App herunterladen
68.25% Unfaithful From 2568 KM / Chapter 43: UF2568KM|| 43

Kapitel 43: UF2568KM|| 43

"Kok jadi keliatan bete gitu sih pas udah ketemu sama dua orang tadi? Mereka siapa? Lo kenal sama mereka?"

"Iya, Ris. Mereka sekampus sama gue," jawabnya.

"Terus, urusannya apa sama muka bete lo sekarang? Mereka pernah berbuat jahat sama lo?" Rein menggelengkan kepalanya pelan tanpa mengatakan apapun. Haris yang melihat itupun memilih untuk tidak membahasnya lebih dalam lagi.

Ketika malam hari telah tiba, Rein memperhatikan Haris yang tengah mengemasi barang-barangnya. Rein tadinya ingin membantu, tapi Haris melarangnya dan berakhirlah ia hanya diam dan memperhatikan saja.

Sesekali Haris tersenyum pada Rein yang tengah memperhatikannya itu di atas kasur milik Rendi. Rein selalu membalas senyuman itu walau di dalam hatinya ia tengah menahan rasa sakit yang teramat sangat. Kini Haris masih ada di hadapannya saja ia sudah begitu merasa sesakit ini. Lalu, akan seberapa besar rasa sakitnya jika setelah Haris sudah benar-benar menghilang kembali dari hadapannya?

Kini Haris telah selesai berkutik dengan barang-barangnya. Ia menyimpan kopernya di sudut ruangan itu dan kemudian ia duduk di samping Rein.

"Ris, gue gak bisa terus-terusan sembunyiin ini dari lo. Gue bener-bener sedih banget mau ditinggal pergi lagi sama lo." Suara Rein terdengar memelan dan air matanya mulai turun setetes demi setetes membasahi pipinya.

Haris tersenyum simpul dan ia menarik gadis itu ke dalam dekapannya. "Kita dipisahinnya dengan waktu yang lama banget, tapi kenapa waktu ketemunya harus sesingkat ini? Gue ngerasa ini bener-bener samasekali gak adil, Ris. Kenapa waktu serasa gak adil sama gue? Kenapa waktu serasa begitu jahat sama kita?"

Tubuh Rein semakin bergetar, suara tangisnya mulai sedikit mengeras dan terdengar begitu memilukan. Semuanya benar-benar terasa sangat berat, begitu sulit untuk diterima, dan terasa enggan untuk dilalui. Itulah yang Rein rasakan saat ini. Haris pun sama seperti itu, tapi ia lebih memilih untuk menyembunyikan perasaan hancurnya karena ia harus tetap terlihat kuat di hadapan gadis yang sangat dicintainya itu. Jika ia sama-sama lemah, lalu siapa lagi yang dapat menenangkan, menguatkan, dan meyakinkan Rein nantinya?

"Ayo kita ketemu lagi setelah ini, Rein. Gue yakin kita bakalan ketemu lagi di hari esok. Ayo kita sama-sama sabar buat nunggu, ya? Kita udah pernah dipisahin oleh waktu yang gak sebentar sebelumnya. Jadi, kali ini kita harus lebih kuat dari sebelumnya karena kita udah pernah dilatih buat terbiasa di hari-hari kemarin."

"Gak mau, Rein gak mau pisah lagi sama Haris." Rein semakin mengeratkan pelukannya terhadap Haris. Pelukannya itu seakan sebagai penghalang pintu keluar bagi Haris, Rein seakan-akan begitu mengharamkan kepergian orang yang kini tengah berbagi pelukan dengannya itu.

Rendi yang kala itu hendak memasuki kamarnya langsung mengehentikan niatnya itu ketika ia melihat mereka. Rendi lebih memilih untuk bersandar di balik dinding dan ia mendengarkan suara yang ada di dalam sana. Rendi dapat merasakan begitu sakitnya perasaan Rein saat ini ketika ia mendengar suara tangis adik kesayangannya itu terdengar begitu menyakitkan.

Rein adalah gadis yang kuat, ia jarang sekali menangis apalagi hingga seperti ini. Itulah yang Rendi tahu tentang adik semata wayangnya itu.

Setelah beberapa lama, pelukan mereka mulai melonggar dan mereka perlahan saling melepaskan satu sama lain. Haris mengusap jejak air mata Rein yang masih tersisa dengan kedua ibu jarinya.

"Tahu kok sakit, tapi kita harus tetep kuat, ya? Yakin kok pasti bisa. Udah jangan nangis, kalo kaya gini terus …  Haris bakalan berat banget buat ninggalinnya." Rendi dapat merasakan suasananya yang mulai membaik di dalam sana dan ia pun memilih untuk masuk sekarang.

Haris dan Rein langsung menatap pada sang pemilik kamar sesungguhnya yang tiba-tiba saja masuk dan menghampiri mereka.

"Abis nangis, ya? Jelek banget." Rein sedikit memukul kesal kakaknya itu. "Haris bener, Rein. Lo harus bisa nerima semuanya. Mau gak mau lo harus mau karena mungkin ini emang semestinya, mungkin ini emang jalan terbaik dari yang terbaik buat kalian berdua."

Rein mencoba untuk lebih menenangkan dirinya karena ia sadar mau sekeras apapun ia menangis, jika takdirnya menyebutkan mereka harus kembali dipisahkan oleh jarak dan waktu, ia bisa apa?

• • •

"Bang, gue pamit, ya. Makasih buat segalanya." Rendi tersenyum dan ia membalas pelukan dari Haris.

"Santai, lo hati-hati, ya? Kabarin kalo udah sampe." Haris mengangguk mengiyakan lalu ia beralih pada Rein dan ia kembali memeluk gadis itu.

"Jaga diri baik-baik, ya? Jangan nakal, jangan nangis terus, dan tunggu Haris pulang." Rein mengangguk pelan dalam pelukan Haris. Perlahan mereka pun mulai melepaskan pelukannya sama lain.

"Sampai jumpa, Haris."

"Sampai jumpa, Rein."

Haris mulai menyeret kopernya menjauh dari sana. Rein masih terus memperhatikan langkah pria itu yang kian menjauh darinya dan air matanya kembali menetes ketika ia melihat sebuah lambaian tangan yang tak berselang lama langsung menghilang begitu saja ditelan oleh pintu pesawat.

Rein menjatuhkan dirinya yang langsung dirangkul oleh Rendi. Gadis itu kembali mengeluarkan suara tangisnya yang membuat orang-orang di sekitar sana ikut memperhatikannya.

"Lo cewek yang kuat, Rein. Kakak yakin lo pasti bisa ngelewatin semuanya kek kemarin. Lo doain Haris sama keluarganya sehat-sehat aja di sana biar kalian cepet-cepet ketemu lagi setelah ini. Udah, ya? Haris bakalan sedih banget kalo dia tahu lo kek gini." Rendi membantu adik kesayangannya itu untuk berdiri dan ia membawanya pergi menjauhi bandara.

Selama di perjalanan pulang, Rein masih belum bisa mengehentikan tangisannya. Rendi tidak melarang itu, ia membiarkannya karena ia tahu itu adalah satu-satunya cara agar Rein dapat merasakan ketenangannya kembali setelah ini.

Sedangkan itu di lain tempat, Haris nampak menyandarkan tubuhnya dan matanya terus menatap keluar sana. Air bening terlihat menggenang di pelupuk matanya hingga sampai ia berkedip, bendungan air mata itupun tumpah begitu saja dan mengalir lurus menyusuri wajah tampannya.

Kini adalah waktu yang tepat untuk ia menghilangkan rasa sakitnya yang sedari tadi ia tahan. Di sini, di tempat ini, ia berbicara jujur pada dirinya sendiri bahwa ia juga lemah sebenarnya. Ia berhenti untuk berpura-pura kuat, ia tidak ingin menyangkal lagi tentang rasa perih dalam hatinya saat ini.

"Tunggu gue balik, Rein. Gue harap kita bakal ketemu lagi dalam keadaan kita yang masih sama." Haris menyeka air matanya sendiri dan ia tersenyum samar.

'Bruk'

Rein menjatuhkan dirinya pada kasur kesayangannya itu. Ia menenggelamkan wajahnya dan mengeluarkan sisa air mata yang masih belum terbuang.

Rendi sedikit mengintip di celah pintu. Ya, setelah mereka baru saja sampai, Rein langsung berlari ke dalam rumah dan ia memasuki kamarnya. Rendi kembali menutup rapat pintu kamar Rein dan ia akan membiarkan gadis itu untuk menyendiri dulu saat ini.

Saat Rendi baru saja menuruni anak tangga, ia melihat seekor kucing tengah menaiki anak tangga dengan cara melompat-lompat. Rendi yang mengenal kucing itupun langsung menggendongnya dan ia membawanya menuju ke kamar Rein.

"Ibu lo lagi sedih tuh, lo hibur dia ya?" Perlahan Rendi membuka pintu kamar Rein dan ia menurunkan Arbi di sana. Setelah Arbi masuk ke dalam, Rendi kembali menutup pintunya dan berlalu dari tempat itu.

Merasa ada yang melompat ke atas kasur, Rein langsung menoleh dan ia melihat seekor kucing yang sangat ia sayangi itu. Rein mengangkat hewan berbulu itu dan meletakkannya di atas perutnya.

"Arbi apa kabar?" Rein mengusap lembut bulu tebal milik Arbi yang berada di atasnya saat ini. "Menurut Arbi gimana? Setelah Haris pergi, setelah hari ini berlalu, Rein bakal kek gimana? Sendirian? Kan Barra udah punya pacar sekarang, otomatis dia gak bakalan punya waktu lagi buat Rein."

•To be Continued•


next chapter
Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C43
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen