yang lalim. Hatinya terketuk dan akhirnya Tasi memutuskan kembali ke istana sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-16, saat ia berhak mengambil alih takhta dari pamannya. Baginya, kebebasan yang ia dambakan tidak sebanding dengan penderitaan rakyatnya... Ia bertekad akan menjadi raja yang baik dan menyejahterakan rakyat yang ia kasihi.
Karakter dan plot mengalir dengan lancar dari pikiranku. Aku bisa dengan mudah menuliskan tentang Tasi dan Kerajaan Air dan tokoh-tokoh lainnya yang ia temui di sepanjang pengembaraannya. Ini membuatku teringat ucapan Andrea 6 tahun lalu bahwa aku tidak dapat menghasilkan karya yang bagus karena aku nggak pernah susah.
Mungkin ini maksudnya... sekarang aku bisa mencurahkan hatiku untuk menulis karena aku sudah mengalami susah...
***
Editorku di Genta Publishing sangat menyukai naskah terakhir yang kukirimkan dan tanpa banyak perubahan mereka setuju menerbitkannya. Buku itu mendapat sambutan sangat baik dan segera menjadi bestseller. Ibuku sangat bangga dan membagi-bagikannya ke setiap teman keluarga. Aku menerima email berisi foto Andrea dengan senyum bangga memegang buku itu di dadanya beberapa bulan kemudian.
"I am so proud of you," tertulis di judul emailnya, tanpa tulisan tambahan. (Aku sangat bangga kepadamu.)
Email itu kuterima saat aku sedang berada di sebuah museum di Aarnhem, Belanda. Aku sedang riset untuk novel terbaruku. Novelku berikutnya akan berkisah tentang Sophia, seorang gadis indo yang harus terusir ke Belanda saat perang dunia 2 berakhir. Ia yang lahir dan besar di Bandung dipaksa untuk pulang ke negara "nenek moyangnya" oleh gerakan Pemuda.
Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan angkat kaki dari Indonesia, banyak orang Eropa dan indo yang ditahan di kamp tawanan perang yang diselamatkan oleh tentara sekutu. Nasib mereka tidak lebih baik dari saat di tahanan karena ketika mereka keluar dari kamp, rumah dan harta benda mereka telah dikuasai republik. Mereka tidak diterima kembali oleh orang-orang pribumi dan terpaksa harus meminta perlindungan pada pemerintah Belanda.
Orang-orang keturunan Belanda yang mampu menunjukkan identitas atau akte kelahiran yang membuktikan bahwa mereka berdarah Belanda akan diberikan paspor Belanda dan dikirim dengan kapal laut selama berminggu-minggu ke negeri kincir angin tersebut. Di sana mereka diberikan pelatihan, tempat tinggal, dan pekerjaan.
Akibat Perang Dunia 2, ada kurang lebih 300.000 indo yang tersebar ke seluruh dunia. Aku ingin sih merasakan naik kapal laut ke Belanda untuk lebih dapat mendalami karakter tokoh utamaku, tetapi karena itu hampir mustahil dilakukan, aku harus puas mendapatkan materi penelitian dari museum dan pusat arsip di Aarnhem dan Leiden.
Aku duduk di bangku taman dan merenung sambil melihat emailnya di ponselku. Sangat teratur seperti gerak jam, dia pasti akan mengirimku email setiap hari Minggu ketika ia menceritakan tentang kabarnya di Inggris. Jadi karena ini hari Rabu, aku tidak menduga akan menerima email begini. Dalam hati aku senang karena ternyata Andrea tahu aku akhirnya berhasil menyelesaikan bukuku.
Aku tidak pernah membalas email Andrea. Panggilan teleponnya pun tidak pernah kuangkat, dia pasti sekarang mengerti bahwa aku masih belum sanggup bicara dengannya. Pengacaraku bilang dia sudah menerima dokumen perceraian enam bulan lalu tetapi hingga kini tidak ada tanggapan darinya.
Diam-diam aku berharap Andrea akan memperlambat prosesnya, walaupun aku tahu cepat atau lambat kami akan berpisah secara resmi, dan akan tiba hari di mana aku bisa menatap matanya dan berbicara.
Tanpa sadar aku menjelajahi Facebook dan mencari berita tentang Adelina Surya lagi. Kali ini aku melihat akun media sosialnya sudah aktif. Adelina tampak bahagia tinggal di London dengan anaknya. Di foto profilnya tampak ia dan Ronan, anaknya, serta Andrea berfoto dengan latar belakang London Eye. Sangat banyak komentar di fotonya yang mendoakan kebahagian keluarga kecil itu.
"Wahh...akhirnya kamu bikin akun FB juga. Ini Adelina dan Andrea yang dari SMA 7 kan? Apa kabar? Sekarang tinggal di London semua ya?
"Wahh...relationship goals banget deh kalian ini, nggak nyangka pacaran dari umur 16 tahun bisa awet sampai sekarang. Anak kalian cakep banget deh."
"Wah, sudah lama nggak dapat kabar kalian. Kabarin dong kalau mudik ke Indonesia, biar kita ngupi-ngupi".
Aku mengerti kenapa Adelina menghilang dan menutup diri selama ini dari teman-teman sekolahnya dulu. Dia tentu tidak ingin mereka tahu apa yang terjadi 8 tahun lalu. Ia menanggung semua rasa malu dan sakit itu sendirian. Andrea pun tidak tahu hingga tahun lalu. Kini setelah Andrea kembali ke sisinya, Adelina akhirnya bisa kembali mengangkat wajah dan menghadapi dunia.
Aku sungguh mengerti dan kasihan kepadanya, aku juga kasihan kepada Andrea, dan aku cukup tahu diri untuk tidak menjadi penghalang kebahagiaan mereka.
Membaca itu semua aku hanya bisa menangis tersedu-sedu dengan membenamkan wajah ke dua telapak tanganku. Aku dulu sering disebut teman-teman sekolahku "the girl who has everything", tetapi saat ini aku merasa sebagai orang paling miskin di dunia.
***
Buku keduaku, Dear Sophia, kembali mendapat pujian dan laku di pasaran. Romantisme zaman perang sangat jarang dikupas di ranah sastra Indonesia dan banyak kritikus yang menganggap novelku membawa angin segar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, orang-orang mulai mengenaliku di jalan sebagai seorang penulis. Aku cukup terkejut ketika sedang berjalan kaki di Central Park pada suatu sore, serombongan turis Indonesia menyapaku dengan antusias.
"Mbak Ludwina Baskara ya? Sedang mencari inspirasi untuk buku ya, Mbak? Berikutnya Mbak mau nulis novel tentang apa nih?" tanya mereka berebutan.
Aku tertegun karena tidak menyangka di New York yang begini luas ada orang Indonesia yang mengenaliku.
"Eh...kok tahu ini saya?" tanyaku keheranan.
"Lah, tadi kan posting di instagram kalo Mbak Ludwina lagi nyari inspirasi di Central Park." jawab salah seorang di antaranya. Dia membuka instagram di ponselnya dan menunjukkannya kepadaku. "Mbak keren banget deh, tahu-tahu di Belanda, terus di Spanyol, di Jepang, dan sekarang udah di Amerika aja..."
Aha. Aku baru sadar bahwa social media manager-ku senantiasa mengupdate kabarku di berbagai media. Penerbitku yang mempekerjakannya sebagai bagian dari kampanye marketing peluncuran buku keduaku. Aku sudah lama tidak menyentuh media sosial sejak menikah dengan Andrea.
Sebagai pakar internet security dia membuatku sadar betapa berbahayanya membiarkan data pribadiku disimpan oleh perusahaan teknologi, aku sampai lupa bahwa ada akun instagram atas namaku di luar sana.
"Saya nggak lagi nyari inspirasi untuk buku," jawabku ramah, "cuma lagi kangen New York aja. Dulu saya kuliah di Columbia University."
"Ohh...keren banget."
Setelah foto bersama dan aku memberi mereka tanda tangan, rombongan itu pun berlalu dengan ceria. Akhirnya aku menjadi terkenal sebagai penulis. Aku pikir aku akan bahagia, ketika cita-citaku sejak kecil berhasil dicapai, tetapi nyatanya tidak demikian. Aku tetap merasa miskin dan sedih.
Sudah setahun berlalu sejak terakhir kali aku melihat Andrea. Sudah banyak yang terjadi dalam hidup dan karierku. I did think things will get better over time, tapi entah kenapa hatiku tidak juga pulih.
Sebuah email masuk ke ponselku dari Andrea. Hm... ini kan bukan hari Minggu?
"I am invited to speak in a cyber security conference in Bali next month. Would you like to see me?"
(Aku diundang ke konferensi cyber security di Bali bulan depan. Apakah kamu mau ketemu?)
Oh..
Aku ingat 6 bulan lalu Andrea juga minta izin untuk pulang ke Indonesia dan menemuiku. Akhirnya ia sudah bisa ambil cuti. Seperti biasa, aku tidak membalas emailnya dan ia mengerti bahwa aku masih belum mau bertemu. Aku terharu karena sampai hari ini Andrea tidak berubah, ia menghormati keinginanku dan selalu meminta consent saat ia hendak masuk dalam wilayah privasiku. Aku tidak usah takut ia tiba-tiba akan muncul di depanku saat aku berjalan-jalan di Central Park seperti ini.
Kalau dulu ia menanyakan apakah aku mau bertemu dengannya, kini dia memberi tahu bahwa ia akan di Bali bulan depan. Terlepas dari apakah aku mau menemuinya atau tidak, Andrea tetap akan terbang ke Indonesia. Ini membuat hatiku gelisah.
Would I like to see him? Of course, in a heartbeat.
Should I see him? Could I see him?
Those are the million dollar questions.
Akhirnya aku memutuskan membalas emailnya.