Descargar la aplicación
8.33% Ludwina & Andrea / Chapter 2: Ketika Hujan Turun Dengan Deras

Capítulo 2: Ketika Hujan Turun Dengan Deras

Entah bagaimana enam bulan kemudian kami bertemu kembali di bandara. Ia baru tiba di Jakarta dan aku sedang bersiap terbang ke Inggris. Kukatakan padanya mengenai rencana perjalananku yang lebih banyak melibatkan duduk merenung di kedai kopi di Skotlandia dan berharap mendapatkan ilham yang sama seperti J.K. Rowling saat menuliskan Harry Potter.

Ia menatapku dengan pandangan kasihan. "Kamu nggak bakat jadi penulis. Kamu terlalu bahagia."

Pernyataannya yang blak-blakan membuatku merasa tertampar. Belum pernah ada seorang pun yang menyatakannya secara terbuka.

Selama ini aku memang tidak pernah menyelesaikan novel-novelku dan paling hebat baru beberapa artikel perjalanan wisata yang kutulis berhasil dimuat di Kompas. Orangtuaku bangga sekali, tapi jauh di dalam hati aku tahu bahwa aku sebenarnya bukan siapa-siapa dalam dunia penulisan.

"Kenapa kamu bisa ngomong gitu?" tanyaku pelan.

"Kamu ga bisa nulis dengan kreatif karena kamu ga pernah susah. Semua seniman besar menghasilkan karya-karya terbaiknya saat mereka miskin atau kesusahan atau depresi. Lihat aja musisi Sting contohnya, sekarang dia bahagia dan ga pernah menghasilkan mahakarya apa pun lagi," Ia mengambil brosur tentang Skotlandia yang ada di tanganku,

"Kemana pun kamu pergi, yang kamu cari nggak akan ketemu. Inspirasi itu adanya di sini." Ia menaruh tanganku di dadanya.

Hatiku tergetar dan sampai aku mendarat di Heathrow, aku masih merasakan tanganku ada di dadanya. Akhirnya aku tak tahan lagi dan selama di Inggris aku mencari-cari Andrea di Facebook berharap bisa mencari tahu tentang dirinya lebih banyak, dan mencari alasan untuk menjalin kontak. Sialan, ternyata ia tidak menggunakan situs jejaring sosial apa pun. Aku bahkan tidak tahu nama lengkap dan kantornya.

Aku merana di Edinburgh padahal seharusnya aku bersenang-senang liburan dan menikmati waktu teduh untuk memperoleh inspirasi menulis. Akhirnya aku pulang dan menyerah.

Tiba-tiba saja Andrea mengirimku email dan menanyakan bagaimana kabarku dalam pencarian inspirasi menulis. Entah darimana dia mendapatkan emailku tapi aku langsung merasa bahagia. Kayaknya aku belum pernah deh sebahagia waktu membuka komputerku di pagi hari dan mendapatkan email darinya.

Kami kemudian mulai sering berkirim email dan akhirnya kalau dia pulang dari Singapura untuk menjenguk ibunya, dia akan memberitahuku sehingga aku bisa mengatur jadwal perjalananku mencari inspirasi menulis. Kami pun mulai bertemu dengan normal, artinya tidak lagi melibatkan kunjungan terapi pura-pura ke rumah sakit. Kami menjadi sering janjian makan malam dan berbincang-bincang.

Pelan-pelan aku jadi tahu semua tentang dirinya, dan aku semakin menyukai pria itu. Aku pun mulai kembali bepergian ke Singapura agar bisa bertemu dengannya. Dulu aku pergi ke sana dengan ibuku hampir setiap minggu untuk belanja sehingga rasanya bosan dan aku memutuskan untuk puasa ke Singapura selama beberapa tahun. Lagipula Singapura bukanlah kota yang baik untuk mendapatkan inspirasi menulis.

Suatu kali ia berkata bahwa ia akan menjemputku di Bandara Changi. Aku sangat senang, karena biasanya Andrea sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk hal remeh temeh. Ia mengajakku makan malam di Clarke Quay dan kami pulang ke apartemennya. Kami membuka sebotol prosecco untuk merayakan promosinya di tempat kerja. Bosnya yang berasal dari Kanada sekarang dipindahkan kembali ke negara asalnya dan sebagai penggantinya, Andrea dipromosikan ke posisi manajer di departemennya.

Aku sangat bangga padanya. Diam-diam aku sedih, karena sampai saat itu, satu-satunya prestasiku hanyalah menerbitkan beberapa tulisan perjalanan wisata di Kompas. Aku berkeras bahwa panggilan hidupku adalah menulis, dan aku yakin suatu hari nanti aku akan dapat memperoleh gebrakan yang kutunggu-tunggu. Aku tak mau membuang waktu dengan bekerja di perusahaan ayahku melakukan hal-hal yang tidak kusukai.

Malam itu, setelah dua gelas wine, Andrea melamarku. Aku ketakutan karena aku tidak pernah menginginkan menikah di usia semuda ini, 25 tahun. Dan aku tidak mau punya anak. Aku takut membayangkan bayi keluar dari vaginaku, belum lagi rasa sakitnya yang kata orang luar biasa. Aku saja masih belum becus mengurus diriku sendiri, apalagi makhluk-makhluk kecil lemah yang akan menguras waktu dan tenagaku. Lagipula populasi manusia di planet ini kan sudah banyak banget...

Tapi... aku tak mau Andrea berubah pikiran. Aku mencintai dan memuja pria serius penyabar ini. Aku tak mau kehilangan dirinya karena aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini dengan siapa pun sebelumnya. Akhirnya aku menjawab aku bersedia, asalkan ia tidak keberatan bila aku tidak bisa memberinya anak. Ia menciumku sebagai tanda persetujuan.

***

Aku kemudian sadar bahwa Andrea menginginkan anak. Ia menganggap bahwa ketakutanku tidak nyata dan suatu hari nanti aku akan berubah pikiran dan menginginkan kehadiran buah hati, sama seperti dirinya. Kami menikah secara sederhana dan syahdu karena Andrea tidak menyukai konsumerisme, dan ia berhasil meyakinkan ibuku yang setengah mati menentang pernikahan yang tidak mewah.

Hanya ada aku dan dia dan pendeta serta orangtua kami di pantai pribadi salah satu hotel ayah di Bali. Aku belum pernah sebahagia di hari pernikahanku.

Tiga tahun menikah kami masih tidak membicarakan tentang anak. Aku mulai menulis dengan lebih aktif dan bahkan menyelesaikan dua novel. Tidak laku keras sih, tapi setidaknya aku berhasil menerbitkan sesuatu dengan upayaku sendiri.

Andrea berkata bahwa walaupun kesedihan dan penderitaan adalah sumber inspirasi paling kuat, namun kebahagiaan juga bisa membuatku merasakan emosi-emosi besar yang membantuku menulis. Aku yakin ia benar.

Pada tahun keempat, aku mulai sering melihat pandangan sedihnya saat melihat anak-anak kecil berkeliaran di sekitar apartemen. Aku tahu ia takkan membicarakan tentang anak sama sekali karena ia menghormati janjinya kepadaku. Namun, akhirnya aku tersentuh dan memutuskan untuk diam-diam mengunjungi dokter kandungan dan mencari tahu kehamilan dan cara melahirkan yang paling nyaman.

Dokter memberikan beberapa tes dan menyuruhku untuk datang kembali. Sehari sebelum janji temu berikutnya, ia menelponku dan menyuruh aku datang ke klinik bersama Andrea. Aku seketika mendapat firasat buruk dan alih-alih pergi kesana sendiri.

Hasil tesku sungguh mematahkan hati. Dokter menemukan kelainan pada rahimku yang membuatku tidak bisa punya anak.

Ini terasa bagai kutukan.

Karena keenggananku memiliki anak selama bertahun-tahun....sekarang aku dihukum.

Aku sangat sedih, aku tak tahu bagaimana menyampaikan hal ini kepada Andrea, aku tahu ia sangat menginginkan anak.

Ketika aku tiba di rumah, aku menemukan Andrea terduduk di kursi balkon dengan wajah bingung. Seharusnya ia bekerja, tetapi malah ada di rumah seperti ini. Aku menjadi sangat keheranan dan seketika perasaanku menjadi tidak enak.

"Wina...aku..." ia menelan ludahnya seakan sulit mencari kata-kata. "Aku punya anak laki-laki."

Bagai petir di siang bolong, kesedihanku seketika terganti oleh kemarahan. Dengan terbata-bata Andrea menjelaskan bahwa ia baru menerima email dari kekasih pertamanya dulu, yang bertahun-tahun menjalin hubungan cinta dengannya dan berjuang memperoleh restu orangtua namun akhirnya gadis itu menyerah dan pindah ke Inggris untuk melanjutkan kuliah. Ternyata ia meninggalkan Andrea karena dipaksa orangtuanya.

Gadis itu hamil dan mereka malu bila relasi dan kerabat mengetahui hal itu, sementara menikahkannya dengan Andrea bukanlah pilihan yang mereka sukai. Anak itu sekarang sudah berumur 6 tahun, lahir dan besar di Inggris. Aku melihat fotonya, sangat mirip dengan Andrea. Hatiku terkoyak mengingat ketidakmampuanku sendiri memberikan keturunan bagi pria yang sangat kucintai ini.

Hanya ada satu alasan mengapa perempuan itu mengirimkan foto anaknya. Ia masih belum melupakan Andrea dan ingin mereka kembali bersama sebagai sebuah keluarga. Dalam suratnya perempuan itu mengatakan bahwa sekarang ia sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri, tidak lagi peduli pada kungkungan orangtua. Dan ia ingin anaknya mengenal Andrea sebagai ayah.

Aku tahu aku bersikap egois, tapi aku tidak mengizinkan Andrea menemui anak itu. Aku tak ingin setiap menatap anak itu ia melihat kehilangan apa yang dia alami... Anak yang seharusnya dia miliki, keluarga sempurna yang seharusnya mengisi hidupnya. Aku hanya kekasih kedua.

Andrea tidak marah. Ia menghormati keputusanku sebagai istrinya untuk tidak menemui anaknya dari perempuan lain, tetapi aku bisa melihat kesedihannya semakin hari semakin mendalam. Aku tak sampai hati melihatnya.

Akhirnya ketika ia datang memberitahuku bahwa ada tawaran untuk bergabung dengan mantan bosnya yang mendirikan perusahaan cyber security di Inggris dan ia berniat menerimanya, aku katakan bahwa aku bangga kepadanya dan mendukungnya untuk pindah ke Inggris sementara aku memilih kembali ke Indonesia. Aku mencintainya lebih daripada diriku sendiri. Karena itulah aku mengalah dan membiarkan ia bahagia dengan keluarga yang seharusnya ia miliki.


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C2
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión