Axelia merasa sangat silau. Ia mengerjapkan matanya berkali kali walau pada akhirnya menutup kembali.
Ia ingin bergerak bangun namun tubuhnya tak bisa diajak kompromi. Ia mati rasa. Sekujur tubuhnya seperti habis diremukkan dan dibiarkan tergeletak agar menyatu dengan sendirinya.
Oh tolong, bantu ia berdiri sekarang juga. Ia bahkan tidak mampu menggerakkan jarinya.
Pasrah, Axelia akhirnya menunggu hingga badannya bisa digerakkan kembali. Tidak lama, namun juga tidak sebentar. Perlahan matanya mulai bisa dibuka sempurna.
Dan JRENG!!!
Di atasnya kini ada puluhan makhluk kecil warna warni beterbangan menutupi cahaya yang menusuk matanya. Makhluk-makhluk itu bersuara seperti burung, namun anehnya Axelia mengerti apa yang mereka katakan. Sama seperti saat orang-orang berjubah hitam yang datang ke rumahnya tadi.
Masih tak bisa bergerak, Axelia hanya pasrah dirinya dijadikan objek pengamatan oleh para makhluk kecil ini.
"Siapa dia?"
"Baunya seperti Dysis."
"Rambutnya juga mirip."
"Tapi masa sih Dysis menghilang selama enam belas tahun lalu berubah menjadi anak semuda ini?"
"Tidak mungkin."
"Ya, tidak mungkin."
"Saat remaja, Dysis tidak semancung gadis ini."
"Hei! Jaga ucapanmu!"
"Hei! Kenapa kau memukulku?!"
"Apaan sih?! Mengapa kalian malah berkelahi?!"
"Ah... Ribut sekali." keluh Axelia dalam hati.
"Ayo kita bawa ke Kafka." ujar salah satu makhluk mungil itu.
Semua makhluk mungil itu meletakkan tangannya di atas tubuh Axelia. Lalu tubuh Axelia terangkat perlahan ke udara. Rasanya seperti balon helium yang terbang di udara, tubuhnya sangat ringan.
Tak hanya dirinya, kotak yang masuk ke dalam cahaya tadi juga ikut diangkat oleh makhluk-makhluk kecil berwarna-warni itu.
Axelia bisa melihat tempat yang dilaluinya.
Indah.
Sangat indah.
Rasanya seperti masuk dalam sebuah lukisan yang bahkan dibuat lebih baik dari lukisan terbaik yang pernah ia lihat seumur hidupnya.
Ada tumbuhan yang daunnya berwarna warni, tapi bunganya warna hijau. Ada juga yang bunganya berbentuk hewan dan berwarna warni. Ada tumbuhan yang terbang dan tepat di atasnya ada awan mendung yang bertengger.
Pohon-pohon disana terlihat sangat sempurna. Lumut di batangnya membuat pohon-pohon itu terlihat unik. Di antara rantingnya, ada banyak sarang lebah yang besar dengan madu menetes dari dalamnya. Lalu tepat di tempat menetesnya madu itu, ada sebuah mangkuk yang terbuat dari daun untuk menengadahkannya.
Beberapa langkah di depannya, terdapat sebuah danau yang sangat luas dengan banyak angsa putih di tengah danau itu. Bulu-bulu angsa itu berkilau bagai permata, dan airnya jernih bagai berlian dan pantulan cahaya dari danau itu tampak warna-warni, membuat tempat itu menjadi indah berkali kali lipat.
Lalu di pinggir danaunya tumbuh banyak teratai dengan bunga warna-warni yang berkilauan. Daunnya sangat lebar dan bunganya juga besar. Dan di seluruh penjuru ada sangat banyak sekali hewan hewan aneh yang belum pernah Axelia lihat sama sekali.
Tiba-tiba para makhluk kecil itu berhenti mengangkat Axelia dan menurunkannya di atas sebuah batu datar yang lebar. Dan dari arah samping kanannya, datanglah seorang perempuan yang sangat cantik.
Perempuan itu berambut pirang, bermata hijau, dan berkulit pucat. Bulu matanya panjang dan lentik, bibirnya merona dengan sempurna. Hidungnya mancung dengan indah, dan ujung daun telinganya sangat runcing, persis seperti telinga peri yang Axelia lihat di internet dan film kartun. Sungguh perpaduan yang sangat sempurna. Ini adalah kali pertama Axelia melihat wanita seindah ini. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding apabila mengingat dan membandingkan rupa dirinya selama ini dengn perempuan itu.
Wanita itu mendekati Axelia dan menatapnya sangat lama, hingga akhirnya ia berlutut.
"Sebuah kehormatan hamba dapat bertemu dengan keturunan Nona Dysis." ucapnya.
Makhluk-makhluk kecil yang mendengar ucapan wanita itu seketika langsung terkejut dan dengan cepat ikut berlutut.
Mengerti keadaan, si wanita segera bangun dan mengeluarkan cahaya dari tangannya lalu menggerakkan cahaya itu ke tubuh Axelia. Semua makhluk yang ada disana pun ikut membantu.
Axelia merasa seperti ada sesuatu yang hangat menjalar di sekujur tubuhnya. Dan rasa itu berasal dari cahaya yang dikeluarkan si wanita dan makhluk-makhluk aneh disana.
Perlahan tubuh Axelia menjadi terasa meringan. Sakit yang ia rasakan tadi kini mulai berkurang, jarinya pun sedikit demi sedikit mulai bisa digerakkan.
"Rasa sakit di tubuh anda terjadi karena shock akibat menerima kekuatan yang begitu besar secara tiba-tiba. Tubuh anda secara fisik belum mampu untuk menampung kekuatan yang sangat besar secara tiba-tiba, oleh karena itu tubuh anda menjadi shock dan anda merasakan rasa sakit yang luar biasa seperti saat ini." jelas si wanita panjang lebar.
"Apa tubuhku ini sangat lemah?"
"Ya, Nona."
Axelia menggenggam dan membuka tangannya untuk merilekskan otot-ototnya yang kini sudah hampir sembuh sepenuhnya berkat si wanita dan para makhluknya.
'Ternyata pemegang sabuk hitam Taekwondo seperti diriku ini masih lemah ya.' batin Axelia sembari menghela nafas.
"Hormat saya Nona. Nama saya adalah Kafka, pemimpin dari seluruh peri di hutan ini. Saya adalah salah satu makhluk spirit Nona Dysis."
"Makhluk spirit? Peri?" tanya Axelia bingung.
"Anda tidak tahu?"
"Bagaimana aku bisa tahu kalau kesini saja baru kali ini." keluh Axelia.
Kafka terkejut bukan main, bagaimana bisa anak dari tuannya ini sama sekali tidak tahu tentang makhluk spirit, dan bahkan baru kali ini datang ke dunia ini? Apa saja yang dilakukan tuannya selama ia menghilang?
"Jadi anda sama sekali belum pernah kesini?"
Axelia mengangguk.
"Tapi anda bisa menggunakan sihir, kan?"
Axelia menggeleng.
"Eh?" wajah Kafka sekarang dapat menjelaskan apa yang ada di pikirannya saat ini. Jelas ia kaget, dan juga bingung. Sebab bagaimana bisa anak dari seorang veteran perang dunia sihir tak pernah menggunakan sihir sama sekali?
"Oh!" Axelia menyahut tiba tiba.
"Apa maksudmu sihir seperti ini?" tiba tiba saja batu di dekatnya meledak lalu terbakar dan hangus menjadi abu. Lalu wajah Kafka berubah semringah.
"Ya! Seperti itu!"
"Oh, jadi selama ini hal aneh yang terjadi padaku disebut sihir?" guman Axelia.
Seorang makhluk kecil yang ternyata disebut peri mengetuk pundak Axelia. Terasa geli karena tangan para peri itu sangat kecil, lain halnya dengan Kafka yang tubuhnya seukuran manusia normal. Peri itu lalu menunjuk ke arah tas sekolah Axelia dan sebuah kotak yang cukup besar, yang seingatnya ia bawa saat didorong masuk ke dalam cahaya tadi.
Karena sudah pulih berkat sihir penyembuhan Kafka dan makhluk-makhluknya, Axelia bangkit lalu berjalan menuju kotak itu.
Kotak itu memilik panjang dan lebar yang cukup besar dengan besi yang melapisi setiap ujungnya. Di setiap bagiannya terukir pola pola yang aneh namun terlihat indah. Warnanya coklat kehitaman dan berkilau apabila terkena cahaya.
Walaupun indah, kotak ini sangat aneh sebab tak ada lubang kunci atau sesuatu untuk membukanya. Benar-benar kotak tanpa ada celah. Setelah memutar-mutar kotaknya beberapa kali, Axelia tetap tak menemukan cara untuk membukanya. Hingga perkataan Kafka mengalihkan perhatiannya.
"Coba gunakan kekuatan nona untuk membuka kotak itu, siapa tau dengan begitu kotaknya bisa terbuka."
Axelia mengernyitkan keningnya. "Bagaimana caranya? Aku bahkan tidak bisa mengendalikan suara orang-orang di sekitar ku yang terus ribut di kepalaku hingga membuat kepalaku terasa seperti akan pecah kapan saja."
"Tapi tadi nona bisa meledakkan batu itu." tunjuk Kafka ke arah batu yang diledakkan Axelia tadi.
Lalu mereka saling pandang.
"Kok aku bisa ya melakukannya?"
Kafka hanya bisa menepuk jidat sambil geleng-geleng kepala lalu menghela napas panjang.
"Pejamkan mata nona, konsentrasi. Bayangkan ada cahaya berenergi yang keluar dari kedua tangan nona, dan tembakkan cahaya itu ke arah kotak coklatnya."
Mengikuti instruksi Kafka, Axelia mencoba memejamkan matanya dan mencoba konsentrasi. Para peri kecil pun ikut berharap sambil cemas.
Perlahan ia merasa seperti ada yang keluar dari kedua tangannya, terasa lembut namun kuat. Setelah merasa cukup, ia menembakkan energi itu ke arah kotak sesuai dengan instruksi dari Kafka.
BRAKKK!!!
Kotak itu akhirnya berhasil terbuka.
Terbuka sih terbuka, tapi kotaknya malah hancur berkeping-keping.
"Aku tidak sengaja. Sumpah." ucap Axelia cepat-cepat sebelum kena marah Kafka karena mengeluarkan energi yang terlalu besar yang bahkan membuat wajahnya sendiri jadi gosong. Kafka merasa semakin putus asa. Sepertinya ia harus mengeluarkan lebih banyak tenaga untuk mengajari anak majikannya ini.
Mereka kembali ke fokus utama, yakni si kotak. Setelah dibuka, ternyata isi kotak itu adalah dua buah buku yang sudah usang, dua buah jubah berwarna hitam, sebuah kantong yang agak besar, dan sepucuk surat.
Tanpa bingung lagi, Axelia segera membuka surat itu.
[Untuk anakku, Euegene Axelia Dysis.
Kalau kamu membaca surat ini, berarti kita sedang berada dalam situasi yang sangat gawat hingga mungkin nanti kita tidak akan bisa bertemu lagi.
Apabila kamu tiba-tiba merasa tubuhmu seakan-akan hancur karena tersengat listrik sehingga rasanya seperti diremukkan hingga bahkan tak bisa membuka mata, berarti kami sudah memberikan kekuatan kami kepadamu.
Oleh karena itu, cepatlah belajar mengendalikan kekuatanmu.]
Axelia mengernyitkan keningnya dan kembali membaca.
[Hal pertama yang harus kamu ketahui yakni kamu adalah seorang 'penyihir'. Begitu makhluk bumi menyebut kita, orang-orang yang dapat menggunakan sihir. Alasan belakangan ini benda-benda di sekitarmu bergerak adalah karena kamu tidak sengaja melepas kekuatan sihirmu hingga melakukan telekinesis yang mana telekinesis adalah sihir dasar semua penyihir.
Setiap orang memiliki kekuatan sihir bawaan mereka masing-masing. Ada yang sama dan ada yang berbeda. Ada yang umum dan ada pula yang langka.
Kekuatan bawaan mu adalah membaca pikiran. Keterangan tentang kekuatanmu bisa kamu baca di salah satu buku yang ada dalam kotak ini. Buku itu juga berisi tentang berbagai macam kekuatan sampingan yang bisa kamu gunakan kedepannya. Buku yang satunya lagi berisi tentang kekuatan rahasia yang harus kamu pelajari. Pastikan kamu menghafalkan semuanya, ibu tahu kamu anak yang pintar.
Jangan beritahu siapapun kalau kamu bisa membaca pikiran. Hal ini bisa membuatmu menjadi incaran banyak orang jahat di luar sana.
Hafalkan semua isi kedua buku itu secepatnya lalu hanguskan hingga tak bersisa.
Jangan terlalu sering menggunakan kekuatan sihirmu. Itulah kenapa ibu menyuruhmu berlatih bela diri selama di bumi. Kekuatanmu sangat besar, jangan ditunjukkan. Tubuhmu itu sangat lemah, kalau kamu mengeluarkan kekuatan yang melebihi kemampuan tubuhmu, kamu bisa mati.
Teruslah berlatih mengendalikan dan mengembangkan kekuatanmu.
Teruslah belajar.
Jangan pernah sombong dan menindas orang yang lebih lemah darimu.
Jangan terlalu peduli dengan orang lain dan selalu utamakan dirimu.
Jangan mudah percaya pada siapapun. Kecuali Kafka.
Jangan cari masalah.
Jangan beritahu siapapun nama asli mu. Kecuali orang yang benar-benar kamu percayai.
Dan yang terakhir, jangan sampai jatuh sakit.]
Air mata menetes dengan deras tanpa henti dari kedua mata Axelia setelah ia selesai membaca surat itu. Kafka yang ikut membacanya pun tak kuasa menahan tangis, dapat ia rasakan kasih sayang yang begitu besar di antara ketiganya.
Sambil menyeka air matanya, Axelia membalik surat ke lembar berikutnya.
[Dengan berat hati, Ibu dan Ayah ingin minta tolong padamu. Mungkin ini adalah kali terakhir ibu bisa memohon bantuanmu karena jika kamu sudah membaca surat ini, artinya ibu dan ayah sudah benar-benar lemah dan tak punya kekuatan lagi. Kekuatan kami sudah habis.
Tolong carilah informasi sebanyak mungkin tentang organisasi yang bernama Grion dan laporkan pada kepala sekolah Wistein Academy tanpa memberitahunya identitasmu. Gunakan jubah hitam itu untuk menutup ididentitasmu saat kamu melakukan hal-hal yang membahayakan. Jubah itu juga akan menetralkan kekuatan sihir yang menyerangmu dalam radius tiga meter.
Lalu mendaftarlah ke Akademi Wistein dan pelajarilah sihir lebih dalam lagi.
Mungkin hanya itu yang bisa Ayah dan Ibu sampaikan padamu. Jangan mencari kami dan jaga dirimu baik-baik.
Yang sangat menyayangimu,
Euegene & Dysis.]
***
— Bald kommt ein neues Kapitel — Schreiben Sie eine Rezension