Kami kembali ke kapal hantu dimana kami melawan inter-dimensional Soul Eater. Mungkin karena musuh sudah dikalahkan, kapal itu tergeletak di tanah. Para pahlawan dan party mereka juga ada disana, nggak sadarkan diri.
Para prajurit relawan dan para warga berdiri di sekitar mereka, sepertinya mereka melindungi para pahlawan. Mereka harusnya nggak perlu melakukannya.
Akhirnya, ini adalah saat untuk bagian terbaik dari seluruh bencana ini. Menambahkan material pada perisaiku. Sayangnya, Goblin Assault Shadow dan Lizard-Man Shadow jadi bayangan itu saja. Oleh karena itu nggak ada material lagi yang bisa kuserap. Yah, ada sedikit material bersifat bayangan, tapi aku cuma membuka satu perisai baru dengan material itu.
Shadow Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: resistensi bayangan (kecil)
Ada beberapa hal lain, tapi semuanya cuma membuka peningkatan status, jadi aku akan mengabaikannya untuk saat ini.
Yang tersisa cuma inter-dimensional Soul Eater.
"Oooh. Lezat!"
"Jangan makan itu."
Filo memegangnya dan mau memasukkannya kedalam mulutnya saat aku menghentikan dia. Itu sudah cukup jelas apa yang menyebabkan dia menjadi gila dan ganas. Gimanapun kau melihatnya, itu pasti karena dia telah memakan inti naga.
"Ayolah!"
Aku mengulurkan tangan dan mengambil material dari Filo, tapi karena suatu alasan material itu langsung menembus jari-jariku dan jatuh ke tanah.
"Gimana caramu memegangnya?"
"Aku menggunakan sihir angin pada tanganku."
"Sungguh?"
Jadi kau nggak bisa memegangnya dengan tangan kosong? Itu aneh.
"Apakah ada masalah?"
Para prajurit relawan melihat wajahku yang kebingungan dan mendekat untuk membantu.
"Oh, ya. Aku cuma menanyai Filo gimana caranya dia bisa memegang monter ini."
"Monster-monster ini tidak punya tubuh fisik. Agar bisa memegang mereka, anda harus menggunakan sesuatu yang memiliki properti magis."
"Apa?"
"Itu sudah menjadi pengetahuan umum. Apakah anda tidak mengetahuinya, Pahlawan Perisai?"
"Enggak."
"Oh, yah, monster-monster tanpa tubuh fisik merupakan hal yang sangat langka. Jadi sangat tipis kemungkinannya anda bisa menemukannya."
"Terus apa kau punya sebuah senjata yang memiliki properti magis yang bisa kugunakan? Aku ingin memotong-motong monster ini."
Prajurit itu menanyai kelompoknya apakah ada yang punya senjata seperti itu, dan dia menemukan satu orang yang punya senjata dengan properti magis. Mereka meminjamkannya padaku, dan aku memotong-motong monster itu.
Filo memberitahuku gimana caranya dia memasang sihir pada tangannya, dan aku menirukan dia. Aku mengambil ekornya dan membiarkan perisaiku menyerapnya.
Soul Eater Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: Skill "Second Shield", resistensi roh (medium), resistensi serangan spiritual (medium), peningkatan SP
Efek Khusus: Soul Eat, pemulihan SP (lemah)
Perisai itu terbuka cuma dengan menggunakan ekornya saja, dan itu nggak mereferensikan bagian-bagian yang lainnya—yang mana itu mungkin berarti bahwa memotong-motong Soul Eater lagi nggak akan memberiku yang lebih bagus lagi. Aku mencoba membiarkan perisaiku menyerap bagian-bagian yang lain, tapi nggak ada yang berubah.
Tapi apa Second Shield ini? Resistensi roh mungkin artinya bahwa aku bisa menahan serangan-serangan spiritual.
Efek khusus Soul Eat kedengarannya agak menarik. Kuharap itu bukan berarti bahwa aku bisa menahan jiwa. Itu nggak kedengaran bagus buatku.
Perlahan aku mengubah bentuk perisai. Itu seperti seluruh perisainya terbuat dari monster itu, dari kepala Soul Eater. Itu adalah sebuah desain yang aneh.
Dan Chimera Viper Shield memiliki tingkat pertahanan yang lebih tinggi.
Kalau efek khusus Soul Eat berarti bahwa aku bisa memakan jiwa, maka aku harusnya bisa memegang Soul Eater itu. Jadi aku mengulurkan tanganku. Tapi jari-jariku nggak betul-betul bisa menyentuh dagingnya.
Kurasa aku salah. Baguslah. Aku nggak tertarik memakan jiwa.
Itu mungkin semacam serangan balik. Mungkin itu "memakan jiwa musuh" dalam arti aku menyerap SP mereka.
Oke berikutnya, apa skill Second Shield ini? Aku mencobanya.
"Second Shield."
Air Strike Shield menjadi Second Shield.
Itulah yang dikatakan ikon yang berkilauan di bidang pandangku.
"Air Strike Shield!"
Aku menunggu untuk memastikan Air Strike Shield muncul di udara sebelum melanjutkan.
"Second Shield!"
Perisai lain muncul.
Jadi itu maksudnya. Sampai sekarang aku cuma bisa menggunakan satu Air Strike Shield pada satu waktu. Tapi sekarang sepertinya aku bisa memanggil dua Air Strike Shield. Mungkin ada banyak cara penggunaan yang berbeda dari skill itu, tapi itu nggak betul-betul membuatku senang.
Aku menatap sisa-sisa dari Soul Eater.
"Rasanya aku ingin menyerap semuanya dan nggak menyisakan untuk yang lainnya."
Tapi mereka pasti akan sangat jengkel dan memburuku.
Selain itu, kalau mereka nggak menjadi lebih kuat, maka itu akan buruk bagi semua orang, begitu pula denganku. Kalau aku harus bertarung bersama mereka, mereka kuat juga. Tentu, dalam pertempuran ini akulah MVPnya. Tetap saja, aku memutuskan untuk menyisakan materialnya untuk yang lainnya.
"Master, biarkan aku memakan sisanya!"
Filo berteriak, air liur menetes dari paruhnya.
"Apa boleh buat."
Aku memotong tulang belakangnya dan melemparkan ekornya pada Filo. Dia menelannya.
"Tulang-tulang ini begitu berlendir kayak slime!"
"Tunggu. Apa kita pernah bertemu slime?"
"Um....."
Percakapan yang selanjutnya nggak terlalu menarik, jadi aku potong saja disini. Katakan saja aku berakhir marah karena aku nggak bisa menggunakan pata Slime untuk membuka perisai baru.
* * * * *
"Baiklah! Ayo ke desa berikutnya dan kita lihat apakah kita bisa membantu mereka membangun ulang."
Kami telah menyelesaikan apa yang harus kami lakukan. Jadi para prajurit relawan dan aku membantu membersihkan mayat-mayat monster dan melakukan perbaikan di desa selanjutnya.
Kami jelas-jelas nggak bisa membantu semua pekerjaan yang perlu dikerjaan, jadi kami berfokus pada menyediakan makanan untuk orang-orang yang selamat dan mengobati luka mereka.
"Terimakasih banyak! Kami akan melakukan sebisa kami!"
Para prajurit relawan mendengarkan perintahku dan mematuhinya tanpa banyak protes. Kurasa itu artinya aku nggak perlu meragukan ketulusan mereka lagi.
Sehari berlalu sejak pertempuran kami yang panjang dan melelahkan—akhirnya, para knight tiba.
Pemimpin dari para knight sangat marah bahwa aku telah membawa para prajurit relawan bersamaku melawan gelombang.
"Bangsat! Kau pikir kau bisa mencuri para bawahanku dan menggunakan mereka untuk membentuk sebuah pasukan pribadi?!"
"Itu bukan kesalahan Pahlawan! Kami yang mendatangi dia dan menawarkan jasa. Dia hanya menerima tawaran kami."
"Apa? Dan kalian menyebut diri kalian prajurit dari Melromarc yang agung?! Kalian menjual diri kalian pada di Perisai?!"
"Dasar tolol. Apa kau betul-betul cuma mau fokus memarahi bawahanmu saat kau dikelilingi oleh semua tragedi ini? Apa kau tau seberapa buruk kerusakannya kalau mereka nggak ada disini?"
Para warga yang berkumpul di sekitar mendengar apa yang sedang terjadi. Mereka semua mengangguk setuju padaku.
"Dan asal kau tau, para pahlawan lain yang sangat kau andalkan, mereka semua dikalahkan bersama dengan party mereka selama gelombang, dan sekarang mereka terkapar di bangunan yang ada disebelah sana."
Nggak seorangpun yang meminta mereka melakukannya, tapi para warga telah mengumpulkan dan membawa para pahlawan yang gak sadarkan diri ke desa agar mereka bisa merawat mereka sampai sehat. Mereka punya obat yang dibutuhkan, tapi masih butuh beberapa hari sampai mereka bisa pulih lagi. Tetap saja, mereka pulih dengan cepat, dan mereka mungkin akan bangun sebelum hari berganti.
"Cepat serahkan para Pahlawan padaku! Aku akan membawa mereka ke sebuah rumah sakit yang bagus!"
"Luka mereka nggak separah orang-orang yang ada disekitar sini. Ada penduduk yang jauh lebih parah. Kau harus memprioritaskan mereka!"
"Kami harus memprioritaskan para Pahlawan demi negeri. Tidak, demi dunia!"
Orang ini betul-betul menjengkelkan.
Meski demikian, aku sudah menduga mereka akan bersikap kayak gitu, makanya kami memprioritaskan perawatan warga.
"Ya, ya. Pokoknya cepat bawa mereka pergi dari sini! Kami masih punya hal yang harus dikerjakan."
"Tunggu, Perisai."
Aku mengusir mereka dengan tanganku, tapi para knight berbicara tentang situasinya dengan para prajurit relawan, dan sekarang mereka memanggilku.
"Mau apalagi?"
"Kau diminta menghadap ke istana."
"Nggak usah makasih. Kau menjengkelkan."
"Kau harus ikut kami."
Aku ingin melihat mereka mencoba memaksaku. Kami punya masalah yang lebih penting untuk dikerjakan. Kenapa mereka selalu saja menggangguku?
Aku mengabaikan mereka dan berbalik untuk pergi, tapi para prajurit relawan melangkah maju, memohon. Mereka menunduk padaku.
"Kumohon, Pahlawan Perisai. Tolong ikutlah bersama kami."
Mereka telah melakukan segala sesuatu yang kuminta dan mematuhi semua perintahku. Rasanya kayak nggak benar kalau mengabaikan mereka sekarang. Selain itu, aku punya kereta baru yang harus ku ambil dari pemilik toko senjata.
"Astaga."
Aku menggaruk kepalaku dan perlahan berbalik.
"Baik. Yang perlu kulakukan adalah ikut bersamamu, kan? Aku berhutang budi sama para prajurit ini, jadi cuma itu alasanku melakukannya."
"Terimakasih banyak!"
Para prajurit relawan itu betul-betul berterimakasih bahwa aku ikut bersama mereka. Aku mengangguk perlahan.
Dan kami semua pergi ke istana.
* * * * *
Kami sampai esok harinya dan kami masuk ke istana.
"Kami ingin rekan-rekanmu menunggu di ruangan lain."
"Kau membawa kami semua kesini dan kemudian menyuruh mereka pergi?"
Orang-orang ini betul-betul membuatku gila.
"Boleh aku pergi dari sini?"
Itu nggak seperti mereka akan melalukan apapun yang bagus buatku. Semua ini cuma membuang-buang waktu.
"Kau tidak boleh pergi. Kami harus mendapatkan informasi yang kami perlukan darimu."
"Aku sudah mengatakan semuanya dalam perjalanan kesini."
Aku sudah memberitahu mereka tentang gimana para pahlawan dikalahkan dan kami lah yang tersisa untuk menghadapi musuh terakhir. Para prajurit relawan menyaksikan semua yang terjadi, meski dari kejauhan sih, jadi nggak ada ruang bagi mereka untuk meragukan apa yang kukatakan.
Si Sampah itu mungkin mencoba melakuan sesuatu, tapi kalau dia betul-betul melakukannya aku cuma perlu kabur saja.
Aku yang sekarang sudah cukup kuat untuk kabur, dan kalau Raphtalia dan Filo ada bersamaku, maka harusnya aku bisa menjatuhkan siapapun yang mencoba untuk mengejar kami.
"Diam! Kau ada di hadapan sang raja!"
Pintunya mengeluarkan suara berderit saat terbuka, dan kami berjalan menuju singgasana, dimana si Sampah itu duduk dan menatap tajam pada kami.
Aku yakin dia sudah diberitahu semuanya. Dia jelas-jelas jengkel pada seberapa suksesnya aku selama gelombang itu.
"Itu luar biasa kalau dipikir, tapi kudengar kau berhasil memukul mundur gelombang, Perisai. Adapun untuk aku sendiri, aku tidak mempercayai sedikitpun tentang itu."
"Begitukah cara elu menyatakan rasa terimakasih elu?"
"Kurang ajar! Aku punya pertanyaan untukmu—bukan berarti aku bisa mempercayai kata-katamu."
"Apa?"
Seberapa menjengkelkan orang ini? Apa dia perlu mengindikasikan ketidakpercayaannya setelah setiap kalimat yang dia katakan?
"Perisai, kudengar kau telah menemukan suatu kekuatan yang membuatmu lebih kuat daripada para Pahlawan yang lain. Aku tidak mempercayainya, tapi kau punya kewajiban untuk memberitahuku apakah itu benar. Bicaralah Sekarang. Bukan berarti aku mempercayaimu."
Dia begitu terang-terangan, si tolol itu. Dia penasaran apakah aku lebih kuat daripada para pahlawan yang lain, tapi dia nggak cukup jujur untuk menanyaiku secara langsung. Sampah itu membuatku muak.
Sejujurnya, aku nggak tau kenapa Glass mundur setelah dia mengalahkan para pahlawan yang lain.
Dia telah salah mengira kalau aku adalah pahlawan terkuat, dan setelah itu kami mulai bertarung. Namun kemudian, suatu penghitungan mengindikasikan batas waktu muncul, dan dia mundur.
Aku bisa bilang kalau jam pasir penghitung waktu memiliki hubungan dengan apa yang terjadi, tapi semuanya masih misteri. Apa yang terjadi kalau penghitungan itu telah habis?
Sangat banyak pertanyaan yang ada. Pada akhirnya kami harus menemukan jawabannya. Tapi aku nggak punya waktu untuk itu sekarang.
Tapi tetap saja. Aku bisa mengatakan apa yang sedang terjadi disini. Aku menghadap si Sampah itu dan tersenyum, mengatakan jariku me lantai didepanku.
"Kalau elu betul-betul pengen tau, merangkaklah kesini dan bersujudlah didepan gue."
Si Sampah itu begitu terkejut sampai dia tertegun sesaat. Wajahnya begitu merah. Aku berharap aku bisa mengambil fotonya.
"Apa perkataan gue gak jelas? Apa telinga lu budek? Kalau elu betul-betul pengen tau, turunlah kesini dan bersujudlah di lantai!"
"Uh... Uh.... Uh..."
"Apa yang lu gerutukan kayak seekor monyet? Atau kah elu cuma berusaha sebijak kayak seekor monyet? Raja itu sampah! Bukan berarti gue bakalan percaya sama perkataan seekor monyet sih."
Saat aku mempermainkan dan mengejek dia, wajahnya semakin marah dan kaku. Matanya melotot padaku, penuh kebencian. Apa kau tau? Itu terasa sangat menyenangkan.
"Bangsat kau!"
Sampah itu berteriak. Teriakkannya menggema diseluruh aula.
Musuh pertama adalah gelombang, dan yang kedua adalah Sampah itu. Tapi aku nggak akan kalah sama Sampah itu.
"Jangan pernah menunjukkan wajahmu lagi disini!"
"Elu yang minta gue buat datang! Elu kagak perlu meminta gue buat lama-lama dimari!"
Dan begitulah, aku mengucapkan perpisahan terakhir pada Sampah itu.
***
"Akan kupenggal kepalamu!"
Sampah itu nggak senang dengan perilaku ku.
"Uh-oh! Gimana cara lu membawa gue ke alat pemenggal kepala?"
Ada dentangan armor dari para knight yang mulai bergerak kearahku dari posisi mereka disekitar singgasana.
"Apa lu lu pada udah lupa? Gue lah orang yang ngebunuh musuh—musuh yang cukup kuat buat ngalahin semua pahlawan lain."
Aku menyiapkan perisaiku dan menghadap para knight. Mereka semua berhenti bergerak.
Gimanapun juga aku adalah seorang pahlawan. Mereka semua tau bajwa aku lah yang bertahan dari gelombang dimana yang lainnya pada tumbang, jadi kenapa juga mereka harus mengambil resiko mendekat lagi?
Meskipun aku setengah memalsukannya sih...
"Apa yang kalian lakukan?! Bunuh si tolol yang gak beradab ini!"
"Oi oi."
Aku berbalik kearah dia dan berbicara mengancam.
"Apa elu gak paham? Gue cukup kuat buat nerobos istana ini, membunuhmu, dan keluar dari sini tanpa tergores. Elu paham itu, kan?"
"Uh..."
Raja Sampah itu kelihatan sangat marah.
"Kalau elu gak percaya, gue bisa mendemonstrasikannya."
Aku mempelajari bahaa beberapa trik dan ancaman diperlukan untuk bernegosiasi secara efektif ditempat ini.
Aku harus menggunakan peralatan yang tersedia buatku kalau aku mau menahan Sampah itu.
"Para pahlawan yang lu jagoin dikalahin oleh musuh—seorang musuh yang kemudian gue kalahin! Sekarang elu mau menjadikan gue musuh lu?"
"Ughhhhh...."
Dia begitu marah hingga dia menggertakkan giginya.
"Satu-satunya alasan kau bisa berkata seperti itu...."
"Gue bakal ngebunuh elu kalo elu nyentuh para anggota party gue."
Kurasa lebih baik untuk memberitahu dia gimana cara mainnya.
Iron Maiden adalah sebuah skill yang sangat kuat. Skill itu telah mengalahkan Soul Eater, jadi aku tau kalau skill itu mampu membunuh seseorang. Setidaknya aku bisa menggunakan kutukan pembakar diri dan membuat mereka semua mengalami luka bakar yang serius.
Wajah Sampah itu pucat. Sepertinya dia akhirnya memahami posisinya.
"Jangan pernah memanggil atau bicara pada gue lagi, Sampah. Saat gelombang selesai, gue bakal pergi dari sini. Sampe saat itu, gue bakal ngerjain apa yang harus gue kerjain. Tapi jangan coba-coba mengganggu gue."
Aku nggak bisa memberi pukulan apapun saat aku mengancam dia—aku juga nggak bisa menggunakan kartu as ku juga. Aku harus menyimpannya sampai aku nggak punya pilihan lain lagi. Kalau aku membunuh dia disini sekarang juga, nggak akan ada yang berubah. Siapapun bergerak dibalik layar, pasti akan keluar dan menggantikan dia.
Tetap saja, kalau aku harus melawan para pahlawan lain secara langsung, aku nggak tau apakah itu merupakan sebuah pertarungan yang bisa kumenangkan.
Dan kalau aku harus melawan mereka semua sekaligus, aku pasti akan kalah.
"Selamat tinggal."
Aku berbalik dan meninggalkan ruang singgasana.
"Aku tidak akan memaafkanmu! Aku tidak akan memaafkanmu, Perisai!!!!!!!!!!"
Teriakannya menggema seluruh istana.
"Itu berlaku buat kita berduaaaaaaaaa!!!!!"
Aku berteriak sambil berjalan keluar ruangan.
* * * * *
Aku meninggalkan istana dan berjalan di tangga saat aku berpapasan dengan seorang wanita yang kelihatan seperti dia dari keluarga bangsawan.
Dia menyembunyikan mulutnya dengan sebuah kipas, dan dia mengenakan pakaian yang kelihatan mahal. Aku nggak bisa melihat seluruh wajahnya, tapi aku bisa bilang dia cantik. Aku penasaran berapa usianya? Dia mungkin berusia di awal 20'an. Rambutnya berwarna ungu. Itu adalah warna yang langka.
"Terimakasih atas semua kerja keras anda, tuan."
Tuan? Sial, aku hampir berbalik.
Huh? Wanita itu diikuti oleh sang putri kedua.
"Ah."
Aku mengabaikan dia dan terus berjalan. Nggak ada yang perlu kukatakan pada adiknya Lonte itu.
"Nona Melty..."
"Aku mengerti, terimakasih!"
Ya, aku nggak memikirkan apa-apa dan terus berjalan.
Saat itu aku nggak punya pemikiran, bahkan dalam imajinasi terliarku, bahwa putri kedua itu akan menjadi kunci yang membuka pintu ke perubahan yang dramatis.
Ngomong-ngomong, Raphtalia dan Filo menungguku di ruangan lain. Sepertinya mereka berpikir bahwa aku mungkin menyebabkan keributan dan berencana untuk mengejarku. Aku nggak tau apakah aku harus senang karena mereka sangat memahami aku—atau apakah aku harus terganggu oleh hal itu.
Aku meninggalkan istana, dan hal pertama yang kulakukan adalah mampir ke toko senjata untuk melihat apakah kereta yang kupesan sudah siap.
"Hei bocah. Keretanya sudah siap jalan."
"Cepat sekali. Pak tua, kau betul-betul handal menangani logam. Kau bisa membuat apapun yang kuminta padamu dengan sangat cepat."
"Aku cuma mengaturnya saja. Aku punya teman yang membantuku mengerjakan pekerjaan. Aku nggak betul-betul membuat keretanya!"
Yah, kurasa itu masuk akal kalau dia dibantu oleh seorang blacksmith lokal.
"Aku sempat kepikiran kalau kau adalah salah satu dari orang-orang yang bisa membuat segalanya dengan harga yang wajar."
"Bocah, sumpah itu sangat menjengkelkan mendengar kau bicara kayak gitu. Aku nggak muda dan terampil kayak kau."
"Aku nggak terampil."
Dia pikir aku ini orang kayak apa?
"Keretanya aku parkir di belakang. Lihatlah."
"Oke, nggak sabar untuk melihatnya. Ngomong-ngomong, aku berpikir tentang pedang milik....."
Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Raphtalia mengulurkan tangannya dan memegang tanganku.
"Ada apa?"
"Kamu nggak perlu menyebutkan tentang pedang itu. Aku masih punya pedang cadangan. Jadi simpan saja uang sebisa kita untuk saat ini."
"Hmm... Yah, kalau kamu betul-betul berpikir begitu, maka kurasa kita bisa."
Serangan Filo sudah begitu kuat hingga dia lah yang memberi damage paling banyak. Kalau Raphtalia bisa mengerjakan peran pendukung, itu harusnya baik-baik saja. Dan dia mungkin berpikir bahwa kami mungkin akan menemukan sebuah pedang yang lebih baik daripada yang bisa dibuatkan pak tua itu untuk kami.
Kami berjalan ke halaman belakang toko, dan memang, sebuah kereta logam yang besar menunggu kami.
Kereta itu terbuat dari logam. Bahkan atapnya juga logam. Itu mengingatkan aku tentang sebuah delman kecil yang dibelikan orang tuaku untuk aku di masa lalu—hanya saja yang ini asli.
"Wow!"
Mata Filo terbuka lebar dan berbinar-binar. Aku belum pernah melihat dia terlihat begitu gembira.
Dia berjalan pelan-pelan ke bagian depannya, dan perlahan memegang tali kendalinya.
"Aku boleh menariknya, kan?"
"Tentu."
"Yay!!"
Matanya berkilauan, dan dia memegang tali kendalinya erat-erat. Dia begitu senang sampai-sampai dia kelihatan seperti dia mungkin meledak.
"Ayo kita isi muatan dulu."
"Dimengerti."
"Okeeeeee!"
Kami pergi ke kereta lama, mengambil semua muatan dari sana, dan kemudian memindahkan semuanya ke kereta baru.
Aku jadi menyadari bahwa kami menghabiskan semakin dan semakin banyak waktu kami untuk memindahkan barang-barang.
"Gimana menurutmu, bocah?"
Pak tua itu menjulurkan kepalanya keluar untuk melihat gimana keadaannya. Aku mengacungkan jempol pada dia.
"Sama seperti yang kuinginkan."
"Bagus. Meskipun harus ku katakan sih kalau itu sangat berat. Apa gadis burung itu menanganinyal?"
"Ya!"
"Nggak masalah. Dia menarik kereta terakhir sambil ada tiga kereta lain yang disambung di belakang."
"Menakjubkan."
"Dia bahkan mungkin mulai menggerutu kalau keretanya nggak cukup berat."
"Kau tau apa yang kusukai? Kereta yang berat!"
Mungkin itu adalah ciri khas seekor Filolial? Apa mereka bersaing untuk melihat siapa yang bisa menarik objek paling keras dan paling besar?
"Ahahaha. Kau pasti bisa! Hei, aku penasaran, kemana kau akan pergi sekarang?"
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah mendengar semuanya. Kau melakukan sesuatu yang gila di istana?"
Pak tua itu kelihatan agak kuatir.
"Cepat juga menyebarnya."
"Rumor adalah bumbu kehidupan."
"Terserahlah. Sampah itu bertindak gila lagi, jadi aku cuma membuat dia sadar akan posisinya."
"Aku sudah menduga kalau kau akan melakukan sesuatu suatu saat, bocah."
"Senang aku nggak mengecewakan."
"Sebenarnya aku sudah terbiasa sedikit kecewa."
"Baguslah. Yah, untuk menjawab pertanyaanmu, aku berpikir menuju ke Siltvelt atau Shieldfreeden agar kami bisa berganti kelas."
Tentu saja, aku bisa mengancam Sampah itu untuk mendapatkan ijin untuk menggunakan Dragon Hourglass di Kastil Kota, tapi aku harus membuat Filo dan Raphtalia berganti kelas, dan aku nggak mau menempatkan mereka dalam bahaya yang gak diperlukan.
Aku masih nggak terlalu paham tentang proses apa yang diperlukan untuk berganti kelas, tapi orang-orang yang mengelola Dragon Hourglass sepertinya sangat kuatir dengan itu hingga mereka membuat peraturan dan regulasi ini untuk mengendalikan akses kami pada jam pasir itu. Kalau memang akan semerepotkan itu, maka sepertinya ide terbaik adalah menuju ke negeri lain dimana kami akan mendapatkan kebebasan untuk melakukan apapun yang kami mau.
"Kau tau, bocah. Aku sudah menduga kau akan pergi kearah sana."
"Sungguh?"
Dia mengangguk. Aku penasaran apa maksudnya?
"Aku lebih menyarankan Shieldfreeden. Siltvelt bisa agak.... gila."
"Apa maksudmu?"
"Yah, itu adalah kerajaan demi-human, dan mereka menjadikan para manusia menjadi budak disana. Semacam kebalikan dari Melromarc."
Aku paham sekarang. Mengingat aku adalah manusia, itu mungkin bukanlah pilihan terbaik.
"Namun...."
"Makasih atas sarannya. Kami akan pergi ke Shieldfreeden."
Kami selesai memindahkan barang dan naik ke kereta.
"Baikkah. Yah, kunantikan bertemu denganmu lagi lain kali kau berada di kota."
"Tentu. Lain kali aku bertemu denganmu, mungkin aku akan mencari equipment yang bagus untuk melawan monster-monster tipe roh dan hantu."
"Aku mengerti. Kedengarannya kau sudah cukup maju sampai-sampai kau mengkhawatirkan monster-monster seperti itu. Aku akan memastikan aku punya barang-barang yang kau butuhkan."
"Aku akan mengumpulkan materialnya untuk menekan biayanya"
"Lakukan saja sesukamu, bocah. Yang penting beri aku keuntungan dan jangan muncul seenaknya sendiri sambil membina segala sesuatu dalam waktu 24 jam. Aku akan memberitahumu dimana kau bisa mendapatkan material, kalau kau mau."
"Dimengerti. Aku akan memastikan kau punya waktu yang cukup. Baiklah, kami berangkat. Sampai jumpa, Pak tua."
"Sampai nanti."
Filo mulai menarik talinya.
Tujuan kami yang utama adalah untuk berganti kelas. Kalau Filo yang menarik kami, kami bisa sampai kesana dalam dua minggu. Itu akan jadi perjalanan yang panjang, tapi itu lebih baik.
"Itu dia!"
Ada suara keras yang berasal dari luar gerbang. Saat kami meninggalkan Kastil Kota, kami tiba-tiba mendengar suara seseorang memukul-mukul sisi kereta logam kami.
"Ketemu kau!"
"Huh? Mel!"
"Apa?"
Aku menyuruh Filo berhenti dan melihat keluar. Putri kedua ada disana. Alis matanya dikerutkan, mengarahkan jarinya padaku. Di belakang dia ada sekelompok knight. Suara para knight itulah yang kami dengar.
"Tolong kembali ke istana!"
"Apa? Cuma begitu saja?"
"Aku memintamu kembali dan berbicaralah secara serius dengan ayahku!"
Bocah ini semakin menjengkelkan. Nggak ada yang perlu aku diskusikan dengan Sampah itu.
"Ayahmu salah tentang segalanya. Aku nggak salah. Jadi setidaknya kami mengetahui hal itu."
"Apa itu?!"
Apa itu butuh waktu yang lama agar dia mengetahuinya semua ini? Dia adalah adiknya Lonte itu. Kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk bicara dengan dia?
"Katakan ini pada bapakmu: aku bisa membunuh dia kapanpun. Katakan pada dia kalau harus selalu waspada."
"Kenapa? Kenapa kau harus mengatakan hal mengerikan seperti itu? Tolong beritahu aku!"
"Karena bapakmu adalah Sampah! Aku nggak mau membuang-buang waktuku untuk bicara dengan Sampah. Orangtuamu adalah yang TERBURUK!"
"K...Kau... Aku tidak akan memaafkanmu! Ibuku telah salah! Pahlawan Perisai adalah orang brengsek!"
Salah satu knight dibelakangnya melangkah maju.
"Heh. Kau mau melawanku? Filo...."
"Apa?"
"Ayo pergi."
"Tapi... aku mau main sama Mel!"
"Gak boleh."
"Tapi..."
"Ayo pergi!"
"Baiklah... Sampai jumpa Mel!"
Filo mengangguk, berbalik kearah jalan, dan berlari.
"Hei. Tungguuuuuuuuuuuuuu!"
Teriakan dari putri kedua memudar. Kastil Kota betul-betul dipenuhi dengan sampah. Selain berbelanja, nggak ada alasan lain untuk pergi kesana.
***
También te puede interesar
Comentario de párrafo
¡La función de comentarios de párrafo ya está en la Web! Mueva el mouse sobre cualquier párrafo y haga clic en el icono para agregar su comentario.
Además, siempre puedes desactivarlo en Ajustes.
ENTIENDO