"Benarkah?!"
Binar mata gadis itupun semakin bersinar saat mendengar berita mengejutkan yang disampaikan oleh temannya.
Namun tak berapa lama binar tersebut menghilang ketika dia menyadari sesuatu.
"Tunggu sebentar.. Kau bilang kau mendengar berita itu dari ruang rapat rektorat? Jadi kau menguping pembicaraan mereka?! Kau sudah gila?!"
"A-aku.. Ah! Ada apa di sana?!"
Gadis yang sedang kesal itu melepaskan kerah baju temannya dan menoleh ke arah lapangan olahraga dimana telah banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berkumpul.
Matanya pun terbelalak dan dia segera berlari menuruni anak tangga menuju lapangan olahraga untuk melihat lebih jelas sosok yang kini sedang menjadi pusat perhatian di Royal Orion University.
Deg!
"Ternyata itu memang dia.." bisiknya lirih sembari memegang dada dimana terdapat jantung yang sedang berdetak cepat di dalamnya.
Roman Benedict. Dialah sosok pria yang paling terkenal seantero Orion yang saat ini sedang bercakap-cakap dengan salah satu dekan.
Mata hitam yang teduh, gaya rambut comma berwarna hitam dengan potongan di bawah telinga, garis rahang yang kuat, serta postur tubuh tinggi terlatih.
Semua hal yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa itulah yang membuat Roman dengan mudah menjadi pusat perhatian terutama di kalangan para gadis.
Mahasiswa dan mahasiswi Royal Orion University pun mulai berbisik-bisik satu dengan yang lain hingga membuat Roman menoleh ke arah mereka.
Tak ada yang terucap dari bibir pria itu. Dia hanya memandang kerumunan sambil tetap mendengarkan penjelasan dari dekan.
Namun tindakan yang baru saja Roman lakukan tersebut justru membuat para mahasiswi semakin riuh serta membuat para mahasiswa menjadi iri terhadapnya.
"Astaga! Lihat matanya! Aku yakin dia telah membunuh hati banyak gadis dengan sorot mata menawan itu!"
"Bagaimana bahu dan tangan itu bisa begitu kokoh?! Sungguh aku ingin bersandar dengan nyaman di sana!"
"Sepertinya aku terkena serangan jantung!"
"Hei.. Jangan berlebihan! Aku juga memiliki mata berwarna hitam yang tak kalah menawan!"
"Otot tanganku lebih kuat!"
Roman pun menghela napas. Pemandangan seperti ini sudah biasa bagi pria itu dan dia sama sekali tak menyukainya.
"Tuan Kenn.."
"Ya?"
Dekan Fakultas Seni dan Desain tersebut pun menghentikan penjelasannya.
Dia lalu melihat perubahan ekspresi dari Roman yang terlihat sedang mengatur napas.
"Kau baik-baik saja, Roman?"
"Bisakah kita bicara di tempat yang lebih tenang? Tolong.."
Kenn pun tak banyak bertanya dan segera mengajak Roman menuju ke ruang kerjanya. Dia lalu memberikan secangkir teh untuk pria itu.
"Kurasa kau kelelahan setelah mengikuti turnamen maraton dua hari lalu, Roman. Kau harus mulai mengurangi kegiatan fisikmu sebelum hal itu berbalik dan malah menghancurkan tubuhmu."
"Tidak bisa."
"Mengapa? Karena haphephobia?"
Roman tak menjawab pertanyaan tersebut.
Sorot matanya menerawang jauh dan Kenn hanya melihat tatapan kosong di dalam mata hitam itu.
Kenn yang notabene merupakan sahabat dari mendiang ayah Roman tersebut begitu antusias ketika mendapatkan telepon dari manager keluarga Benedict yang mengabarkan bahwa Roman ingin melanjutkan studinya di Royal Orion University.
Namun Kenn sama sekali tak menduga bahwa putra tunggal dari sahabatnya itu mengidap sebuah penyakit bernama haphephobia dan dia baru mengetahui hal tersebut hari ini dari sang manager.
(Sudah berapa lama dia seperti ini?)
Sang dekan lalu membuka catatan kesehatan Roman yang telah diberikan oleh manager keluarga Benedict sebelumnya.
(Haphephobia nya spesifik terhadap wanita saja? Hmm..)
Kenn memperhatikan Roman dengan sungguh-sungguh.
Dia lalu berpikir sejenak sebelum akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.
"Di samping berolahraga, kau juga harus belajar tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan orang lain untuk mengurangi haphephobiamu itu. Kau butuh tempat yang tenang untuk mempelajarinya."
"Itulah sebabnya aku memilih jurusan desain komunikasi visual yang berada di bawah naunganmu, Tuan Kenn."
"Kalau begitu selamat datang di Fakultas Seni Royal Orion University."
**
Kriet..
Roman memandang kado dan coklat yang menumpuk di lokernya.
Sudah enam bulan sejak dia melanjutkan studinya di Royal Orion University.
Selama itu pula dia menerima banyak hadiah dari para pengirim anonim di lokernya.
Brak!
Roman pun melirik ke samping dimana telah berdiri seseorang yang memandangnya sambil mengernyitkan dahi.
"Mengapa tak kau bagikan saja hadiah-hadiah itu dari pada dibiarkan menumpuk di dalam sana?"
Kriet..
Roman lalu membuka kembali lokernya.
"Untukmu saja."
"Haish.. Aku benar-benar tak memahamimu, Roman. Biasanya orang-orang populer sepertimu menyukai hadiah apalagi jika itu dikirimkan oleh para gadis. Tapi sejauh aku mengenalmu selama enam bulan ini, kau justru mengabaikan hadiah-hadiah itu dan selalu menghindari keramaian. Mengapa? Bukankah menjadi populer adalah sesuatu yang menyenangkan?"
Roman hanya menyunggingkan senyum. Dia lalu menunjuk ke arah belakang punggung David yang menjadi satu-satunya teman di Royal Orion University.
"Kau jadi mengambil semua ini atau tidak? Atau kantong plastik yang sudah kau bawa itu mau kau pergunakan untuk hal lain?"
"Ahaha.."
David lalu mengambil semua hadiah dari loker Roman.
Mereka berdua kemudian berjalan menuju kelas dimana sebentar lagi mata kuliah komputer grafis akan segera dimulai.
Saat akan memasuki ruangan, tiba-tiba muncul empat orang mahasiswa yang menghentikan langkah Roman dan David.
"Sudah kau pertimbangkan penawaranku dua hari lalu?"
Roman pun menghela napas. Dia kemudian menatap orang yang sedang mengajaknya bicara, Samuel.
Sementara itu tiga temannya yang lain mendekati David, merangkul bahunya, lalu mendorong teman Roman tersebut untuk masuk kelas terlebih dahulu.
Roman melirik ke arah David yang kini dikelilingi oleh tiga teman Samuel.
Dengan sekali lihat saja Roman tahu bahwa David sedang diintimidasi secara tersirat.
"Tidak."
"Oh, ayolah.. Coba pikirkan kembali, Roman. Bukankah kau sangat menyukai basket? Dengan kemampuan dan popularitasmu, aku yakin tim basket kita bisa menembus liga nasional! Kau pun bisa lebih menaikkan popularitasmu!"
"Maksudmu popularitasmu? Kau ingin menumpang ketenaranku, begitu?"
Senyum sumringah Samuel pun lenyap. Dia lalu menatap Roman dengan sinis.
"Ucapanmu itu terdengar sangat menyebalkan. Aku sudah berusaha berbicara baik-baik padamu. Aku juga memperlakukanmu dengan baik selama ini dan ini yang kudapatkan?"
"Kau bahkan tak memperlakukan temanku dengan baik."
Samuel lalu mengalihkan pandangannya ke dalam kelas. Dia pun menghela napas panjang dan memanggil ketiga temannya.
"Hei, kalian."
Mendengar hal tersebut, tiga teman Samuel segera keluar dari dalam kelas.
Plak! Plak! Plak!
Samuel lalu memberikan pukulan kecil di masing-masing kepala ketiga temannya.
"Sedang apa kalian? Aku sedang berusaha di sini dan kalian malah melakukan hal yang tidak penting?"
"Kami hanya sedikit bermain-main."
Samuel pun menatap tajam teman-temannya hingga membuat ketiganya tertunduk.
"Tolong maafkan mereka. Terlalu lama berjemur di bawah sinar matahari telah membuat otak mereka sedikit bergeser sehingga melakukan hal yang kekanakan. Kuharap kau tidak menilai buruk tentang kami. Lalu tolong pikirkan sekali lagi tentang tawaranku."
Samuel dan ketiga temannya pun berlalu pergi meninggalkan Roman.
"Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan David tersebut tentu membuat Roman keheranan.
(Bukankah dia yang baru saja mendapatkan perundungan?)
Roman pun hanya memperhatikan David yang memutari tubuhnya sambil mengecek keadaan pria itu.
"Apa yang kalian bicarakan? Apa Samuel merundungmu? Jika iya, sebaiknya kau harus menjauhinya sejauh mungkin! Ah! Mengapa kau malah tersenyum?"
Sambil masih tersenyum Roman lantas merangkul bahu David dan mengajaknya masuk kembali ke dalam kelas.
Postur tubuh David yang tidak setinggi Roman tersebut membuatnya dengan mudah tenggelam di bahu Roman sehingga dia pun hanya bisa menuruti ucapan teman satu jurusannya itu.
"Karena sepertinya aku tidak salah memilih teman."
"Hah?"