App herunterladen
11.26% Yakinkan Aku Jodohmu / Chapter 32: Chapter 32 Pingin Punya Cucu

Kapitel 32: Chapter 32 Pingin Punya Cucu

"Lho ... ada tamu to ternyata?" Tiba-tiba Pak Samsul keluar dari pintu dalam.

Hari tersenyum dan menyapa beliau dengan sopan,"Eh ... selamat siang Pak."

"Siang-siang. Lho ... kok tamunya dianggurin Nadia? Diambilin minum sana!" suruh Pak Samsul.

"Tadi sudah Nadia tawarin Pak. Tapi katanya sudah kembung dia," sahut Nadia.

"Sudah ... sana buatkan. Biar Bapak temani dulu teman kamu ngobrol dulu." Pak Samsul tampak memaksa anak perempuannya untuk membuatkan minuman untuk Hari.

"Ya udah. Jadinya mau minum apa Hari? Teh atau kopi?" tanya Nadia.

"Bapak kopi Nduk. Sehari ini belum ngopi soalnya." Pak Samsul lantas duduk di depan Hari.

"Saya ... samain Bapak juga boleh deh Nad," sahut Hari.

"Oke, kamu ngobrol sama Bapak dulu ya Har." Nadia pun ke belakang untuk membuatkan kopi.

"Saya Pak Samsul, Bapaknya Nadia. Lha kamu ini, siapa Mas?" Jiwa interogasi Pak Ridwan pun mulai dijalankan.

Hari merasa grogi tapi bagaimana lagi sudah terlanjur tertangkap basah di depan Bapaknya Nadia.

"Saya ... Hari Pak. Teman sekolah Nadia, waktu masih SMP dulu."

"SMP? Udah lama juga ya? Kok tahu rumah ini emangnya dulu pernah ke sini ya?" tanya Pak Samsul.

"Dulu ... iya, pernah sekali Pak. Tapi ya .. tadi agak lupa, soalnya sudah berubah selama bertahun-tahun nggak ke sini lagi. He ... he," sahut Hari mencoba menghilangkan sedikit groginya dengan tertawa saja.

"Iya, wajar lah Mas. Soalnya kan rumah Bapak ini lokasinya agak di dalam juga. Jadi, ada perlu apa sama Nadia?" Pak Samsul bertanya langsung saja, mumpung Nadia juga masih sibuk di belakang.

"Main saja Pak. Kebetulan, tadi saya juga habis dari teman SMP lainnya juga jadi sekalian mampir," jawab Hari.

"Bisa kebetulan ya? Padahal Nadia biasanya nggak di rumah, sibuk kuliah dia di Jogja. Apa ... memang sudah janjian tadinya sama Nadia?" tanya Pak Samsul lagi.

"Oh ... sama sekali belum Pak. Malah saya baru minta nomor Nadia barusan saja ini. Karena juga ... kebetulan lusa saya juga sudah nggak di sini," kata Hari.

"Lho ... mau kemana?"

"Saya ... sudah mau kembali berlayar Pak," jawab Hari dengan sedikit membanggakan diri.

"Berlayar? Ooh ... jadi kamu ini, sudah bekerja di pelayaran begitu maksudnya Mas?" tanya Pak Samsul.

"Alhamdulillah, iya Pak." sahut Hari.

"Hebat. Masih mudah sudah keliling dunia kamu ya. Kalau Nadia, masih kuliah. Sambil kerja juga sih dia, katanya buat ngisi waktu luang." Pak Samsul menyampaikan tentang anaknya.

"Nadia hebat ya Pak. Sejak SMP dulu, selalu menjadi juara kelas juga. He ... he," kata Hari memuji Nadia.

"Alhamdulillah, iya Mas. Tapi ya itu, anaknya pemalu sekali dia itu. Sampai sekarang belum punya pacar juga kayaknya." Pak Samsul berkata kepada Hari sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Ooh ... berarti benar, Nadia memang belum punya pacar," batin Hari sembari tersenyum lebar.

"Kenapa Mas? Kok malah senyum-senyum sendiri? Apa, jangan-jangan kamu ada naksir sama anak Bapak ya?" tanya Pak Samsul tanpa basa-basi.

Sontak, pertanyaan Pak Samsul membuat Hari terkaget sekaligus merasa kalau bapak Nadia ini membukakan kesempatan untuk dirinya untuk bisa mendekati Nadia.

"Emangnya boleh Pak?" Hari pun langsung bertanya kepada Pak Samsul. Pikirnya, siapa tahu saja dengan ijin dari bapaknya, Nadia akan lebih mudah untuk didapatkan hatinya.

"Kopinya Pak ... Hari." Nadia tiba-tiba saja datang membawakan kopi dan gorengan hangat dari belakang.

"Wah ... harumnya. Pantesan lama, kamu goreng mendoan dulu ternyata Nad?" tanya Hari.

"He ... he. Enggak kok. Kebetulan Ibuk yang ternyata di dapur sedang menggoreng. Oiya, barusan aku dengar kamu tanya ke Bapak, emangnya boleh ngapain?" sahut Nadia setelah selesai menurunkan kopi dan gorengan dari atas nampan.

"Boleh ... apa ya tadi? Sebentar, gara-gara bau harum kopi buatan kamu jadi lupa kan tadi bicara apa," sahut Hari.

"Ah ...Mas Hari ini masih muda kok pelupa. Bapak saja masih ingat kok. Ini ... Nak Hari barusan minta ijin sama Bapak buat menjadi pacar kamu. Lha ... semua terserah sama kamu saja to Nduk. Kan kamu yang akan menjalani nantinya," sahut Pak Samsul benar-benar dengan begitu berterus terang tanpa tedeng aling-aling di depan kedua anak muda di depannya.

tedeng aling-aling artinya ditutup-tutupi.

Ya ... Pak Samsul memang tipe orang tua yang spontan, mengatakan apa adanya saat itu juga.

"Bapak ini ... Nadia kan masih kuliah Pak. Masih ingin menyenangkan Bapak dan Ibu dulu, nggak mau mikir pacar-pacaran dulu," sahut Nadia yang sontak membuat Hari tampak kecewa serta malu, secara tidak langsung jawaban itu memang ditujukan untuk dirinya.

"Itu ... Nak Hari. Bapak ini jadi orang tua sudah begitu terbuka sama anak-anak. Tapi kalau anak Bapak saja prinsipnya sudah seperti itu ya mau gimana lagi? Oiya ... sambil dimakan lho mendoannya Mas Hari. Mumpung masih hangat dan nikmat lho ini, " sahut Pak Samsul sembari mengambil mendoan hangat di atas meja.

"I-ya Pak. Terimakasih," sahut Hari yang lantas mengambil mendoan pula.

"Sudah nggak usah sedih. Jadi pria itu memang harus berjuang untuk mendapatkan hati perempuan yang dicintainya," kata Pak Samsul sembari tersenyum.

"Bapak ini lho ... bukannya mendukung anaknya sendiri buat fokus meraih masa depan," sahut Nadia dengan wajah sedikit cemberut.

"Menikah itu ... kamu pikir bukan masa depan?" tanya Pak Samsul.

"Ya ... tapi kan bertahap Pak. Kuliah, kerja, sukses dulu baru habis itu nikah. Jadi bisa buat bekal hidup ke depan juga kan nantinya," sahut Nadia berusaha mempertahankan prinsipnya di depan Bapak dan juga Hari.

"Hey ... nggak usah cemberut seperti itu. Bapak sabar untuk menimang cucu. Ibuk kamu itu, yang tampaknya sudah ingin sekali. Setiap lihat cucunya Bu Siti, dia kelihatan senaang sekali," kata Pak Samsul sambil tertawa.

"Bapak ini. Lagian kan anaknya Bu Siti juga memang sudah lebih tua dari Nadia. Memang sudah saatnya menimang cucu dia," sahut Nadia.

Hari hanya tertawa melihat percakapan antara Bapak dan anak perempuan di hadapannya. Dia kini merasa seperti penyusup diantara keduanya. Hingga ponselnya tiba-tiba saja berdering.

"Nad, Pak. Saya minta ijin angkat telpon dulu ya, permisi ..." Hari keluar untuk mendapatkan sinyal yang lebih jelas dan ngobrol di halaman rumah Nadia.

"Bapak ini lho ... bikin Nadia malu aja di depan Hari. Dia itu teman Nadia aja Pak. Nggak ada hubungan apa-apa lho," kata Nadia.

"Tapi Bapak lihat, anak itu ada rasa lho Nduk sama kamu,. Lagian, udah mapan juga lho, kerja di pelayaran gitu kok," kata Pak Samsul.

"Ah ... Bapak ini. Lagian Bapak tahu nggak? Orang itu kalau kerja di pelayaran, biasanya sekalinya berangkat bisa berbulan-bulan baru pulang lho Pak," Nadia mencoba menjelaskan kepada Bapaknya.

*****

Bersambung ...


next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C32
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen