"Apa yang akan kalian lakukan di atas?"
"Kenapa kau peduli? Jangan melewati batas."
Mark melepaskan tangannya, namun masih memicingkan mata.
"Dia itu sepupuku! Sepupu!" Arvy menekannya berkali kali. "Apa yang kau khawatirkan? Aku akan menyerangnya? Apa aku sudah tidak waras? Menyingkirlah."
"Maafkan aku." mark menyingkir dan membiarkan Arvy lewat.
"Jangan bawakan kami minuman apapun," kata Arvy.
Di atas Amy duduk di sofa panjang. Arvy masuk dan melihat Amy menepuk sofa empuk di sampingnya memberi tanda agar Arvy duduk di sana, namun Arvy memilih duduk di kursi yang berseberangan.
"Kenapa duduk di sana?"
"Aku di sini saja."
"Kau takut akan menyerangku lagi?" Amy tertawa kecil.
"Kau tertawa? Sebenarnya apa yang kau pikirkan?"
Amy berdiri dan berpindah tempat duduk di samping Arvy tepat. Arvy memundurkan badannya.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Kau takut?" godanya.
Arvy mendorong tubuh Amy dengan menaruh jari telunjuknya di dahi Amy lalu mendorongnya mundur agar wajah mereka tidak terlalu dekat .
"Dasar tidak punya takut."
"Kenapa aku harus takut. Kau tidak seperti pria pria br*ngsek di luar sana. Lagipula kita keluarga, aku tidak menganggapmu sebagai pria, yah semacam…emm…" Amy meletakkan jari telunjuknya di pipi sedang tangan yang lain dilipat. Ia tengah berpikir.
Arvy melihatnya lalu tersenyum kecil lalu menggeleng. "Benar benar anak kecil, aku menganggapmu seperti anak kecil, kau puas?"
"Iya itu! Kau sama seperti Dio."
"Harusnya kau memanggil kakakmu dengan sopan. Apa kau tidak punya sopan santun."
"Kenapa aku harus memanggilnya kakak?"
"Apa maksudmu?"
Amy menoleh dan mendekati Arvy lagi.
"Kau…" Amy menyipitkan matanya.
"A…apa?! kenapa melihatku seperti itu?" Arvy malah gugup sendiri.
"Kau…pasti tidak pernah pacaran."
"APA!"
"Hahaha. Kau harus segera menemui Kak Gita. Bukankah kau merindukannya?"
"Kau ini! Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku akan membantumu."
"HA?!"
"Bisakah kau tidak berteriak lebay seperti itu? Aku serius. Ayo bekerja sama. Aku akan membantumu mencari Kak Gita."
"Ada apa sih denganmu? Kau sudah gila? Kenapa kau tiba tiba begini? Kau pasti merencanakan sesuatu. Apa yang kau mau dariku?"
"Tidak bisakah kau tanya satu satu?"
"Bagaimana kau akan membantuku?"
"Mudah saja. Kau tahu pekerjaanku kan? Dio sudah memberitahumu kan?"
"Ghost hunter? Spirit fighter? Atau sejenis itu, iya kan?"
"Betul."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan bekerja sembari mencarinya, just for your information, aku sering mendapat client yang jauh, bahkan luar kota atau bahkan tempat terpencil. Aku akan mengumpulkan informasi."
Arvy nampak berpikir. Sepertinya itu akan sangat membantu.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Aku tidak yakin kau membantuku secara gratis."
"Warna ayah… kau tahu kan?"
Arvy meliriknya. Ia penasaran.
"Ayahku indigo, aku juga dan sekarang kau juga. Aku yakin kakek juga." Amy menghitung dengan jari tangannya. "Bukankah keluarga kita sangat spesial?"
"What a f*ckin special!"
"Apa yang kau katakan? Kalau bicara pakai bahasa kita dengan benar! Apa kau baru saja mengumpat?"
Plak!
Amy menepuk lengannya, hingga Arvy menoleh.
"Aw! Sakit tauk!"
"Kau mengolok aku karena tidak bahasa inggris, dasar payah!"
"Aku tidak mengumpat, aku bersyukur karena kau mau membantuku. Puas?" Arvy mengelus lengannya. "Jadi apa yang harus aku lakukan? Kenapa tanya tentang Paman Holan segala?"
"Aku punya kasus yang penting dan agak berbahaya. Aku ingin kau jadi anggota cadangan saat aku membutuhkan."
"Kalau berbahaya kau harusnya menolak. Kenapa mengambilnya? Apa dia orang kaya?"
"Bukan masalah dia orang kaya atau bukan, tapi ini kasus tentang seseorang yang hilang. Aku ingin membantunya."
"Kan ada poli…"
"Aku juga berpikir begitu, tapi…ada yang tidak beres. Alfa juga ingin membantunya, dan tambahan, tubuh Alfa masih belum sembuh total. Dia akan marah kalau aku menolak kasus kali ini demi dirinya. Karena dia merasa menjadi beban."
Arvy diam mendengarkan kata kata Amy yang meminta bantuannya dengan serius.
"Ini lebih seperti meminta kau menggantikan Alfa, tapi aku tidak bisa memberitahunya kalau aku meminta bantuanmu. Dia pasti akan merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Dia khawatir kalau dia tidak lagi bisa kuandalkan. Namun sebenarnya bukan itu, aku hanya…" Amy menunduk. Bahunya turun. "Aku takut kehilangan dia lagi seperti kemarin. Kalau kau keberatan karena aku meminta ini, anggap saja kau tidak membantuku tapi membantu Alfa, bukankah kalian juga dekat satu sama la…"
Amy terkejut karena tiba tiba Arvy memegang kepalanya dan mengelusnya pelan.
"Kau…sudah melakukan yang terbaik, kau sudah melindunginya dengan baik selama ini dan Kau sudah bekerja keras. Jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu."
Amy mendongak dan menatapnya.
"Aku akan membantumu, bukan karena Alfa atau siapapun, tapi karena kita keluarga."
Mereka bertatapan lama, lama sekali. Hingga keduanya canggung sendiri.
Arvy menarik tangannya dan menatap ke sisi yang lain. Begitu juga Amy yang menatap ke samping.
"Aku melakukannya karena kita ini simbiosis mutualisme. Kau paham?" Arvy berusaha membuat suasana tidak canggung.
"Ha? Simbi…mutu…apa?"
Arvy menoleh cepat. "Kau tidak tahu apa itu simbiosis mutualisme?"
"Makanya aku tanya! Jadi apa itu? Makanan?"
Arvy menepuk jidatnya sembari menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya di sofa.
"Alfa pasti sangat kuat bisa bertahan denganmu."
"Cepat beritahu! Simbolisis mutulis itu apa?!" Amy menggoncang goncangkan lengannya.
Sedangkan Arvy, roh nya seolah hilang dari raganya. Tubuhnya bergoyang goyang pasrah. Ia lalu bangun dan menjelaskan.
"Bukan simbolisis mutulis, tapi sim-bi-o-sis mu-tu-a-lis-me," Arvy mengatakannya dengan patah patah. "Kita hanya harus membantu satu sama lain agar adil, kau paham."
"Ah begitu ya, baiklah." Amy mengulurkan tangannya.
"Apa lagi?"
Amy meyodorkan telapak tangannya dan memberi tanda agar mereka berjabat tangan. Amy menerima tangannya. Mereka berjabat tangan seolah akan melakukan misi.
Setelah keduanya mengobrol cukup lama di lounge atas, keduanya turun. Arvy memasukkan kedua tangannya ke saku dan melangkah dengan wajah dingin dan datar seperti biasa. Sedangkan Amy sebaliknya ia benar benar kelihatan ceria dan senang setelah berhasil transaksi dengan Arvy.
Mark melihat mereka dari bawah. Ia bisa menebak bahwa Arvy di kehidupannya memang orang yang cuek, dingin dan tidak peduli pada apapun juga membosankan.
"Dia pasti tipe yang menyusahkan," batin Mark ketika melihat Arvy. Ia menghampiri Amy begitu Amy sampai di lantai bawah.
"Amy chan," panggilnya. "Sudah selesai bicaranya?"
Amy mengangguk dengan tersenyum.
"Sepertinya kau kelihatan senang. Apa ada kabar yang menyenangkan?"
"Tentu saja, Mark." Amy menepuk lengannya.
Ia baru sadar setelah berdiri sejajar dengannya. Mark sangatlah tinggi, lebih tinggi dari Arvy.
"Mark, kenapa kau tinggi sekali?" Amy mengukurnya dengan tangan. Ia hanya sampai di ulu hatinya.
"Aku 189 senti."
"Apa? 190?!"
"Bukan bukan, 189."
"Sama saja."
"Tentu saja beda. 189 tidak sama dengan 190."