App herunterladen
2.77% UnHuman / Chapter 5: Chapter 4 - Pertarungan antar pengguna darah Iblis

Kapitel 5: Chapter 4 - Pertarungan antar pengguna darah Iblis

[Pov - III]

Hari Sebelumnya.

Jauh di belahan wilayah Utara kerajaan Leon, berdiri kokoh sebuah markas berlapis beton, tembok besar dan tinggi mengitari setiap sisinya. Markas itu berada di tengah lembah, dihimpit pegunungan dan perbukitan yang membentang jauh. Membuat tempat ini sangat tersembunyi dan sulit terjangkau bagi siapapun.

Kerajaan Leon menjadikan kawasan Markas Utara, sebagai tempat mengumpulkan para subjek budak yang gagal menjelma sebagai Unhuman.

Mereka yang telah menjadi Unhuman liar akan dikurung dalam sebuah penampungan berbentuk kurangan jeruji besi. Tempat kurungan ini bukanlah jenis wadah penjara biasa, karena mereka mengukirkan formula rune sihir ke balik jeruji besinya. Hal ini akan memicu tidur paksa bagi makhluk apapun yang masuk ke dalamnya.

Kerajaan Leon membangun markas satu ini bukan tanpa alasan, mereka bertujuan untuk mencapai suatu keuntungan sepihak dengan menumbalkan orang-orang tertentu sebagai inang darah Unhuman.

Mereka tahu kalau keinginan bertahan hidup seseorang, serta emosi dalam dirinya, memengaruhi keberhasilan seseorang untuk menguasai darah Iblis. Sehingga mereka memutuskan untuk mencari budak dan orang terlantar sebagai objek percobaan.

Selama bertahun-tahun, mereka melakukan semua kekejaman ini secara rahasia, agar mereka dapat membuat senjata perang dari pasukan Unhuman.

Karena hal ini, Markas Utara sangatlah dirahasiakan dari semua kalangan. Bahkan tidak banyak petinggi kerajaan yang mengetahui aktivitas di dalam markas itu. Termasuk para penduduk kerajaannya sendiri.

Sementara itu, Ilya dan Viona sedang berada di salah satu puncak gunung tertinggi yang berada dekat dengan markas Utara.

Viona memperhatikan segala bentuk kegiatan yang sedang para prajurit lakukan dalam tembok markas Utara, melalui sebuah teropong bermata satu.

Viona terlihat duduk dengan santai di ujung tebing bebatuan, sembari mengayunkan kedua kakinya yang bebas di udara. Dari ketinggian seperti itu, dia tidak takut sama sekali melihat ke bawahnya.

"Jadi ... itu markas satunya, ya?" Suara lembut Viona terkesan imut.

"Kau benar."

Ilya menjawab dengan nada suara yang datar.

Ilya terlihat tengah mencari sesuatu dalam tumpukan perkakas dan baju pada tas punggung kudanya.

"Jadi, apa rencana kita, Ilya?"

Ilya sudah menemukan benda yang dia cari. Dia kemudian berjalan ke ujung tebing dan menyusul Viona, selagi ia memasangkan suatu sabuk pengikat ke balik pelindung kulit dalam jubah hitamnya. Kaki kanannya naik memijak sebuah batu kapur, lalu ia menatap ke arah markas Utara.

"Tidak ada rencana, kita lakukan seperti biasanya, Viona. Aku akan melakukan penyerangan langsung sendirian dengan kekuatan Unhumanku, dan kau lindungi aku dari jauh." Ilya memasang senyum tipis sebagai bentuk kepercayaan dirinya.

"Apa kali ini kau yakin bisa mengatasi semua orang yang ada di sana sendirian? Prajurit yang ada di sana lebih dari dua puluh orang."

Viona menoleh ke arah Ilya. Setelah mereka bertukar pandang, Viona bisa mengerti tekad dan keseriusan dari ucapannya tadi.

"Tentu saja! Percayakan saja padaku!" Ilya menekuk sudut mulutnya, seraya menampar telapak tangannya.

"Hmmm ... percaya diri sekali." Viona mencoba percaya, lalu ikut berdiri bersama Ilya.

Langit di cakrawala mulai meredup, sinar jingga bercampur warna biru mulai menghilang. Hari berangsur-angsur menjadi gelap. Bulan mulai menampakkan dirinya, dan kegelapan menelan seluruh daratan wilayah ini.

Ilya memfokuskan diri sejenak dalam meditasi yang mengatur pernapasannya. Dia lalu memejamkan matanya. Dengusan napasnya terdengar tajam, dan konsentrasi darinya begitu intens.

Seketika aura penuh tekanan berwarna merah tua terpancar dari seluruh tubuh Ilya. Pembuluh darahnya berkumpul ke sekitar wajahnya, membentuk garis uratnya yang menonjol ke permukaan kulit dan berubah memerah

Selepas Ilya membuka kelopak matanya, perubahan bentuk dan warna matanya ikut berubah. Muncul suatu garis lingkaran mengitari pupil matanya yang memerah. Manik hitam matanya yang tajam, terukir pendar cahaya merah.

Ilya menekuk kaki kiri, disusul kaki kanannya. Detik itu juga Ilya melepaskan pijakannya dan melompat ke depan, percikan bara api tertinggal di sekitar bekas jalurnya.

Viona merasa terganggu akibat hawa panas yang setiap kali dilepaskan Ilya dalam perubahannya.

Viona kemudian bersiap pada posisinya. Ia memasang anak panah ke sebuah busur, tangan kanannya lalu meletakkan anak panah pada seutas tali, kemudian menariknya dengan sekuat tenaga.

"Hancurkan mereka, jagoan!" Viona tampak tersenyum tipis untuk sesaat.

...

Di bawah sana, prajurit yang mengenakan mantel hitam mulai mengangkat beberapa tong besar berisi cairan anggur yang terawetkan. Mereka menyusun meja dan kursi di tengah lapangan terbuka, lalu duduk bersantai bersama demi melepas rasa penat.

Warna merah merona pada wajah mereka sudah mulai timbul, arah pembicaraan mereka berubah menjadi pembahasan tentang betapa buruknya mereka dipekerjakan secara paksa di tempat ini tanpa bisa meminta cuti.

Hal ini memicu pertengkaran kecil di antara mereka. Sampai— suara dentuman keras dan menggema memecah keributan.

Ilya mendarat tepat di tengah-tengah mereka, menghancurkan semua perkakas dan tanah dari tempatnya mendarat.

Sosok Ilya terselimuti gumpalan debu akibat benturan barusan, dan muncul uap panas yang mengepul keluar dari sekujur garis retakan pada kulitnya.

Perhatian semua orang tertuju ke arah Ilya, namun mereka tidak cukup yakin dengan apa yang mereka lihat sekarang.

Mereka yang berada di tengah lapangan mulai kepanikan. Ada yang terjungkang dari kursinya, dan beberapanya terperangah karena ketakutan.

Seorang prajurit yang sedang merangkak di atas tanah itu dapat melihat suatu sosok dalam kepulan asap. Ada suatu siluet bayangan seseorang, dan ia sedang berjalan ke arahnya. Sepasang sorot mata yang merah tampak menyala di baliknya.

Prajurit itu bersiap menarik pelatuk senapan yang sedang ia genggam, dan membidik ke arah sosok Ilya.

Detik itu Ilya melejit ke hadapannya, dan menendang kepalanya seolah bola sepak. Pandangan semua orang seketika membelalak, salah seorang dari mereka baru saja terbunuh dengan cara yang mengerikan.

Kepala prajurit itu hancur bagaikan bola yang meletus. Darah merembes membasahi lantai, dan sisa otaknya berhamburan ke mana-mana. Tubuh orang itu hanya sekali mengejang, kemudian dia tidak lagi bergerak.

Dia tewas. Dia bahkan tidak sempat mengucapkan sepatah kata dan tewas.

Kepulan asap di belakang Ilya mendadak terbuka, memunculkan seseorang yang melompat mencoba memenggal kepalanya dengan sebilah pedang.

"Haaaaghhhh—"

Ilya sekali melirik dengan sorot mata yang dingin. Tubuhnya sama sekali tak bergerak, namun tangannya yang sigap langsung menangkap leher prajurit itu, dan mencengkeram rahangnya.

Cengkeraman jemari Ilya perlahan-lahan semakin menguat. Dan kedua kaki prajurit yang tengah melambai itu tak lagi memijak tanah. Tubuh prajurit itu terangkat oleh Ilya dengan ringannya. Prajurit itu membelalak kesakitan, dia mengerang seraya mencoba mencakar-cakar pergelangan tangan Ilya, dia berusaha sekuat tenaga mencoba lepas dari cengkeraman tangan Ilya. Wajahnya semakin memucat, dan sesaat kemudian— kepalanya telah terpisah dari tubuhnya.

Sebuah kepala tergeletak jatuh menghantam tanah, disusul oleh badannya yang masih mengejang. Lehernya terus mengucurkan darah. Darah tersebut perlahan merembes keluar dari tubuhnya, dan membuat lantai menjadi kubangan air kental berwarna merah.

Bau yang tersebar di udara kini adalah bau darah.

Ilya tampak menikmati aroma pembukaan ini, hingga ia menyunggingkan seringai yang tampak kejam.

Semua itu berlangsung kurang dari sepuluh detik, membuat semua orang terpana akan ketakutannya. Mereka semua masih sulit mencerna situasi apa yang baru saja terjadi di sini.

"Kalian ... terlalu lemah sekali!"

Ilya melontarkan provokasi pertamanya dengan suara yang lantang, membuat telinga siapapun yang mendengar terpancing amarah. Sesuai rencana Ilya, sorot kemarahan terukir dalam ekspresi semua prajurit.

"Tembaakkk!"

Suara letusan senjata api menggema, bersama munculnya percikan merah dari setiap selonsong mereka, dan memuntahkan bola peluru timah panas.

Detik itu Ilya melepaskan dengusan napasnya yang tajam, dan mengepulkan uap panas dari mulut serta hidungnya. Sekujur tubuhnya seketika melepaskan aura merah yang membara, dan luapan energi panas itu mampu meleburkan setiap butir peluru sebelum sempat menyentuh kulitnya.

Semua prajurit di sana tersentak kaget melihat perubahan Ilya yang mendadak. Garis merah yang mengukir kulitnya secara abstrak, tiba-tiba meluapkan bara api ke udara, menandakan betapa panas tubuhnya saat ini.

"Tidak mungkin!"

Seorang dari mereka tertunduk putus asa. Dan sebagiannya lagi segera mengisi ulang amunisi, dan mencoba menembak sekali lagi. Beberapa dari mereka ada yang turun dengan membawa pedang, dan menghampiri lawan mereka tanpa adanya rencana.

Ilya tiba-tiba menyunggingkan seringai tipis, dan sorot ekspresinya tampak menyeramkan.

Segera, Ilya merentangkan kedua tangan yang mengeras. Jemarinya sedikit menekuk, bersama ancang-ancang kakinya bersiap berputar.

Ilya melakukan sekali putaran tubuhnya, bersama gerakan kedua tangannya yang menyapu udara. Kibasan tangannya tadi, melepaskan gejolak energi yang meluapkan bara api, dan membentuk pusaran kobaran api merah spiral.

Mereka yang mendekat hanya bisa putus asa, dan terlelap dalam panasnya kobaran api yang membludak. Hanya dalam hitungan detik, daging mereka terkoyak dari tulangnya, dan melebur menjadi debu.

Tidak sampai di situ, saat selesai melakukan tarian yang memunculkan luapan bara api tadi, kedua tangannya lantas menghantam tanah di bawahnya. Energi Iblis Ilya yang tersalurkan melalui kedua telapak tangan, menyebar melalui celah bawah tanah, dan meledakkan setengah lapangan benteng.

Masih belum puas, Ilya segera menarik napasnya dalam-dalam, dan menghimpun semua energi dalam dirinya berkumpul ke titik tenggorokan. Ketika sudah siap, Ilya membuka kedua rahangnya, dan semburan napas api berhembus keluar dari mulutnya.

Ilya membakar mereka bagaikan amukan naga yang menyemburkan napas api dari mulutnya.

Jangkauan serangannya menyebar, dan Ilya mengarahkannya untuk membakar siapapun yang berada dekat dengan dirinya. Sekalipun bagi para Unhuman yang sedang tertidur dalam kurungan, bahkan ia lebih fokus untuk memanggang mereka semua. Karena tujuan awalnya kemari adalah untuk melenyapkan para subjek senjata perang tersebut.

Selagi Ilya melakukan serangan tanpa henti tadi, beberapa orang mencoba membidik dan menargetkan dada kirinya dengan senapan berat. Prajurit itu sudah selaras dengan bidikannya, dan jemarinya bersiap menarik pelatuk. Namun detik itu juga sebuah panah melesat dan menembus batang lehernya. Prajurit malang itu tewas, dan melepaskan tembakan liar saat jarinya refleks menarik pelatuk.

Viona tampak lega sehabis melakukannya, terlihat pupil matanya akan menyusut jika sedang membidik. Viona melindungi Ilya dari para prajurit dengan senapan berat di atas tembok.

Kondisi benteng ini seketika berubah suram setelah kedatangan Ilya.

Banyak dari mereka berlarian, dan terbakar dalam kobaran api yang memanggangnya hidup-hidup.

Kobaran api merah milik Ilya menjadi pemandangan baru dari tempat ini. Bara api terus memercik dari sisa perkakas yang terbakar, dan memunculkan kepulan asap yang mengudara.

Tanpa Ilya menduganya, seseorang muncul dari balik bayang-bayang kepulan asap. Sosok pria itu berjalan dengan sangat santai ketika menembus kobaran api di hadapannya. Seolah api sekecil itu tidak memberi pengaruh berarti bagi tubuhnya.

Rambutnya berwarna hitam, dan sorot tatapan matanya terkesan sombong. Dia membawa sebilah pedang yang diayun-ayunkan dalam genggaman jemari tangan kanannya. Dia mengenakan pakaian sederhana, setelan mantel prajurit berwarna hitam.

Sesaat kemudian, Ilya menyadari adanya suatu pergerakan yang bergerak dari arah belakangnya.

Saking cepatnya, Ilya bahkan tersentak kaget saat menyadari bahwa tangan kiri sampai ke bagian atas bahunya, dalam sekejap mata telah terpotong dan tercincang secara kejam.

'I-ini—'

Ilya mendorong pijakannya, dan melompat mundur menjauhi sesuatu.

Darahnya masih mengucur keluar dari luka tangan kirinya yang buntung. Sesaat kemudian, tangan kirinya kembali tumbuh seperti semula. Ilya baru saja mengorbankan banyak energi darah Iblisnya untuk beregenerasi.

Ilya segera melihat kembali ke depan. Kini dia melihat adanya sosok lain yang sedang berdiri bersama orang sebelumnya. Mereka berdua kini berdiri layaknya sebuah tim dadakan.

Orang yang menyerang Ilya tampak sedang menjilati kuku jemarinya, dan ketiga kukunya itu terlumuri cairan kental berwarna merah. Memberi petunjuk tentang senjata yang baru saja melukai Ilya barusan.

Pria itu sekilas terlihat menyeramkan, dan punya tampang seperti seorang pembunuh berdarah dingin. Surai hitamnya yang panjang terjuntai dengan bebas, dan sorot matanya yang hitam tampak menyala.

"Mereka—"

"Yhaaa! Halo, Unhuman! Baru ditinggal sebentar saja, kacaunya bukan main. Apakah kau mau bermain dengan kami sebentar!?" Suara Gillert penuh dengan nada tekanan. Dia menyunggingkan seringai yang sinis.

Gillert segera menghunuskan pedangnya dan bersiap siaga akan medan pertarungan setelah ini. Dia memasang kuda-kuda dasar dari teknik berpedang aliran 'Napas Utara'. Kedua kakinya sudah dalam posisi, dan tangan kanan yang menggenggam pedang ia angkat naik selaras dengan arah bahunya.

"Mari kita habisi dia," ucap Gillert.

"Jangan memerintahku, pendek," sahut Farhest di sebelahnya.

"Ada yang aneh dan berbeda dari mereka. Pria pendek itu memegang sejenis pedang sihir. Sementara pria satunya adalah Unhuman."

Ilya menyadari bahwa Gillert sedang memegang salah satu senjata sihir. Dia bisa merasakan aliran energi yang terpancar dari batang pedangnya.

Ilya menilai situasinya saat lawan sedang saling mengoceh. Ilya sadar bahwa mereka berdua telah mengambil keputusan, dan kini mereka terlihat sangat siap untuk melawan dirinya.

Sorot ekspresi Ilya berubah suram. Namun dia masih berusaha tenang, dan berdiri dengan penuh rasa percaya diri.

Ilya sadar kalau posisinya saat ini sedang tidak diuntungkan sama sekali. Karena itu, ia terpikirkan satu solusi terakhir dalam situasi seperti ini, dirinya berniat memakai teknik darah Iblis dan membunuh mereka berdua.

Segera, Farhest menekuk kedua lengan dan memanjangkan seluruh kuku jemarinya, hingga corak legam mewarnai batang kukunya. Kekuatan orang ini dalam memainkan kuku jemarinya tak bisa diremehkan, karena ketajaman setiap kuku itu setara dengan sebuah mata pedang.

Gillert telah lebih dulu berlari maju, dan menghampiri Ilya dari arah depannya.

Sementara Farhest baru menyusul dengan berlari mengitari Ilya, dan berniat menyerang dari belakangnya.

Ilya tampak sudah memutuskan pilihannya. Segera, kaki kanannya yang terangkat naik, ia hantamkan ke tanah dengan kerasnya.

"Teknik darah, Inferno." Ilya merapalkan kalimat itu seraya mengangkat kakinya tadi.

Kaki Ilya yang menghantam tanah tadi seketika mengeluarkan energi besar, dan melepaskan bara api yang meledakkan seluruh area benteng markas Utara. Gelombang bara api terhempas keluar, dan aura merah menyala terpancar dari sekujur tubuhnya.

Tembok benteng ikut bergetar, dan tiang penyangga tembok perlahan-lahan runtuh secara sendirinya.

Suatu lubang kawah baru saja tercipta akibat luapan energi dan ledakan barusan.

Ilya tiba-tiba melirik ke arah Gillert. Sorot kemurkaan terpampang jelas dalam raut wajahnya. Namun ia masih belum menunjukkan pergerakan apapun.

Menyadari arti tatapan itu, sekujur tubuh Gillert mendadak gemetar.

Dari sudut pandang Gillert sekarang, sorot mata Ilya terlihat sangat tajam. Dia merasa terintimidasi oleh tatapan mata itu.

Gillert terperangah kaget melihat fenomena ini. Matanya membelalak saat melihat ke arah Ilya yang mampu mengeluarkan aura seberbahaya itu.

Percikan bara api tampak bercampur bersama udara, dan menghiasi aura yang menyelimuti Ilya. Saking panasnya aura merah miliknya, sisa tenda dan perkakas kayu di sekitarnya mendadak terbakar meski ia tak bersentuhan langsung.

"Aura macam apa ... itu!?"

Lantas Gillert melangkah mundur dan menjauhi Ilya. Dia merasakan ancaman berbahaya dari sosok Ilya yang sekarang.

Gillert bisa merasakan hawa dingin yang merayap dalam dirinya, perasaan merinding akan ketakutan. Tidak. Dirinya ketakutan karena merasa kematian bisa saja datang kepadanya saat ini.

Farhest berusaha menyerang belakang Ilya, tangan kanannya yang terangkat, melayangkan tebasan lurus mengincar leher lawan.

Ilya tiba-tiba sudah berdiri sambil menghadap Farhest. Perubahan posisi tubuhnya yang secara tiba-tiba membuat Farhest terheran-heran.

Serangan Farhest Ilya tepis dengan satu tangan kirinya. Membalas hal ini, Ilya mengepalkan genggaman tangan kanannya. Sedetik kemudian, Farhest telah terpental dan mendarat masuk ke dalam dinding tembok.

Farhest bahkan tidak menyadari apa yang baru saja terjadi, namun sebuah lubang menganga telah terbentuk di perutnya. Farhest sejenak terbaring di sana tanpa mampu bergerak, selagi menunggu tubuhnya perlahan beregenerasi.

Ilya tiba-tiba mengaum dengan suara yang bengis, layaknya dia sedang berontak kesakitan. Seketika luapan energi yang menyelimuti dirinya kian membesar.

Aura merah yang menyelubungi Ilya semakin menyeramkan.

Ekspresi Gillert berubah pucat setelah melihat semua ini. Dirinya masih sangat terkejut, dan rasa gemetar menguasai dirinya. Meski begitu, Gillert memutuskan untuk menyerang Ilya walau jemarinya yang memegang pedang tengah gemetaran.

Gillert mengambil langkah maju, namun ia langsung dikejutkan dengan kedatangan Ilya yang menyambutnya.

Ilya melayangkan pukulan lurus, dan tangan kanannya bersarang ke dada lawan.

Gillert langsung merasakan degup jantungnya melambat ketika bersentuhan dengan tangan Ilya. Tubuhnya kemudian terhempas jauh. Ilya kembali mengejar Gillert yang sedang melayang di udara, ia langsung memukul lurus tubuh lawannya dari samping. Punggung Gillert berakhir patah dan tertelan masuk ke tanah, ia mengerang dengan darah di mulutnya.

"Tu-tunggu—"

Gillert mencoba memohon selagi mengangkat tangan kanannya, wajahnya sudah sepucat mayat ketika menatap Ilya. Segera, Ilya menginjak kepala Gillert hingga remuk tak bersisa.

Ilya kali ini tanpa ampun. Musuhnya yang dihabisi dengan cara keji seperti itu bahkan tak sedikitpun menggerakkan hatinya, apalagi membentuk ekspresi bersalah di wajahnya.

Farhest kemudian kembali bangkit setelah melihat Gillert mati. Hal ini cukup membangkitkan api kemarahan di hatinya. Kerutan dengan tonjolan urat muncul pada wajahnya. Dia berlari kencang dan menyusul Ilya yang sedang akan menoleh ke arahnya.

Ilya sudah sadar akan kedatangan Farhest. Dia sengaja membiarkan musuhnya untuk lebih mendekat ke arahnya agar dapat melakukan suatu serangan.

Farhest mengangkat tangan kanannya naik, dan jemarinya yang mengeras siap melayang mengincar kepala lawan. Farhest sangat ingin mengoyak lawannya, dan mencabik-cabik tubuhnya itu.

Ilya menyeret kaki kanannya bergeser ke samping. Kaki kirinya yang terangkat, melayang tepat ke arah lengan Farhest dan menghantam dengan kekuatan penuh sampai menembus pertahanan lawan.

Nalurinya merasakan bahaya akan aba-aba serangan Ilya. Farhest segera merubah arah serangannya, menjadi posisi bertahan.

Tendangan miring Ilya terlalu cepat, hingga kedua lengannya yang baru saja terangkat naik, terkena hantaman penuh sampai mematahkan kedua tulangnya. Serangan itu membuat Farhest terbelalak kaget. Dia menyadari bahwa kaki kiri Ilya saat ini tengah bersarang di kepalanya. Tengkorak pelipisnya pecah, dan darah merembes keluar dari suatu luka di kepalanya.

'Ti-tidak mungkin!'

Farhest mencoba menolak kenyataan ini, namun dirinya merasa sedang terpojok. Dia meringis kesakitan, selagi kedua lengannya yang patah masih menahan kaki kiri Ilya.

"Mati ...!" Ilya mengatakan itu dengan suara penuh tekanan.

Farhest bergidik ngeri, dan tubuhnya seketika saja gemetaran. Dia tidak bisa menguasai dirinya, dan ia bergeming sambil melotot atas rasa kekesalan dalam hatinya.

Segera, Ilya mengepalkan genggaman tangan kanannya yang meluapkan kobaran bara api. Bersama itu, kaki kirinya ia lepaskan saat akan mendaratkan pukulan.

Farhest merasakan ancaman yang mematikan dari serangan ini. Dirinya segera memakai teknik darah Iblis miliknya. Detik itu suatu bilah pedang muncul dari dadanya, dan memanjang lurus sampai menusuk tubuh Ilya. Teknik darah milik Farhest membuat dada lawannya tertusuk.

Namun Ilya sama sekali tidak bereaksi, dan malahan Farhest sangat terkejut dibuatnya.

Tanpa Farhest menduganya, pukulan lurus Ilya tadi mengenai sisi wajahnya, membuat sebuah lubang kosong yang mengoyak setengah kepalanya. Sebelah matanya hancur, dan rahang atasnya tak bersisa sama sekali. Area kulit kepalanya perlahan-lahan melepuh karena aura panas Ilya. Dirinya baru merasa bahwa sedari tadi tubuhnya tengah terpanggang secara perlahan.

"A-apaa—"

Farhest tersentak kaget, dan kini kepalanya mengepulkan uap panas untuk beregenerasi. Dia mengorbankan lebih banyak darahnya kali ini, membuat kekuatannya semakin menurun.

Lantas Farhest menyerap kembali senjatanya ke bentuk darah. Dirinya berniat kabur dan meninggalkan pertarungan. Farhest sudah tidak bisa berpikir jernih, karena lawannya kali ini adalah monster.

Ilya yang sadar lawannya akan kabur, tidak begitu saja membiarkannya. Namun tubuhnya saat ini menolak untuk bergerak. Ilya sebenarnya sudah terluka parah akibat serangan Farhest tadi, bilah pedang itu menembus di antara jantung dan paru-parunya. Namun dirinya bisa berakting dengan baik. Dia bersikap tenang seolah serangan Farhest tadi tidak memberikan dampak apapun.

Karenanya Ilya akan memakai salah satu teknik yang dibencinya. Teknik darah ini akan memberi dampak buruk kepada pemakainya. Namun sebagai hasilnya, semua materi apapun dalam jangkauan serangan ini akan berubah menjadi abu.

Ilya segera merentangkan kedua tangannya ke arah depan. Tepat ke arah Farhest yang sedang berlari terpontang-panting. Kedua telapak tangannya yang terbuka juga ikut mengarah ke depan. Ketika itu aliran energi merayap penuh mengisi telapak tangannya.

Detik itu Ilya mengayunkan kibasan tengannya ke belakang. Benih energi yang terkumpul, kemudian terhempas dan berubah menjadi luapan bara api. Dalam sekejap mata, semua bara api itu membentuk kobaran api merah menyala, dan berubah menjadi tornado api spiral.

Farhest terbelalak kaget saat melirik ke belakangnya. Pemandangan terakhir yang ia lihat hanyalah warna merah yang memenuhi penglihatannya. Dirinya dalam sekejap tertelan dalam luapan tornado api, dan mengoyak sekujur tubuhnya sampai ke tulang. Menyisakan sisa serpihan abu hitam.

Api yang tak terbendung mulai bergejolak tanpa arah, seluruh Markas Utara diselimuti kobaran api hingga meluap ke angkasa, mengubah langit menjadi warna merah.

Gelombang panas tiba-tiba terhempas bersama teriakan Ilya, bara api meluap dan menghantarkan gelombang kejut dalam bentuk hawa panas.

Dampak gelombang panas itu membuat dedaunan hijau di sekitar berubah layu menjadi coklat kehitaman.

... ... ...

[Pov - I - Sudut Pandang Hanz]

Sinar mentari pagi mulai menyingsing seluruh daratan di depan kami. Dengan menaiki kuda, kami berempat berkendara mengarungi dataran dan perbukitan yang terhampar oleh hijaunya alam.

Dmitry tak mengatakan di mana tujuannya. Tapi, kami bergerak ke arah Timur Laut.

Sepoyan angin begitu menenangkan. Tampak sebuah pemandangan dari gugusan bukit dan pegunungan di bawah cahaya langit biru yang sangat mempesona mata.

Guncangan dari kuda yang berlari sedikit kurang nyaman, namun itu tidak jadi masalah besar.

Beberapa jam mungkin telah berlalu, akan sedikit melelahkan jika terus melanjutkannya, kuda kami mulai memelankan langkahnya karena merasa lelah.

Terik panas matahari sedikit menyengat kulit, waktu telah menandakan siang hari dari posisi mentari yang berada tepat di atas kepala.

Ilya datang menyusul bersama kudanya dari arah kiri kami. Ia lalu memanggil,

"Dmitry!"

"Ada apa?" jawab Dmitry tanpa ingin menoleh.

"Apa harus aku nyalakan suarnya sekarang?"

"Masih belum. Posisi kita mungkin akan terlihat. Tunggu sampai kita mendekati garis pantai."

Heh, apa maksud perkataan Ilya barusan? Suar? Tunggu, apa yang akan terjadi setelah ini?

Dmitry mendadak mendorong tubuhku jatuh dari kuda bersama dirinya, diikuti perintah darinya yang berteriak,

"Semuanya, lompat!"

Sontak Ilya dan Viona langsung ikut melompat ke belakang dari atas kuda mereka. Sesaat setelah kami melompat, sesuatu menyambar permukaan tanah dengan benturan keras yang membuat tanah bergetar dan bunyi dentuman menggema.

Tampak kilatan garis listrik terbentuk dari bekas jalur sambaran. Kepulan asap terbentuk di hadapanku, dan menghalangi pandangan kami akan sesuatu yang membentuk siluet bayangan tubuh manusia.

Apa-apaan--itu!?

"Apa kau tidak ada apa, Hanz?" Dmitry sudah berdiri di sebelahku, lalu mengulurkan tangannya menarikku dari tanah.

"A-aku baik-baik saja."

Tatapan mataku masih tertuju ke sana.

Terlihat kubangan darah yang membasahi tanah, dan terus merembes keluar dari balik kepulan asap. Saat kuperhatikan, rupanya itu adalah bagian tubuh kuda yang telah tercerai-berai dan mati.

Seketika mataku langsung tertuju ke arah sepasang mata kuning bersinar yang samar dari balik kepulan asap, tatapan menyala itu kian mendekat dan mencoba keluar dari sana.

Sepasang kaki yang terbungkus sepatu hitam tiba-tiba melangkah keluar dari balik kepulan asap, dan ia menginjak sisa kepala kuda yang tergeletak di tanah hingga remuk.

Setelah itu, terlihat seorang pria berambut legam yang mengenakan setelan jas hitam. Dia terlihat sangat muda, mungkin usia kami tidak berbeda jauh. Parasnya yang putih, ternodai oleh bercak noda darah.

Sudut matanya berkerut, dan sorot tatapan matanya begitu dingin dan tajam. Dia tidak memasang ekspresi apapun, membuatnya terlihat datar dan menyeramkan.

"Tidak akan kubiarkan ...!" Suara orang itu terdengar sangat pelan. Namun karena keheningan ini, suaranya jadi terdengar jelas.

Aku merasakan nada tekanan dari suaranya. Membuatku merasa terintimidasi.

Tiba-tiba Dmitry bergerak cepat untuk menarik pedangnya dari sabuk pinggul kiri, tangannya telah menyentuh pangkal pedang dan sedang akan menariknya keluar. Detik yang sama ketika orang itu melejit ke hadapan Dmitry. Kaki kanannya melayang bersama gerakan Dmitry yang ingin menebas lawan.

Tak diduga, Dmitry kalah cepat. Tendangan kuat orang itu menghempaskan Dmitry jauh ke belakang, disusul oleh semburan listrik kuning yang keluar dari telapak kakinya. Dmitry menghilang dari hadapanku, dan menyisakan pedang panjangnya yang tertinggal di tanah. Orang itu kini berdiri menggantikan Dmitry.

Orang itu lalu menoleh, dan menatap kosong ke arahku. Matanya yang berwarna kuning kemerahan itu kini terlihat jelas. Tatapan tajam dengan aura membunuh.

Aku terlambat menyadarinya.

Orang ini ... berniat menghabisi kami!

Permukaan tubuhnya terus diselimuti listrik kuning yang menjalar. Jemariku gemetaran menghadapinya, ia seperti memberitahuku perbedaan level yang ada di antara kami tidaklah setara.

Dia berjalan ke arahku, langkahnya begitu ringan. Tanpa disadari, ia sudah muncul di depanku. Itu kecepatan yang tidak masuk akal. Mataku belum sempat berkedip, dan dia sudah berdiri di hadapanku.

"Jadi kau, ya!?" bisiknya. Bersama itu kepalan tangan kanannya meluncur ke pusat tubuhku.

Seketika darah memuncrat keluar dari mulut serta hidungku. Saat yang sama ketika aku merasakan kepalan tangannya yang tenggelam ke dalam perutku.

Detik itu juga tubuhku terhempas ke belakang, akibat luapan energi yang ditembakkannya. Tubuhku terpelanting, dan terpental begitu saja. Beberapa kali aku menabrak permukaan tanah dengan kerasnya.

Suara retakan terdengar, hasil dari benturan keras, punggungku menabrak suatu batang pohon dan membuatku terhenti.

Aku mencoba bergerak. Namun tubuhku tidak mengikuti apa yang kuperintahkan. Anggota tubuhku tidak lagi sinkron dengan kehendakku.

Saat mataku menoleh ke bawah, mataku membelalak.

Sebuah lubang menganga terbentuk di perutku, dan siku kedua tanganku tidak dalam posisinya. Kakiku bengkok atau mungkin sudah patah, serta darahku mulai mengalir deras dari setiap lukaku.

Ah, ini buruk. Pandanganku perlahan-lahan memudar.

Aku masih belum boleh mati.

Sial ... pandanganku semakin memudar.

Sepersekian detik kemudian kesadaranku tenggelam, aku merasa—


next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C5
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen