Setelah kejadian itu, Zefan menjadi lebih dingin dan pendiam. Bahkan ia tidak menceritakan yang sebenarnya pada ayahnya. Luna juga merasa heran dengan tingkah sahabatnya.
Pada jam istirahatpun Zefan memakan makanannya dalam diam dengan tubuh yang tidak bisa diam. Beberapa kali, pemuda putih itu menggigit bibirnya sangat keras hingga kulit bibirnya mengelupas.
"Astaga, Zefan Khan!! Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun karenamu!! Apa yang sudah terjadi semalam?? Ceritakan padaku!!" Jengah Luna.
Zefan tidak berani menatap sahabatnya bimbang apakah ia harus menceritakannya atau tidak. Secara pribadi Zefan takut Luna menganggapnya aneh atau bahkan kotor, menjijikan, Zefa. benci memikirkan itu. Dan akhirnya--
"Luna, dia, orang itu,"
"Orang itu? Siapa?"
"Pamanku,"
Luna hampir tersedak air liurnya sendiri ketika mendengar kata yang sangat di hindari Zefan ini.
"Dia menemuimu? Dia sudah keluar dari penjara?"
Zefan mengangguk ia masih belum berani menceritakan yang sebenarnya. Bukan karena pamannya, tapi karena itu, kejadian sebelum Jason mencegahnya. Ia hampir membunuh pamannya sendiri. Tapi Luna tetaplah temannya. Ia harus mempercayainya.
"Kau seperti ini karena itu?"
"Bukan,"
Sebelah alis Luna naik, "lalu?"
"Ada yang aneh pada diriku, kau sudah melihatnya Luna, saat di lab kemarin."
"Mata biru itu?"
Zefan mengangguk.
"Sudah kuduga, kau tidak pernah memakai kontak lens dan tiba-tiba kau bilang kau pakai kontak lens. Jadi, ada apa dengan matamu?"
"Ak--"
"Luna," panggil pemuda berlesung pipit yang entah dari kapan sudah berada di belakang Seokjin.
"Reimond?"
"Bisa kita bicara?"
Seokjin melempar tatapan heran sekaligus berbinar-binar. "Mmm, Ba-baiklah," jawabnya. "Sampai ketemu di kelas, Zefan."
Zefan memasang raut wajah lesu. Pemuda berlesung pipit itu memotong ucapannya. Tiba-tiba?
"Hyung,"
Zefan hampir melompat ketika Jason Farrow tiba-tiba duduk di bangku tepat di sampingnya tanpa suara.
"Sejak kapan kau di sini??" kesalnya.
Jason tak menghiraukannya, "Kami tidak punya waktu lagi, aku harus mengatakannya sekarang,"
Zefan memahami maksud Jason. Tapi, ia tak tahu maksud dari 'Kami' yang tidak punya waktu lagi.
-
Zefan dan Jason berhadapan di atap sekolah yang sepi. "Jadi?" tanya Zefan.
Jason menatap Zefan dengan tatapan yang sulit di artikan, ada kekhawatiran di matanya tapi ada juga keterpaksaan.
"Sejujurnya kami sudah tahu ceritamu dengan pamanmu. Keluargaku sudah mengamatimu sejak kejadian itu."
"Apa?! Kau??"
"Ya, kami mengamatimu. Secara tidak langsung melindungimu juga." Jason mengalihkan wajahnya menatap gedung tertinggi yang terlihat dari atap itu. "Walaupun awalnya kami merasa tidak yakin, tapi kami memutuskan untuk mengamatimu langsung. Dan kami benar-benar yakin saat kejadian semalam."
"Hahh?? Aku tidak mengerti maksudmu. Bisa lebih ringkas?"
"Okey, jadi intinya kau orang yang kami cari."
"Karena?"
"Begini saja, 7 tahun lalu, ada wanita yang menyelamatkanmu 'kan?"
Zefan kembali teringat kenangan buruk itu. Seorang wanita? Suara itu? Tapi-
"Jangan gila, Jason. Tidak ada wanita di sana. Dan kau selalu bilang 'kami' itu saudara-saudaramu?"
"Aku tidak bilang wanita itu berwujud," ujarnya. "Kau mendengar sebuah bisikan?"
Zefan mengangguk.
"Kemungkinan besar itulah yang kumaksud. Itu ibumu, dan setelah kejadian itu kami secara diam-diam mengawasimu."
"Kata 'kami' lagi." frustasi Zefan. "Tunggu, ibuku? Kau bercanda?!"
"Sama sekali tidak,"
Seorang pemuda yang entah dari kapan mengamati mereka di samping pintu atap. Hari ini sepertinya 'hari mengejutkan Zefan' semua orang suka sekali muncul tiba-tiba seperti setan.
"Reizal Fault?" beo Yoongi.
"Ehh, Hallo juga. Panggil Al saja" sapanya.
"Jadi 'kami' itu keluargamu?" tanya Zefan pada Al.
"Tidak juga, aku dan Rey hanya orang baru." Zefan mundur dan bersandar di pembatas atap menekan rasa frustasinya. "Maaf, kurasa kita kembali saja ke pembahasan awal, sudah kuduga jika si pendek ini akan kesulitan."
Jason menatap tajam Al yang sukses membuat bulu kuduk meremang.
"Kau bisa menjelaskan?" tanya Zefan.
"Tolong dengarkan baik-baik. Ibumu seorang dewi, kami tidak yakin dewi yang mana. Kurasa si pendek ini mengetahuinya. Jadi kau itu seorang demigod, manusia setengah dewa."
"Aku tidak tahu! Berapa kali harus kukatakan?"
"Ibuku dewi? Aku demigod? Apa ini naskah dari pertunjukan drama natal nanti?"
"Pertunjukan drama?" kening Al mengerut. "Itu mengingatkanku pada sesuatu."
"Ada satu peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh para dewa, yaitu jika seorang dewa berhubungan dengan manusia dan memiliki keturunan, maka anaknya harus di besarkan oleh orangtua manusianya. Seperti Ray dan Al, ibunya membesarkan mereka seorang diri." Potong Jason
"Kalian membuat kepalaku hampir meledak!"
"Hyung, kau bisa menanyakannya pada ayahmu. Dia tahu semua itu." Saran Jason.
"Ayahku mengetahuinya?" Seolah Zefan mengalami turbulensi pesawat terbang, kepalanya berputar-putar, perutnya seperti di aduk-aduk.
"Zefan-hyung kau baik-baik saja?" tanya Al khawatir.
"Naskah pertunjukan kalian benar-benar bagus," gumam Zefan, "bahkan bisa membuatku merinding."
Zefan berdiri tegak bersamaan dengan pandangannya yang agak mengabur mungkin karena air mata. Hatinya terasa sakit melebihi rasa frustasi di kepalanya. Fakta bahwa Ayahnya menyembunyikan sesuatu darinya, tentang kelahirannya, tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Itulah arti dari gumaman yang ia tujukan padaku malam itu.
Zefan mulai berjalan sempoyongan menuju pintu atap, tidak ada yang mencegah. Jason dan Al hanya bisa menatapnya sedih. Mereka tentu paham perasaanya.
"Pembual,"
Itu kata terakhir yang Zefan ucapkan sebelum dunia berbuah gelap.
"Astaga, dia pingsan." gumam Al. "Itu tanggung jawabmu!" tuduhnya.
"Sialan kau Reizal! Kuubah jadi ulat bulu tau rasa!" maki Jason.
"Wahh, menakutkan!" balasnya dengan wajah mengejek.
Jason dan Al menggotong Zefan menuju UKS membuat para murid di sepanjang koridor menatap mereka keheranan. Mereka bahkan berpapasan dengan Ray dan Luna.
"Zefan!! Apa yang sudah saudaramu lakukan padanya?!!" panik Luna.
"Akupun tidak tahu," ujar Ray dan menyembunyikan rasa bersalan sebisa mungkin.
-
"Apa yang terjadi?" tanya dokter sekolah.
"Hmm, itu, anu, hmm," Jason bingung harus menjawab apa begitu pula Al.
"Mungkin dia kelelahan, dok. Kami menyuruhnya untuk ke atap dan kembali ke kelas mengambil buku yang ingin di pinjam Al untuk tugas sastranya. Jadi, Zefan harus naik turun tangga dari lantai 3 sampai atap." jelas Ray yang sukses mendapat tatapan horor dari Jason dan Al.
'Jawaban yang aneh,' batin Jason.
Bahkan Lu a yang mendengarnyapun ikut terheran-heran. Tapi, entah keajaiban dari mana Dokter itu hanya menggeleng pelan memaklumi.
"Dia harus istirahat dan jangan di ganggu dulu," ucap sang dokter. "Kalian bisa kembali ke kelas."
"Maaf, dok. Bisa aku menemaninya?" tanya Luna.
"Satu orangkan?" Luna mengangguk. "Baiklah,"
"Luna," panggil Jason.
"Ya?"
"Titip ini pada Zefan-hyung, katakan padanya untuk menekan tombol itu ketika ada hal genting, dan katakan juga kalau kami menunggu jawabannya." Jason menyerahkan kotak kecil dengan tombol berwarna perah di tengahnya.
"Tolong jaga dia," pinta Ray lalu pergi di susul saudara-saudaranya.
Setelah memastikan mereka pergi seokjin duduk menghadap Zefan, ia dapat melihat wajah pucat Zefan dengan keringat dingin membasahi dahinya seperti ia sedang bermimpi buruk. Ia mengusap keringat Zefan pelan.
"Apa yg terjadi Zef? Kenapa tiba-tiba kau seperti ini?" Gumam Luna.
Dahinya mengerut saat ia melihat Zefan yang tadinya berkeringat dingin tiba-tiba tersenyum kecil seakan mimpi buruk itu telah di hilangkan seseorang dalam mimpinya. Hingga menit berganti menit perubahan terjadi lagi pada wajah Zefan.
Wajahnya kembali pucat dan tangannya pun mencengkram seprai di bawahnya. Luna panik ia mulai mengguncang tubuh Zefan.
"Apa kau bermimpi tentang malam itu? Atau lebih buruk lagi?" Lirih Luna.
"Zef!!"
Cengraman Zefan semakin kencang bahkan buku jarinya pun ikut memutih.
"Zef!! Sadarlah!!! Bangun!!!!" Panik Luna saat guncangannya tak membangunkan sahabatnya itu.
"ZEFAN!!!"
-
-
TBC
(Penggantian Nama Pemeran)