Beberapa hari telah berlalu sejak Yola kembali pulang dari rumah sakit dan tinggal di rumah Abah Sofyan yang tak lain adalah orang tua dari Abdul.
Dan sejak kemarin Abdul telah mulai aktifitasnya, mulai sekolah homeschoolingnya, sampai jadwal ceramah yang mulai kembali padat, dan juga bekerja di kantor Abahnya. Satu-satunya yang dapat diandalkan Sofyan adalah anak laki-lakinya ini. Sebagai penerusnya di pondok pesantren dan juga penerus usahanya yang Ia rancang sejak masih muda.
"Kamu pulang jam berapa nanti?" Tanya Yola sambil membantu merapikan kemeja yang dikenakan oleh Abdul, suaminya.
"Mungkin malam, kenapa? Kangen?" Tanya Abdul dengan sedikit menggoda Yola.
Yola memberengut, lalu mengangguk. Membuat Abdul tertawa lebar, lalu membingkai wajah cantik di depannya.
"Aku juga kangen, tapi apa mau di kata, aku harus kerja untuk masa depan kita." Ucap Abdul dengan menyatukan kedua kening mereka.
"Tak bisakah aku membantumu?" Tanya Yola dengan wajah sendu.
"Tentu saja bisa."
"Benarkah? Kalau begitu aku ikut."
"Bukan begitu cara membantuku."
"Jadi?"
"Tersenyumlah hanya untukku, dan sambut aku dengan senyum itu saat aku pulang nanti." Ucap Abdul membuat Yola menarik nafas panjang.
"Aku ga mau kamu capek, karena kondisi kamu yang membutuhkan waktu untuk pemulihan." Lanjut Abdul karena masih melihat Yola dengan menunduk serta awan mendung yang mulai mengumpal.
"Aku janji, kalau kamu sudah membaik, kamu boleh ikut aku ke kantor. Tapi jangan sedih kayak gini dong, nanti aku ga bisa kerja kalau ingat wajah kamu yang sedih kayak gini."
Yola menatap Abdul, lalu mengangguk disertai senyuman kecil di wajahnya.
"Maaf."
"Tak perlu minta maaf."
"Kamu jaga kesehatan ya, aku memyayangimu, aku akan merindukanmu sepanjang waktu."
Yola memeluk Abdul dengan erat, enggan rasanya Ia untuk melepaskan pelukan hangat yang selalu Ia rindukan.
"Berhati-hatilah, aku akan menunggu mu di rumah."
"Hm." Ucap Abdul singkat, lalu mencium kening Yola sedikit lama.
"Jangan lupa minum obat, dan jangan sampai telat." Pesan Abdul yang dijawab dengan anggukan tegas dari Yola, karena tak mau Abdul mengkhawatirkannya.
"Aku antar sampai ruang samping ya." Ucap Yola.
"Boleh. Sampai dimobil juga boleh." Ucap Abdul sambil merangkul bahu Yola.
"Ga ah! Nanti banyak yang lihat terus patah hati." Balas Yola, sedangkan Abdul tersenyum. Sambil mengusap sebelah pipi Yola dengan lembut.
Bukan rahasia lagi, banyak santri putri yang menyukai Abdul karena paras tampan serta kecerdasannya. Apalagi saat Abdul saat Abdul sedang menyampaikan ceramah atau sedanag mengajari menggaji, Aura wibawa penuh karisma terpancar di wajahnya dengan jelas.
Begitu juga dengan Yola, perpaduan wajah Danil yang memanag mempunyai darah campuran, dengan wajah jelita yang ayu membuat Yola menjelma menjadi seorang gadis yang menarik dengan paras menawan, kulit putih dan mata sayu dan hidung yang mungil. Membuat siapa saja yang menatapnya pasti langsung jatuh hati.
Bagaimana jika para santri di pesantren itu mengetahui jika mereka berdua telah menikah? Wow. Sudah bisa dipastikan akan banyak hati yang akan patah hati.
"Hati-hati ya, jangan sampai telat makan, kalau kamu ada waktu luang, hubungi aku." Pesan Yola pada suaminya.
"Baik Nyonya Abdul. Aku berangkat ya, ada pertemuan penting di kantor hari ini, doakan semua lancar, supaya aku bisa belikanmu berlian." Ucap Abdul sambil tertawa lebar.
"Ya. Amiin, semoga semua lancar, dan pulang bawa berlian." Ucap Yola sambil tersenyum, lalu meraih tangan Abdul untuk Ia cium.
Sekali lagi Abdul mencium kening Yola sebelum.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Abdul keluar dari pintu samping yang langsung menuju ke parkiran dimana Pak Karim telah menunggunya dengan setia.
"Ciye… yang mesra, yang romantis." Goda Anisa yang berdiri bersandar di pintu penghubung antara ruang keluarga dan ruang tamu khusus untuk para santri yang ingin menemui Umi atau Abdul.
"Ciye… yang lagi jatuh cinta, tapi ga mau ngaku." Balas Yola pada Anisa yang lain adalah adik iparnya lalu merangkul leher Anisa, sambil membawanya masuk ke dalam rumah.
"Ciye… kakak ipar dan adik ipar yang akur." Kata Umi yang baru keluar kamar lalu duduk di ruang keluarga, diikuti oleh Yola dan Anisa, yang mengapit dikanan dan kiri Umi.
"Ikutan aja Umi." Protes Anisa.
"Tumben kamu ingat rumah, biasanya kalau ga dipanggil Umi atau Abah, ga pernah mau pulang." Kata Umi sambil mencibir serta melirik Anisa yang juga melirik Uminya. Yola hanya tersenyum di samping Umi yang sedang menikmati potongan buah.
"Kan sekarang ada temannya, Umi."
"Dulu juga ada temannya. Alasan aja."
"Siapa?"
"Kan di rumah ada Umi, ada kak Abdul ada Abah." Kata Umi.
"Ya kurang rame aja."
"Lha sekarang tambah satu orang, apa beda tingkat keramaiannya?"
"Ya bedalah Umi, aku sama Yola itu kan teman satu kamar dan lagi Yola enak diajak ngobrol, lucu juga, walau lebih tua Yola dari aku, Umi."
"Jadi intinya umi, kakak dan Abah ga enak diajak ngobrol, dong?" Goda Umi pada Anisa.
"Ya Allah Umi… bukan begitu."
Umi dan Yola tertawa melihat kebingungan Anisa dalam menjawab.
Sementara di kantor Abah Sofyan sedang bercakap dengan Abdul, wakilnya sekaligus putranya.
"Abdul, kemarin waktu abah bicara sama ayah Danil tentang keadaan Yola, dokter menyarankan untuk Yola rawat jalan di negara A, karena di khawatirkan masih ada sel kanker yang tersisa. Dan untuk memastikannya, dokter Ridwan menyarankan agar Yola untuk sementara waktu tinggal di negara A, untuk melakukan perawatan lanjutan, karena peralatan di sana lebih canggih. Bagaimana menurutmu?" Tanya Abah Sofyan pada anaknya.
Abdul terlihat berpikir keras, terlihat dari dahinya yang berkerut serta ujung jarinya yang ia gigit saat Ia menopang dagu.
"Yang jadi pertanyaan adalah, apa Yola mau Abah? Salah satu cita-cita Yola adalah menyelesaikan pendidikan di pesantren, hingga lulus kuliah, jika sekarang kita menyuruhnya tinggal di negara A, apa dia mau?" Jawab Abdul, sambil kembali berpikir.
"Tapi, ini jalan satu-satunya agar Yola benar-benar bisa sembuh, Abdul."
Abdul menghela nafas panjang, lalu menyugar rambutnya dan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
"Baiklah, aku akan coba membicarakan tentang hal ini dengan Yola."
"Abdul, satu lagi yang ingin Abah beritahu padamu."
"Apa itu Abah?"
Sofyan melangkah ke meja kerjanya, lalu mengambil sepucuk surat dari dinas pendidikan yang baru Ia terima kemarin.
"Ini untuk Yola, tapi kemarin aku memberikannya pada Danil agar dia bisa membacanya."
"Lalu, apa tanggapan ayah Danil?" Tanya Abdul sambil membaca surat itu, yang ternayata adalah rekomendasi beasiswa ke negara A.
"Jadi Yola mendapatkan akselerasi sekolah walau dia tak mengajukannya, dan sekaligus mendapat beasiswa kuliah di negara A." Abdul menatap pada Abahnya.
Sofyan mengangguk, "Ini semua tergantung padamu dan Yola."
"Tapi untuk saat ini, aku tak mungkin menemani Yola untuk tinggal dinegara A, Abah tahu sendiri pekerjaanku disini semua harus aku tanggani dengan sebaik mungkin, kalau tidak__ "
"Abah tahu itu, kamu bicarakan saja dengan Yola, bagaimana yang terbaik."
"Baiklah abah."