Descargar la aplicación
56% Soca (Mata yang Tidak Bisa Melihat) / Chapter 14: Perjalanan ke Rohellio (V)

Capítulo 14: Perjalanan ke Rohellio (V)

Soca

Menjelang pagi, Altair dan yang lainnya sampai di wilayah Kerajaan Phollea. Namun, masih harus melawati Desa Lilia lebih dulu, baru bisa sampai di Rohellio. Lantaran telah melakukan perjalanan cukup jauh, siang dan malam, maka Altair memutuskan untuk rehat sejenak.

Rumah-rumah kayu tetapi kokoh berjejer di sepanjang jalan. Bunga lily tumbuh subur di mana-mana. Suasana desa sangat ramai dan hidup. Orang-orang menjalankan aktivitas masing-masing dengan penuh semangat. Senyuman mereka merekah, saling menyapa ramah antara satu dengan yang lain. Hangat dan harmonis.

Banyak kios-kios kecil menjual berbagai kerajinan, pakaian, peralatan, mainan, aksesori, juga pernik-pernik. Allera membeli sebuah mafela berwarna biru gelap mendekati hitam dan tebal, dipakaikan pada Nereid.

Altair memilih sebuah rumah makan berukuran lumayan besar bergaya arsitektur tradisional untuk istirahat sembari mengisi perut. Meja yang dipilih berada di paling pojok ruangan, agak terpisah dari yang lain. Meja panjang itu memiliki tiga kursi di masing-masing sisi.

"Minumlah, Nier." Allera menyodorkan gelas berisi sari buah.

Menunduk lemah, Nereid menolak lirih. "Tidak ...."

Sorot mata Allera menyendu, ditariknya kembali gelas perlahan. "Nier, kau masih tidak suka minum, ya?"

Nereid tetap membisu, tidak menjawab. Roman wajahnya begitu tertekan sekaligus seperti tengah ketakutan di waktu bersamaan. Napasnya berubah menjadi lebih lamban dan berat. Keringat di keningnya telah mengembun.

"Tuan Nereid, apakah selalu menolak meminum apa pun?" Rallia memandang Allera penuh tanya, menanti jawaban.

Allera tersenyum kecut, lalu menggeleng lemah. "Sudahlah! Lupakan saja. Lebih baik kita lekas makan agar dapat cepat-cepat melanjutkan perjalanan dan bisa sampai di Rohellio sebelum petang." Allera menyodorkan sepiring makanan pada Nereid.

"Dia benar! Lebih kau cepat makan." Rigel mengambil sepotong daging sapi dan menaruhnya di piring Rallia.

"Ah! Iya, baik." Rallia mengangguk patuh. Dirinya masih merasa minder. Tidak berani bicara lebih jauh, apalagi menanyakan hal-hal yang bersifat privasi.

Nereid memasukan sesendok nasi ke mulutnya, tetapi saat berusaha menelan malah terbatuk. Rupanya luka di leher masih belum pulih. Nasi yang sudah dikunyah dimuntahkan kembali. Nereid berusaha meredam batuk-batuk dengan menutup mulut erat-erat menggunakan ujung syal (mafela).

"Nier?" Allera menepuk-nepuk pelan punggung Nereid, cemas.

Altair yang sedari tadi fokus menyantap makanan pun kini berhenti. Menatap Nereid yang masih terbatuk-batuk. Hal yang sama dilakukan Rallia, gadis itu membeku menatapi makhluk yang tampak kesusahan.

Satu-satunya orang yang masih meneruskan aktivitas makannya hanyalah Rigel.

Tubuh Nereid melemas, napasnya kian memburu lalu memberat. Batuk-batuknya sudah mulai reda. Hanya tinggal sesekali saja, terbatuk kecil dan lemah.

"Sepertinya kondisi Nier memburuk karena kelelahan." Altair menempatkan Nereid di punggung, menggendongnya. "Aku akan mencarikannya tempat beristirahat di sekitar sini. Kalian lanjutkan saja makannya."

Begitu menyelesaikan ucapannya, Altair bergegas pergi. Daya ingatnya memang sangat luar biasa bagus. Benaknya mampu menghafal di mana saja dirinya pernah melihat penginapan-penginapan di sepanjang jalan yang dilalui.

Tidak jauh dari rumah makan, ada sebuah penginapan bergaya klasik. Halaman penginapan ditumbuhi berbagai jenis bunga lily. Ada juga dua pohon besar berdaun jingga di kedua sisi halaman. Anggun, hijau, dan asri, begitulah kesannya.

Altair menyewa satu kamar di penginapan itu.

Membaringkan Nereid yang mulai tidak sadarkan diri. Sesaat, ia hanya diam membeku menatap wajah pucat yang sesekali bergerak karena batuk kecil. Bayangan Altair melayang ke beberapa tahun silam di mana Aaron memberinya nasihat agar selalu menjaga Nereid seperti adik sendiri.

Altair memeriksa luka di leher Nereid, luka itu masih basah dan berdarah, walaupun sudah tidak sedalam sebelumnya. Altair merogoh saku, mengambil peles kecil berisi bubuk obat. Menaburkannya pada luka Nereid secara menyeluruh.

"Bagaimana kondisinya?" Allera yang baru saja tiba bergegas masuk. Duduk di sisi ranjang sembari mengamati keadaan Nereid dengan teliti.

"Kenapa kemari? Tidak menyelesaikan makan dulu, huh?" Alih-alih terkejut atas kedatangan Allera, Altair justru bersikap kalem. Toh, memang tidak ada hal aneh.

Allera dan Altair telah mengenal aura satu sama lain. Jadi, keduanya bisa saling mengenali, mencari, ataupun bertelepati sebagai Arura (pengguna aura). Oleh karena itu, bukanlah sesuatu yang aneh bila Allera dapat mengetahui lokasi Altair saat ini.

Mendelik, Allera mendengus dingin. "Tadi, aku meminta Rallia dan Rigel agar meneruskan perjalanan lebih dulu. Sebab, kurasa lebih baik Nier dibiarkan istirahat lebih banyak sampai kondisinya benar-benar membaik. Toh, kita sudah dekat ini ke Rohellio. Itu sebabnya aku terlambat menyusulmu."

Menarik napasnya dalam-dalam, Allera memandangi Nereid dengan tatapan nanar. "Lagian, mana bisa aku menelan makanan kalau salah satu dari kita ada yang tidak mampu melakukannya."

Berjalan ke sisi jendela, Altair menyibak tirai agar cahaya serta udara bisa masuk. Wajahnya menjadi bercahaya terpapar sinar keemasan sang surya. Mulutnya bergumam rendah, entah apa yang diucapkannya. Bahkan Rallia, tidak mampu mendengarnya.

__________

Di rumah makan, Rigel baru selesai menyantap seluruh sajian di piring. Mengelap mulut menggunakan sapu tangan kecil yang sudah disediakan. Rigel melirik pada gadis di sampingnya yang seperti mendadak kehilangan selera makan, murung dan tidak bersemangat.

"Kenapa tidak dihabiskan?" Rigel menatapi meja yang penuh dengan berbagai sajian. "Sayang makanan sebegini banyak harus terbuang sia-sia."

"Eh?" Rallia melirik sebentar lalu beralih pada piringnya sendiri yang masih utuh, hanya dimakan sedikit.

Rasa bersalah serta tak enak hati langsung menggerayangi hati. Sesungguhnya, kalau boleh jujur Rallia sangat menyukai makanan di piringnya. Lebih-lebih, dirinya tidak pernah memakan makanan semewah itu sebelumnya. Namun, selera makannya lenyap tatkala menyaksikan Nereid yang terlihat begitu kepayahan.

Cemas? Mungkin iya.

"Sepertinya selera makanmu sudah hilang, aku juga sudah selesai. Jadi, lebih baik kita lekas pergi dari sini. Makanan ini juga sudah dibayar tadi oleh Allera." Rigel berdiri, memakai kembali mantelnya serta menempatkan ransel di punggungnya. "Ayo, pergi!"

Meski canggung, Rallia tetap menuruti ajakan Rigel. Mengikuti langkah pemuda berambut pirang itu dalam kebisuan.

ketika sudah melewati halaman rumah makan, Rigel memelankan langkah supaya bisa berjalan sejajar dengan Rallia. Meskipun begitu, ia tidak mengucap apa-apa. Terus berjalan menuju ke sebuah kios pakaian.

"Kita ke sana." Rigel menunjuk kios berukuran mini yang menjejerkan beberapa jenis pakaian wanita.

"Untuk apa?" Rallia mengangkat wajah, menatap Rigel.

"Membeli pakaian ganti untukmu." Rigel balas menatap wajah bingung di sampingnya. Seulas senyuman hangat tersungging di dua baris bibirnya.

"T-tapi?"

"Tidak apa-apa, kau hanya perlu memilih beberapa pakaian yang bagus. Jangan memikirkan hal-hal lainnya." Rigel menarik pergelangan tangan Rallia, membawanya masuk ke dalam kios. Pintanya, "Pilihlah beberapa yang bagus dan kau sukai."

Kikuk serta canggung, Rallia malah salah tingkah dan menggaruk-garuk rambutnya sendiri yang tidak gatal. Rasa malu sekaligus kagum teraduk menjadi satu. Namun, di samping itu dirinya juga merasa kebingungan sendiri bagaimana mengambil sikap yang semestinya. Grogi.

Akhirnya, Rigel meminta si pemilik kios untuk memilihkan beberapa pakaian yang pas, termasuk pakaian dalam juga. Rigel lalu membeli sebuah ransel berukuran sedang dari kios sebelah dan memasukan semua pakaian yang telah dibelinya ke dalam ransel tersebut.

"Ini!" Rigel menjinjing ransel berisi pakaian ke udara. "Agak sedikit berat, kau sanggup tidak membawanya."

"Ini tidak berat." Rallia menerima ransel dan mengenakannya di punggung. Rasa grogi masih belum hilang. Jadi, tingkahnya tetap kikuk. "Terima kasih ... banyak."

"Tidak usah jengah begitu, biasa saja. Sebagai sesama manusia, sudah semestinya kita saling membantu, bukan?" Rigel berjalan keluar dari kios, diikuti oleh Rallia.

"Apa kita akan langsung ke Rohellio?" Rallia menengadahkan wajah, menatap pria di sampingnya.

"Kita temui dulu Allera dan si pria dingin itu. Karena sebelumnya sudah sepakat melakukan perjalanan bersama, maka ada baiknya kita ke Rohellio bersama-sama pula."

"Ya." Rallia mengangguk tegas. Ada seraut keceriaan memancar dari wajahnya yang tirus.

Bersambung ....


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C14
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión