App herunterladen
45.86% TIKAM SAMURAI / Chapter 122: Ah, Kau Diganggunya, Dik?

Kapitel 122: Ah, Kau Diganggunya, Dik?

Petugas yang melayani seorang Sersan Mayor Penerbang, menatap gadis cantik itu. Lalu

bicara sopan :

"Anda tahu Nona, negeri itu baru bergolak. Segala penerbangan kesana bisa saja diundur."

"Apakah itu sering terjadi?"

"Seingat saya ada dua atau tiga kali."

"Ya. Apa boleh buat. Kalau diundur, maka saya juga akan undur berangkat…" katanya menyerah.

Sersan itu mencatat.

"Di mana Nona menginap? Kalau ada perobahan kami bisa mudah memberitahu…"

Michiko menatap ke arah lain. Itulah yang tengah dipikirkannya, penginapan.

"Saya tak tahu. Ada penginapan di sekitar lapangan ini?"

"Ada. Di luar sana. Anda bisa naik beca. Minta ke Hotel Angkasa. Cuma hati-hatilah. Di sana kadang-kadang ada bajingannya…"

Michiko menatap sersan itu.

"Ya, kadang-kadang ada orang mabuk-mabukan dan suka mengganggu perempuan.."

"Apakah tak ada penginapan lain yang lebih aman?"

"Cukup banyak. Tapi agak jauh dari sini. Di kota.."

"Saya rasa di sana saja, di hotel Angkasa. Terimakasih atas bantuan Bapak…."

"Saya harap Nona senang berada di negeri kami…" ujar sersan itu mengangguk hormat.

Michiko mendapat kesan yang baik pada sikap sersan itu. Dia berjalan lagi ke arah gedung Imigrasi darimana dia datang tadi. Untung saja yang dia bawa hanya sebuah tas kecil yang bisa dia gantungkan di bahu. Mirip-mirip ransel. Hanya dua perangkat pakaian, handuk, kimono dan barang-barang kecil lainnya. Kemudian uang.

Itulah bekalnya. Di tangan kirinya ada samurai yang sekilas lihat mirip dengan tongkat biasa. Michiko memakai gaun seperti jamaknya gadis-gadis Indonesia saat itu. Pakai rok dalam hingga ke betis dengan banyak kerunyut-kerunyut. Pakai blus warna cerah dengan rambut dipotong hingga bahu.

Sekilas lihat gadis ini tak mirip dengan gadis Jepang yang bermata sipit dengan wajah klasiknya. Dia lebih mirip gadis-gadis Indonesia kelahiran Menado, atau gadis-gadis dari Sunda yang bertubuh indah berkulit kuning.

Di depan kantor Imigrasi dia memanggil beca. Tapi saat itu sebuah sedan Chevrolet hitam berhenti persis di dekat dia tegak. Sebuah suara terdengar saat pintu mobil terbuka.

"Mali naik sini saja, Nona. Saya antalkan…."

Michiko heran, tapi herannya segera berobah jadi mual tatkala dilihatnya siapa yang membuka pintu mobil itu. Si babah gemuk bergigi emas yang duduk di sebelahnya dalam pesawat tadi.

"Naiklah. Saya antalkan Nona…." kata babah itu meramah-ramahkan diri.

Michiko tak menjawab. Dia memanggil becak.

"Ke hotel Angkasa, Pak…." katanya kepada tukang beca.

Beca itupun meluncur. Chevrolet hitam yang ditompangi oleh babah gemuk itu mengikut dengan perlahan dari belakang. Tak lama kemudian beca itu memasuki halaman hotel yang tak begitu bagus. Bahagian bawah berlantai dan berdinding batu. Bahagian atas berdinding papan. Itulah Hotel Angkasa yang tadi ditunjukkan oleh sersan AURI itu. Michiko memesan kamar. Dia sempat melirik bahwa sedan Chevrolet hitam model terbaru itu melaju ke arah kota.

Tempat tidur hotel itu tak bisa dikatakan bagus, tapi cukuplah. Siang itu terasa panas. Keinginannya adalah segera mandi dan tidur. Dia membuka pakaiannya, menukarnya dengan kimono. Kemudian mengambil sabun dan sikat gigi. Lalu masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Airnya tak begitu sejuk. Tapi dia tak perduli. Selesai gosok gigi dia membuka kimononya, lalu mandi.

Di tingkat dua, persis di atas kamar mandi di mana dia tengah membersihkan diri, ada sebuah lobang kecil. Di lobang itu ada sebuah mata yang tengah melotot menatap ke bawah. Ke tubuh Michiko yang tak tertutup kain sehelai benangpun.

Tubuh orang yang mengintip itu, seorang pelayan hotel yang berusia setengah baya, menggigil melihat pemandangan di bawah sana. Melihat pinggang yang ramping. Pinggul yang besar dan dada yang ranum membusung. Semuanya tanpa penutup.

Meski agak terlambat mengetahui, Michiko ternyata punya instink yang cukup tajam. Dia merasakan seperti tengah diintip orang. Sambil tetap bersiram, dia melirik kiri dan kanan. Dinding kamar mandi itu dari beton. Satu-satunya kemungkinan orang mengintip adalah dari atas. Dia menyauk air. Kemudian menyiramkan ke lehernya.

Dalam posisi demikian dia menengadah. Suatu gerakan yang tak kentara sama sekali. Dia segera dapat menangkap bahwa di loteng ada sebuah lobang kecil.

Hotel brengsek, di mana-mana hotel brengsek sama saja. Ada lobang tempat mengintip orang tidur atau mengintip orang mandi. Michiko meletakkan gayung ditangannya ke pinggir bak mandi. Kemudian tangannya membetulkan rambut. Di rambutnya ada sepit rambut yang sebenarnya adalah sebuah samurai kecil.

Sepit rambut itu dahulu pernah menyelamatkan dirinya ketika bersama Salma saat akan diperkosa pelaut di sebuah hotel di Singapura. Pengintip di atas melihat gadis itu membetulkan rambutnya. Melihat gadis telanjang itu membuka sepit rambut. Tiba-tiba gadis itu seperti menggeliat.

Dan tiba-tiba tukang intip itu meraung. Sebuah benda yang amat runcing menusuk mata kanannya yang berada di lobang kecil itu. Dia tersentak bangun. Hulu samurai kecil itu tak muat di lobang tersebut. Karena dia terlonjak bangkit, samurai itu lepas dan jatuh kembali ke bawah. Michiko menangkap sepit rambutnya itu. Membersihkannya. Dan dengan tenang dia melanjutkan mandinya.

Di tingkat dua, pelayan hotel yang mengintip itu meraung-raung. Dia berlari keluar dari kamar di mana dia mengintip. Tapi tiba di tangga menuju ke bawah, dia tak dapat menguasai dirinya lagi. Matanya pecah dan mengeluarkan darah yang membasahi mukanya. Tubuhnya jatuh bergulingan di tangga. Tiba di bawah, dia pingsan.

Teman-temannya berlarian. Dan melihat wajah lelaki itu berlumur darah. Mereka tadi mendengar lelaki itu berteriak dari atas sana. Dua orang lalu berlari ke atas dengan parang di tangan. Apakah ada perampok di atas? Mereka membuka pintu salah satu kamar. Ada darah menitik. Tapi tak ada siapa-siapa. Lobang itu tak kelihatan. Sebab tertutup oleh tikar. Mereka memeriksa setiap sudut kamar. Namun tak berhasil menemukan apa-apa.

Mereka semua sebenarnya tahu bahwa hampir di tiap kamar di lantai dua itu ada lobang yang bisa mengintip ke bawah. Lobang itu ditutup dengan tikar.

Tapi sampai saat ini mereka tak menduga sama sekali bahwa mata teman mereka itu kena hantam samurai oleh orang yang berada di kamar mandi di bawah sana. Mana mungkin mereka bisa menduga.

Lelaki itu segera dibawa ke rumah sakit. Sorenya ketika dia sadar, teman-temannya bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Namun lelaki itu tak mau menceritakan hal yang sesungguhnya, malu dia.

Sebenarnya dia tak tahu apa yang memecahkan bola matanya. Dia benar-benar tak tahu. Dia masih ingat dengan pasti. Waktu itu gadis telanjang yang dia intip tersebut sedang membetulkan rambutnya dan menggeliat. Saat itulah sebuah benda menerkam matanya. Dia tak pernah menyangka, bahwa gadis itu bukan menggeliat. Melainkan melemparkan sepit rambutnya ke atas, ke matanya yang sedang mengintip.

Michiko yang mendengar ribut-ribut itu tak mau perduli. Dia menyelesaikan mandinya. Ketika dia melihat lagi ke atas, lobang itu telah tertutup. Kemudian dia memakai kimono. Lalu mengambil samurai yang diletakkan di atas meja, memindahkannya ke bawah bantal. Kini dia makin tak percaya pada setiap orang.

Di Singapura, di kapal terbang, kini di hotel di Jakarta, bahkan di negerinya sendiri, di Jepang sana, banyak saja orang yang berniat jahat padanya.

Memang tak mudah jadi perempuan cantik. Kemana-mana selalu jadi pusat perhatian. Dimana-mana selalu menerbitkan selera lelaki. Apalagi kini dia sendirian. Dengan menghela nafas berat dia lalu membaringkan dirinya di tempat tidur. Lelah menyerang sangat cepat. Karena lelah yang amat sangat, dia tertidur dengan pulas.

Sedan Chevrolet hitam yang ditompangi babah gemuk tadi memasuki pekarangan hotel itu. Di dalamnya ada si babah gemuk dan seorang lelaki lain yang bertubuh besar. Nampaknya orang Indonesia. Orang tinggi besar dengan otot-otot yang menyembul dari balik lengan baju pendeknya itu turun. Kemudian dengan sikap hormat membukakan pintu mobil. Si gendut yang pagi tadi sepesawat dengan Michiko, turun dengan sikap seperti tuan besar. Didahului oleh tuan besar itu, mereka melangkah memasuki hotel, di sambut seorang pegawai hotel dengan sikap hormat.

"Ingin menginap, Tuan?"

"Tidak. Saya mencali seolang ponakan. Seolang gadis belbaju melah jambu yang tadi balu datang dari Singapula…"

"Oo, gadis cantik itu?"

"Ya, dia!"

"Nona Michiko maksud tuan?"

"Ya, Mociki, eh, Micoki, eh ya, Michiko.." ujar gendut itu kepleset-peleset saking nafsunya.

"Ada, ada!. Dia di kamar empat. Mari saya tunjukkan…"

"Tak usah. Telimakasih atas ketelanganmu"

Cina gemuk itu meletakkan selembar uang. Pelayan itu dengan membungkuk-bungkuk mengambil uang itu. Banyak untuk ukurannya sebagai pelayan hotel.

"Husein, ambil dia…!"

Perintah si babah sambil kembali ke mobilnya. Husein, si lelaki berotot besar itu mengangguk dan berjalan di gang hotel. Babah itu kembali ke mobil Chevrolet hitamnya.

Duduk di kursi belakang dan mengeluarkan pipa. Mengisinya dengan tembakau. Kemudian membakarnya dengan geretan merek Ronson yang bertutup emas. Mengisap asapnya dengan perasaan nikmat.

Betapa takkan nikmat, tembakau merek Warning yang dia isap dicampur dengan heroin. Itu dia perlukan karena akan menghadapi pekerjaan berat dengan "ponakan" yang dia sebutkan tadi.

Terbayang lagi betapa pengalamannya pagi tadi di pesawat. Dia sempat melihat bukit dada gadis itu lewat celah bajunya yang digunting seperti huruf V. Dia sempat meremas pinggul yang besar itu tatkala dia lewat di depannya ketika balik dari WC. Bukan main. Mmmmmhh…..!

Lelaki besar bernama Husein itu sampai di depan pintu kamar nomor empat. Sepertinya dia adalah lelaki yang sopan. Sebelum masuk dia mengetuk dua kali perlahan. Tak ada jawaban. Dia memandang kiri dan kanan, lengang. Tak ada orang. Nampaknya semua penghuni kamar hotel ini pada tidur sore atau keluar ngeluyur.

Dia ketuk lagi tiga kali. Agak keras. Namun yang di dalam, Michiko, benar-benar tak mendengar ketukan itu. Karena amat lelah, membuat dia benar-benar tak mendengar "isyarat" adanya bahaya. Dia tidur terlalu lelap. Lelah menyerangnya dengan sangat.

Karena tak ada jawaban, lelaki bernama Husein itu membuka pintu. Terkunci. Tapi dengan sedikit dorongan dengan bahu, kunci pintu itu ambrol. Di kamar segera saja dia melihat sebuah pamandangan yang melumpuhkan seluruh syarafnya. Di tempat tidur, Michiko yang hanya memakai kimono tipis, tidur menelentang dengan kaki agak terbuka.

Tak hanya itu, kimononya hanya bertaut sedikit di pinggang. Itupun karena ada tali pengikatnya. Bahagian lain sudah terbuka tak menentu.

Buat sesaat si Husein itu tertegak.Lupa melangkah, lupa menutupkan pintu dan bahkan hampir lupa bernafas. Dia juga lupa bahwa bosnya menantinya di luar sana. Dia diperintah membawa "ponakan" itu ke mobil dalam keadaan sadar atau tidak. Artinya, kalau tak bisa dibawa baik-baik, pukul saja sampai pingsan.

Tapi bagaimana Husein keturunan Indonesia Arab itu akan melaksanakannya? Dia menutupkan pintu. Menguncinya. Kemudian dengan peluh menitik di jidat, dengan kaki menggigil, dia mendekati tempat tidur. Malang benar gadis itu. Tubuhnya yang sebenarnya tak boleh dilihat orang lain, kini terbuka.

Husein berjongkok di sisi pembaringan. Mengelus betis Michiko. Mengelus pahanya. Tangannya menggigil. Hatinya menggigil. Dia cium kaki gadis itu, kemudian bangkit. Membuka pakaiannya sendiri. Sampai detik itu, Michiko masih tidur dengan amat nyenyak. Tidur dengan amat lelah. Husein tak membuang waktu sedikitpun.

Michiko dalam mimpinya merasa berlari di tanjakan yang amat terjal. Nafasnya sesak. Mendaki dengan beban yang amat berat. Nafasnya makin sesak.

Beban itu rasanya meluncur menutup mulut dan hidungnya. Nafasnya makin sesak. Panas bukan main. Berat bukan main. Akhirnya dia baru terbangun tatkala lelaki yang tubuhnya dipenuhi bulu itu hampir saja melaksanakan niat jahanamnya. Hampir saja!!.

Saat tersentak bangun gadis itu mendapatkan dirinya sudah tertekan di bawah seekor gorilla dengan tubuh berbulu lebat.

"Diamlah manis. Diamlah…kau akan kuberi kesenangan…." lelaki itu berbisik penuh nafsu.

Michiko tak dapat bergerak. Kedua tangannya ditekankan ke kasur oleh lelaki itu. Tubuhnya terhimpit bulat-bulat tanpa tutup di bawah tubuh lelaki itu. Tiba-tiba Michiko menangis. Dia menangis dengan ketakutan yang amat dahsyat.

Betapa hebatnyapun dia memainkan samurai, betapa hebatnya pun dia berkelahi melawan lelaki, namun dalam keadaan seperti itu, dimana kehormatannya akan direnggut orang, dia kembali pada fitrahnya yang asli. Yaitu fitrah sebagai seorang perempuan yang lengkap dengan kelemahan-kelemahannya. Senjatanya hanya tangis! Dia menangis, tatkala menyadari bahwa tak ada kesempatan sama sekali baginya untuk menyelamatkan kehormatannya.

Tapi di saat yang sangat kritis itu. Pintu ditendang dari luar. Begitu pintu ternganga, di ambang pintu berdiri si babah gemuk.

"Huseinn…! Jahanam lu! We jitak lu punye pale!"

Babah itu memaki dengan amarah yang tak tanggung-tanggung. Dia sudah kelaparan menanti di sedan di luar hotel. Bermacam bayangan yang menggairahkan seperti sudah bisa dia nikmati atas diri gadis Jepang cantik bertubuh montok itu. Tapi kok lama banget, pikirnya. Lama benar Husein keparat itu. Dia melihat jam. Heh, kelewatan. Tapi dia masih menanti beberapa saat lagi.

Namun sudah empat sampai tujuh menit saat dia menanti, si Husein itu tak juga kelihatan batang hidungnya. Jangan-jangan dia "makan" duluan, pikirnya sambil membuka pintu mobil. Dia berjalan dengan perut buncitnya ke hotel.

"Kamal belapa ponakan saya itu tadi?" dia bertanya ke resepsionis.

"Kamar nomor empat…"

Tanpa menunggu babah itu segera ke sana. Di depan pintu dia berhenti sejenak. mendengar nafas dan tangis. Kemudian kakinya yang besar terangkat. Gedubrakk!!! Tendangannya menghantam pintu sampai terbuka lebar. Si Husein yang sudah "siap tempur" tiba-tiba terlompat ke bawah.

Babah itu sejenak terkesima. Pemandangan di tempat tidur, tubuh Michiko yang tertelentang tanpa apa-apa, membuat jantungnya berhenti berdetak. Namun Michiko yang merasa dirinya bebas, segera menyambar kimononya. Saat itu si babah mengalihkan pandangannya ke Husein.

"Husseiinnn! Lu kulang ajal. Kulang ajal betuuul! Babi, anjing, monyet, beluk lu!"

Sumpah serapah incek gemuk itu berhamburan. Husein tertunduk layu. Layu dari atas sampai ke bawah. Babah itu maju lalu plak, pluk, plak….plak! tangannya menampar Husein tiga kali. Husein tak bisa cakap. Kepalanya tertunduk. Atas bawah. Tangannya melindungi miliknya yang berada di bawah. Saat itulah mereka berdua melihat gadis Jepang itu turun dari tempat tidur. Babah gemuk itu menoleh. Husein juga menoleh.

"Ah, kau diganggunya, Dik?"

Buset..! Babah gemuk itu memanggil Michiko dengan sebutan "dik". Benar-benar selangit!!


next chapter
Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C122
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen