Ilham berlari ke apartemen lama meri dan segera membuka pintu tepat saat ia melihat tubuh wanita itu mulai limbung, ilham dengan sigap menahannya agar tak terjatuh.
Posisi meri sangat tidak menguntungkan karena dia hampir terjatuh ke depan dengan menindih perut besarnya. Jika saja ilham tidak datang tepat waktu, bukan hanya bayinya yang akan tiada bahkan nyawa meri sudah pasti melayang seperti kapas tertiup angin di udara.
Pada kenyataannya, ilham berhasil menahan beban tubuh wanita itu dan memutar posisinya secepat kilat hingga perutnya berada di atas. Terlalu sulit bagi ilham untuk menjaga keseimbangan di saat berat badan meri naik hingga sepuluh kilogram sejak kehamilannya semakin membesar.
Ia jatuh berlutut setelah menangkap tubuh wanita itu. Meri menengadahkan wajahnya menatap wajah ilham yang berada beberapa inci di hadapannya.
"junior" di sisa kesadarannya, hanya kata itu yang bisa ia ucapkan.
Perlahan pandangannya mulai buram hingga berubah gelap. Sayup-sayup meri masih bisa mendengar teriakan ilham memanggil namanya tapi semakin lama suara itu menghilang, iapun tak sadarkan diri.
"meri bangunlah" ilham menepuk pelan pipi wanita itu yang sudah mulai pucat tak memiliki rona lagi.
Andre yang melihat kejadian di hadapannya berubah begitu cepat, berdiri kaku dan bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Dia masih terkejut dengan kenyataan meri mengandung anaknya dan sekarang, meri mengalami pendarahan tepat di hadapan matanya.
Dia bukanlah orang bodoh yang tidak tahu dengan keadaan serius yang di alami meri saat ini. Justru karena ia mengetahui resiko dan kemungkinan yang terjadi membuat ia kaku, lututnya terasa bergetar dan tak mampu melangkah.
Tak ingin terlambat, ilham mengangkat tubuh meri dan menatap tajam ke arah andre sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
Lagi dan lagi, dia harus mengalami kejadian serupa dengan meri berakhir di dekapannya dan darah yang mengotori pakaiannya. Tak sadar, sebuah bulir hangat sehangat emosinya mengalir di pipinya. Dia tak menyangka saat seperti ini akan benar-benar tiba.
Sudah dua minggu dia menjaga meri seperti seorang ratu yang lumpuh dan tak bisa berbuat apa-apa. Dia membuat kaki meri seakan tak ada gunanya selama ilham berada di sampingnya. Setiap langkah meri akan di hitung dengan langkah ilham. Ilham menjadi kaki meri di rumah dan menjadi tangan, mata serta telinga saat ia harus bekerja keras menjalankan bisnis meri selama wanita itu belum melahirkan.
Walau sudah berulang kali menyarankan untuk menjual bisnisnya itu karena meri tak akan bisa mengelolanya selamanya. Tapi karena penolakan dan keras kepala wanita itu membuat ilham harus tetap bertahan dan melakukan semampunya. Otaknya terasa akan pecah memikirkan bisnisnya di paris menurun karena berusaha memajukan bisnis meri serta menjalankan tugasnya sebagai dokter di rumah sakit di tambah lagi ia harus menjaga meri dengan perhatian ekstra sejak pendarahan pertama yang di alaminya.
Di mobil, ilham menelfon dokter charles dan mengatakan kondisi meri yang sebenarnya. Agar saat tiba meri segera mendapatkan penanganan. Akan terlambat jika dia harus mengikuti prosedur biasanya, jadi dia memanfaatkan jabatannya untuk bisa mendapatkan pelayanan cepat dengan dokter dan perawat yang sudah memiliki keterampilan yang di kenal dunia.
Tak sulit mencari orang seperti itu, karena harvard adalah universitas pencipta tangan panjang tuhan dalam hal medis. Hal yang di sesali ilham adalah bahwa dia tak memiliki kecakapan yang cukup untuk menangani meri. Dia hanya seorang spesialis bedah saraf yang tak ada hubungannya dengan keadaan yang meri alami saat ini.
Dia berharap jika bisa mengulang waktu, dia akan memilih menjadi dokter kandungan agar bisa berguna saat genting seperti saat ini.
"meri bertahanlah" ilham berdiri di samping brankar dorong yang menjemput meri tepat di jalur darurat khusus pasien kritis.
Dia terus menggenggam erat tangan meri yang mulai dingin tanpa aliran darah dan terus mendorong brankar itu menuju ruang operasi. Di sana sudah menunggu wanita dari bagian administrasi dengan map berisi berkas persetujuan operasi serta biaya yang harus di lunasi. Tak hanya wanita itu, sudah ada dokter charles dan dua dokter bedah lainnya serta perawat dan ahli anestesi berdiri dengan pakaian lengkap siap melakukan operasi darurat.
Ilham melepas meri masuk dan menatap dokter charles yang menunggu keputusannya untuk menentukan pilihan.
"utamakan keselamatan ibunya" keputusan itu dengan berat terlontar dari bibir ilham yang bergetar karena beban kemarahan yang akan ia rasakan saat meri berhasil bangun tanpa junior yang sejak lama dia nantikan.
Setelah mendengar keputusan itu, dokter charles mengangguk dan segera masuk ke dalam ruang operasi bergabung dengan rekannya yang lain.
Wanita yang sejak tadi berdiri bersamanya menyerahkan berkas administrasi yang harus ia tanda tangani. Ilham segera menandatangi semua berkas itu dan memberikan sebuah kartu debit gold dan memberi tahu pin nya. Dia tak ingin beranjak dari depan ruang operasi walaupun satu detik.
Matanya terus saja menatap jam tangan dan pintu ruang operasi bergantian.
Langkah kaki mendekat terdengar semakin lama semakin jelas di telinga ilham. Andre sudah berdiri di ujung lorong dengan wajah dan tatapan penuh kepedihan.
"untuk apa kau kembali?" ujar ilham dengan suara dan tatapan dingin yang mampu menembus tulang dan merobek isi rongga dada bagi yang mendengarnya.
"bagaimana keadaannya?" andre terlihat gugup karena rasa bersalah dan merasa kalimat yang ia sampaikan sepertinya tidak pantas ia ucapkan setelah apa yang ia lakukan.
"apa itu masih perlu kau tanyakan? Pergilah, jangan muncul di hadapannya lagi"
"ilham, dia masih istriku. Dia belum menandatangani surat cerai itu. Aku masih berhak berada di sini" andre bersikeras untuk tetap tinggal.
"kau baji***n, dia tidak pernah menanda tanganinya karena tahu kau akan pulang menjemputnya seperti janjimu" rutuk ilham dengan menarik keras kemeja andre yang menyeruakkan aroma rokok yang tajam. "apa ini? Apa kau merokok di hadapan meri tadi?"
"kakak, aku..."
"kau" sebuah pukulan telak mendarat di pipi kiri andre.
Karena pukulan itu sangat kuat, andre terjatuh ke lantai dengan darah di sudut bibirnya.
"apa kau kehilangan akalmu? Kau tahu betapa berbahayanya terpapar asap rokok bagi ibu hamil seperti meri. Aku menjaganya siang malam dengan mengabaikan kebahagiaanku karena janjiku menjaganya dan menunggu kau datang menjemputnya. Dan apa yang kau lakukan sekarang?"
"kakak, aku sungguh menyesal. Tapi dia istriku"
Geram dengan ucapan andre yang terus mengatakan meri adalah istrinya setelah kekejaman yang ia lakukan membuat kaki ilham terangkat beradu dengan punggung andre yang masih duduk tersungkur di lantai.
"aku tahu dia istrimu, karena itu aku menjaganya dengan nyawaku dan menjaga batasanku. Aku bahkan setiap hari merasa bersalah saat menyentuh kulitnya karena mengingatmu. Kau bocah sialan, aku hampir gila mencarimu dan mengira kau mati karena kesalahanku, ternyata kau bersenang-senang di sana dan kembali untuk membuat kekacauan lagi. Pergilah. Aku tidak akan menyerahkan meri lagi ke tanganmu bahkan jika aku harus mengurungnya di dalam kamar seumur hidup"
"ilham, aku ayah dari bayi yang ada di perutnya" teriak andre frustrasi karena mendengar cacian ilham bergema di telinganya.
"bayi? Ayah katamu? Kau hampir membunuh ibu dari anakmu dan kau masih berani mengeluarkan kata itu" ilham kembali melayangkan pukulannya dan mengenai perut andre.
Orang-orang yang melihat kejadian itu segera melerai termasuk petugas keamanan yang terkenal kasar. Mereka akhirnya di bawa menjauh dari ruang operasi karena dapat mengganggu konsentrasi para dokter serta kenyaman pasien dan keluarga pasien lainnya.
Mereka di tarik keluar ke area parkir yang berada di samping pos keamanan. Mobil soni melintas tepat di hadapan mereka dan terlihat sosok rafa dengan rambut pendek, wajah tampan dengan kaca mata hitam dan stelan jas hitam dan rompi merah di dalamnya membuatnya tampak segar dan berkelas.
"ada apa dengan meri?" rafa menghampiri andre dan ilham yang masih di pegangi oleh dua security.
Tak mendapat jawaban dan melihat bekas pukulan di wajah andre, ia mulai bisa menebak situasinya bahwa adiknya berakhir di rumah sakit karena ulah andre.
"di mana dia?" tanya rafa, kali ini ia tujukan kepada ilham yang terlihat lebih tenang dan kembali kepada pembawaannya yang dingin seperti biasanya.
"masih di ruang operasi. Sudah enam jam sejak ia masuk dan dokter belum juga keluar" jawab ilham
Mendengar kata ruang operasi sudah cukup membuat rafa menatap geram kepada andre. Di tambah lagi sudah enam jam yang menandakan betapa serius keadaannya membuat rafa melayangkan satu pukulan hingga andre dan security yang memegangnya terhuyung mundur.
"aku akan mengurusmu nanti. Jika terjadi sesuatu kepada adikku, bersiaplah dengan upacara kematianmu" ancam rafa kemudian berbalik meninggalkan dua bersaudara itu serta security yang masih menahannya.
Rafa tiba di depan ruang operasi saat dokter yang melakukan operasi itu keluar dan mencari seseorang.
"dokter, bagaimana keadaannya?" rafa merasa khawatir setelah melihat peluh di masker yang di gunakan dokter itu menandakan ini operasi yang serius.
"kami belum selesai, dimana suami pasien?" yang dokter maksud adalah ilham.
Dan yang terpikirkan oleh rafa adalah andre. "suami?" rafa menimbang sejenak "saya kakaknya dok"
"baguslah. Apa golongan darahmu sama dengan adikmu?" dokter charles seakan mendapat hadiah besar yang menyenangkan melihat kakak dari pasiennya berada di hadapannya.
"aku tidak yakin karena kami hanya satu ibu dan beda ayah. Tapi kau bisa memeriksaku lebih dulu jika itu masih sempat"
Rafa tentu menyadari setiap detik yang di lalui di meja operasi sangatlah berharga dan dapat menyebabkan sesuatu yang fatal jika sampai terlambat.
Dokter mengiyakan karena merasa masih ada waktu sambil meminta seorang lagi yang tak lain soni untuk memberi tahu suami pasien yang yaitu ilham, untuk mencari golongan darah AB plus. Soni mengangguk dan segera berlari ke area parkir, sementara rafa di bawa ke ruangan terpisah tepat di sebelah ruang meri di operasi untuk mengecek golongan darah.
"bos, dokter memintamu mencari persediaan darah AB plus. Dia sepertinya membutuhkan banyak darah"
Salah seorang petugas security itu mengangkat tangannya dan mengatakan bahwa ia memiliki golongan darah yang sama. Ilham menatapnya dan mengucapkan terima kasih dan menuju tempat transfusi darah sambil menelfon maria agar mencari stock darah itu di rumah sakit lain.
Beruntung rafa dan meri memiliki golongan darah yang sama, dengan dua orang sebagai pendonor setidaknya itu lebih dari cukup. Rafa menatap security yang tadi ia temui di area parkir dan mengucapkan rasa terima kasihnya dengan memberinya kartu nama dan berjanji akan membalas kebaikannya itu.
Memberinya uang adalah suatu penghinaan bagi rafa, jadi dia hanya akan menunggu sampai pria itu memerlukan bantuannya dan akan membantu sebisa mungkin.
"dia malaikat penolong tak terduga" ujar soni merasa teharu dengan kebaikan hati security yang terlihat tegas dan terkenal kasar saat menjalankan tugasnya itu.