Betapa hebatnya topeng yang dipakainya, senyum manis memikat di depan orang lain, tapi di satu sisi bisa melontarkan kata-kata kasar dan menusuk, walau hanya sebatas chat.
Ralin menyeringai menyaksikan pemandangan memuakkan di hadapannya saat kekasih Yuga, Fani, datang berkunjung di hari Minggu siang. Donna menyambutnya dengan antusias dan peluk cium. Mereka sudah kenal sejak lama karena Yuga dan Fani satu sekolah sejak SMP. Harris juga tak kalah antusias, memuji selera Yuga dan membuat cowok itu tersipu.
Nikahin aja sekalian biar sah!
Dan saat Fani akhirnya menatapnya, Ralin bisa melihat kilat kedengkian di balik senyum manisnya. Dia tahu Fani membencinya sejak Yuga menjadi kakaknya dan mereka harus tinggal serumah. Ia tak menyebarkan berita pernikahan ortu mereka, namun sejak saat itu Ralin sering mendengar gosip-gosip mengenai kesehariannya, yang tentu saja datangnya dari Yuga dan diteruskan ke Fani, yang dengan senang hati meneruskannya ke jejaring gosip sekolah.
Selain itu, sejak insiden perdebatannya dengan Yuga pascaremedial matematika, gadis bertopeng manis itu telah mengiriminya banyak pesan bernada ancaman dan hinaan, memintanya menjauh dari Yuga. Ada orang yang melihat Yuga dan Ralin bicara berdua, dimana hal itu cukup aneh di mata orang lain mengingat mereka tak pernah berinteraksi di sekolah, lalu mengadukannya ke Fani. Ralin tak menanggapinya sama sekali, hanya membacanya dan membiarkan gadis itu ribet sendiri dengan semua rasa cemburu buta yang melandanya.
“Hai, Ralin. Kamu cantik banget hari ini.”
Mata Fani menatap pakaian Ralin yang berupa tanktop thick strap hitam ketat dan celana hotpants denim yang menonjolkan warna kulit terangnya, sekilas terlihat tak suka. Ralin menyembunyikan senyumnya. Bukan penampilannya yang biasa, namun ia ingin menyulut kemarahan cewek itu sampai pol.
“Terima kasih, Fani. Aku memang cantik kok.” Ralin tertawa merdu, membuat Yuga mengerutkan alis.
“Tapi lebih baik nggak usah terlalu mengumbar penampilan yang terbuka sih, kalau aku boleh menyarankan. Lebih tertutup lebih baik.” Fani langsung menyerangnya, di hadapan semua orang.
Haisss….mau mati lo ya? Ralin berubah geram.
“Biasanya ya, cewek-cewek yang insecure yang ngomong begitu, yang kelewat bucin sama pacarnya, dan takut banget cowoknya dirampas cewek lain.” Senyum di wajah Fani lenyap seketika. “Kasian banget. Kalau aku jadi pacarnya, lebih baik ditinggalin aja deh! Bikin jengkel karena sering cemburu nggak jelas!” Ralin tertawa merdu lagi. Yuga kini menatapnya tajam, dan Ralin balas menatapnya dengan menantang.
“Yuk, kita naik.” Yuga berusaha menyelamatkan suasana, menyadari kekasihnya kini sudah di ambang batas kesabarannya.
“Eh, tunggu! Kalian mau ke kamarmu?” tanya Ralin dramatis, kedua matanya melebar. “Ma, Pa, masa mereka diijinin pacaran di kamar sih? Nggak sopan banget. Ralin aja nggak pernah masuk ke kamar Yuga, padahal dia kakak Ralin.” Wajah Fani telah berubah merah. Yuga mengepalkan tangan dan berpaling, mencoba menahan emosinya kuat-kuat.
“Yuga, Fani, ngobrolnya disini aja ya. Benar kata Ralin.” Donna mengerling Ralin, terlihat salah tingkah. “Silakan lanjutkan ya.”
Donna dan Harris bangkit dari sofa dan meninggalkan ruang tamu. Ralin buru-buru bangkit dan mengikuti mereka, sebelum sepasang kekasih itu meledak murka padanya. Ia memilih duduk di ruang keluarga sambil memainkan ponselnya. Dari tempatnya duduk ia bisa mendengar perdebatan dalam suara rendah dari arah ruang tamu, susah payah menahan dirinya agar tak sampai terkikik nyaring.
Berantem kan lo? Mampus!
***
“Bisa nggak kamu bersikap lebih baik ke Fani?”
Ralin memutar matanya dan dengan enggan mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Yuga berdiri di ambang pintu kamarnya, terlihat marah. Fani telah pulang beberapa saat yang lalu, hanya menghabiskan waktu kurang dari satu jam bertandang ke rumahnya. Ralin tak ikut mengantarnya ke gerbang, seperti yang dilakukan Donna dan Harris. Ia hanya menajamkan telinga untuk mendengar suara-suara mereka. Nggak penting.
“Suruh pacarmu itu berhenti menggangguku. Kalau dia baik, akupun baik sama dia. Simpel.”
“Jangan mengada-ada deh! Kapan dia pernah mengganggumu?”
Dasar bucin!
Ralin bangkit dari kursinya, dan melangkah ke arah Yuga sambil mencari-cari percakapannya di chat dengan Fani. Ia lalu menunjukkannya tepat di depan hidung Yuga, nyaris menyodok wajah lelaki itu dengan ponselnya.
“Baca!”
Yuga membaca semua pesan yang pernah dikirimkan Fani padanya dengan tatapan tak percaya.
“Kalau kamu nggak percaya, cek nomornya. Sama nggak dengan nomor ponsel pacar manismu itu?” ujar Ralin sinis. Yuga menurutinya dengan enggan, mengecek ponselnya sendiri, lalu memberengut. Ia menyerahkan kembali ponsel pada Ralin.
“Dia marah padaku tahu!”
“Syukurlah.”
“Apa?”
“Syukurlah dia marah sama kamu, bukannya ngamuk-ngamuk padaku.” Ralin mengangkat bahu. “Bukan urusanku juga kalau kalian marahan.”
“Kamu sengaja mancing-mancing tadi!”
“Nah, terus yang dia lakukan lewat chat itu apa namanya? Siapa duluan yang mancing? Aku juga bisa jengkel atau marah kalau dipancing duluan! Ini bukan soal Fani, tapi orang yang berusaha menerorku dan membuatku nggak nyaman. Kebetulan aja dia pacarmu!” Ralin memandangnya sinis. “Bucin boleh, goblok jangan!”
“Aku nggak…”
“Look at yourself, sebelum membantah. Oke?” Ralin memotong pembelaan dirinya. “Tanya sama teman-temanmu. Menurut mereka kamu bucin atau nggak? Karena selama ini yang aku lihat ya begitu.”
Yuga mendesah gusar dan tak membalas ucapannya, memilih untuk keluar kamar. Kalah.
Ralin menghembuskan napas panjang dan menutup pintu kamarnya. Ia menyandarkan punggung di pintu, lalu memerosotkan tubuhnya hingga duduk di lantai yang beralas karpet. Akting yang luar biasa, pikirnya, mengusap matanya yang telah basah. Ia tak menikmatinya, walaupun akhirnya Yuga dan Fani bertengkar seperti harapannya. Cowok itu terlalu mencintai Fani, pikirnya. Ia pikir semua rasa yang ada untuk Yuga telah hilang, nyatanya tidak. Semuanya masih sama, malah sekarang jauh lebih menyakitkan dibanding dulu.
Berawal dari naksir biasa, lalu kenapa dia malah jadi makin jatuh cinta? Bodoh!
Ia menelungkupkan wajah di lutut, menangis sepuasnya tanpa suara.
***
Yuga mondar-mandir di kamarnya, merasa kacau. Menghadapi Ralin benar-benar menguras emosinya. Ia sudah tahu akan begini jadinya, dan walaupun sebisa mungkin ia melarang Fani datang, gadis itu ngotot datang juga dan dihadiahi kata-kata pedas oleh Ralin. Sekarang, Fani murka, ngambek, dan ia yang harus menanggungnya sendirian. Membujuk Fani bukan hal yang menyenangkan, bikin dompet kosong dan emosi yang harus ditekan agar tak menggelegak naik ke permukaan. Ia tak pernah tahu Fani mengirimkan chat sekasar itu pada Ralin, dan ia bisa memahami sikap Ralin akhirnya untuk membalas perlakuan kekasihnya. Namun tetap saja, situasi ini luar biasa menjengkelkan untuknya.
Mungkin seharusnya sejak awal ia tak pacaran saja. Masalah pun tak akan datang bertubi seperti ini.
Tapi Fani terlalu sayang untuk dilewatkan. Dia gadis manis bertubuh mungil yang cerdas dan menjadi incaran para kaum adam di SMP mereka dulu. Ia menyukai semua tentang Fani. Rambut pendeknya yang lurus, lesung pipinya, hidungnya yang mancung dan mungil, suaranya yang cempreng, kecuali tingkahnya yang menuntut untuk harus selalu diprioritaskan. Gadis itu dulu datang dan menyatakan perasaannya, dan Yuga yang sejak kelas 10 mulai memperhatikannya, tanpa banyak ragu langsung menerima perasaannya. Perjalanan 6 bulan bersamanya penuh tantangan, setidaknya untuk Yuga.
Kini, Fani terusik oleh Ralin. Padahal Ralin tak pernah mengganggu hubungan mereka, sibuk dengan dunianya sendiri dan bergaul dengan sahabatnya sendiri. Ia capek menjelaskan, karena Fani tak percaya, dan memilih datang sendiri ke rumahnya untuk menyaksikan interaksi keduanya. Akhirnya, satu pukulan telak dari Ralin melemparkannya ke kubangan amarah. Ralin bukan lawan yang enteng untuknya, apalagi Fani yang bersalah karena berani mengusiknya lebih dulu.
Yuga menjatuhkan diri di lantai di kaki ranjang dan menyandarkan punggungnya. Tangannya mengacak rambut lurusnya hingga berantakan. Malas rasanya memikirkan hari esok.