"Wah, manis sekali."
"Terima kasih." Amanda tersenyum pada tante-tante yang mengerubunginya dan mencubit pipinya.
Lima tahun sudah berlalu. Amanda sekarang duduk di bangku SMP, begitu juga Dion yang duduk di bangku SMA. Keluarga Mayor Holan menggelar acara pesta tertutup yang hanya dihadiri keluarga. Pesta itu berada di halaman luas samping rumah direktur yang dipenuhi rerumputan hijau dan dihiasi beberapa furniture untuk outdoor party. Ada panggangan daging dan meja yang dipenuhi kue kering, cokelat dan jus. Suasana langit juga cerah, biru dan berawan.
Mereka duduk di meja makan panjang, lengkap dengan keluarga yang datang. Direktur Rossan Satria, Ardana Satria, Holan Satria, Dio Satria, Amy Satria beserta sanak saudara yang lain.
"Dio sekarang sudah besar dan tampan, ya," salah satu saudari direktur memuji. "Amy juga cantik sekali dengan rambut panjang dan gaun yang bagus."
Mayor Holan hanya tersenyum ramah menanggapi celotehan yang entah tulus atau hanya sebatas formalitas untuk menjaga posisi mereka di dalam keluarga. Para saudara dan saudari direktur tahu kalau Holan adalah suami mendiang Nadia, yang notabenenya hanya menantu. Meski begitu tidak ada yang berani dengannya karena Holan adalah menantu sekaligus anak kesayangannya. Ardana tidak terlalu peduli dengan obrolan basa-basi dan sibuk mengiris daging steik dengan pisaunya.
"Anak dan isterimu tidak ikut lagi?" tsebuah pertanyaan dilayangkan pada Ardana.
"Kau lihat mereka ada di sini?" sinisnya.
"Mereka berdua mirip denganmu yang dingin dan kaku."
"Mereka sibuk."
"Selalu seperti itu alasannya."
"Kalian ini sudah tua bukan anak-anak lagi. Kalau mau bertengkar tidak usah kemari." Direktur menengahi.
"Amy dan Dio, kakek sangat senang kalian datang. Kalau kalian ada kegiatan sekolah, maafkan kakek ya harus meminta kalian datang haha."
Amy dan Dio saling bertatapan dan serentak mengengeh, menanggapi guyonan kakek.
"Tidak kok kek. Kami senang datang ke sini dan makan bersama kakek," kata Dio. Amy mengiyakan.
Dio memakai setelan jas berwarna maroon dan Amy memakai gaun pendek berwarna merah muda. Mereka berkilah sudah menyelesaikan tugas sekolah, jadi memilik banyak waktu luang. Mereka berdua adalah kesayangan kakek.
"Aku kangen dengan Kakek," kata Amy dengan tersenyum lebar.
Kakek tertawa bahagia menanggapinya. "Begitukah? Kau memang cucuku yang paling cantik."
"Selain cantik, Amy sangat cerdas, Kek. Dia memenangkan banyak kompetisi di sekolah. Sepertinya dia mengejar sekolah yang sama denganku," tawa renyah Dio terdengar di meja. Para saudara Ardana dan saudara Direktur memicing melihat keakraban mereka.
"Anak-anak licik ini berani-beraninya…" batin mereka terdengar Amy, hingga membuat Amy tersenyum sinis. Ia sedikit membanggakan diri. Mayor menyadarinya dan menyenggol kakinya untuk pura-pura mengabaikan isi pikiran orang-orang licik itu.
"Tentu saja, Kak Dio. Aku memang berambisi untuk mengalahkan rangkingmu nanti. Jadi tunggu saja perkembanganku yang pesat." Amy mengengeh.
Dio membalasnya dengan senyuman ramah, ia mengusap puncak kepala Amy dengan lembut.
"Rupanya keluargamu rukun juga ya," timpal Ardana tiba-tiba tanpa menoleh, ia masih fokus makan makanan di piringnya. Ia lalu meminum wine dengan sekali tenggak, baru menoleh.
"Sekarang ini Ravy mengambil alih bar-ku yang terletak di dekat kampusnya. Kalau kalian sudah cukup dewasa, mampirlah. Sepertinya Ravy akan senang melayani gadis manis seperti Amy," ia tersenyum sinis sembari memperhatikan Amy dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan mesum.
Holan nampak kesal, namun Dio lebih kesal. Dia berdiri dan marah, hingga mendorong kursinya ke belakang.
"Maksud Paman apa? Kak Ravy tidak akan melihat Amy dengan tatapan seperti itu! Amy baru14 tahun. Paman tahu itu kan?!"
"Jangan berlebihan, Kak," kata Amy tiba-tiba. "Sepertinya tawaran Paman tidak buruk juga. Kapan-kapan aku akan membicarakan ini dengan Kak Ravy. Bukankah ini kesempatan bagus, iya kan Paman?" Amy tersenyum penuh kepalsuan pada Ardana.
"Anak-anakku sepertinya terlalu cerdas. Apa kalian mau tambah waffle?" sela Holan tiba-tiba. "Masih ada waffle dingin di kulkas."
Amy dan Dio sepertinya paham sinyal dari ayahnya. Mereka berdua serentak mengatakan akan mengambilnya ke dapur. Meskipun ada beberapa pelayan yang mengelilingi mereka dan bersiap mengambil makanan apapaun, Amy dan Dio berdiri dan meninggalkan meja makan, dan masuk ke dalam rumah.
"Kau tidak perlu berlebihan seperti itu jika mau menyinggungku," kata Holan pada Ardana setelah anak-anaknya masuk. "Mereka adalah putra putri semata wayangku yang berharga. Kau jangan asal berbicara kasar seperti itu, terutama pada Amy." Holan mengiris daging di piringnya dengan penuh penekanan sekaligus menikmatinya seolah mengiris daging manusia.
"Toh dia bukan anakmu, dalam artian yang sebenarnya."
Mereka berdua saling menatap tajam satu sama lain.
"Setidaknya mereka mau datang ke pesta keluarga yang cukup menyenangkan ini. Tidak seperti Arvy, anakmu itu tidak pernah datang," sindir yang lain.
"Arvy masuk universitas tahun ini. Dia sangat sibuk."
"Tidak sibuk pun, dia tidak pernah datang."
"Cih!" Ardana tersudut.
"Eheemmm! Haruskah kita akhiri saja makan bersama ini?" direktur lagi-lagi menengahi.
Di dapur Dio membuka kulkas dan mengambil beberapa gelas kaca besar berisi susu dan waffle. Amy berdiri menyilangkan lengan di depan dada sembari menyandarkan punggungnya di dinding. Ia melihat Dio.
"Kau benar-benar akan makan waffle? Lalu membawanya kembali ke meja terkutuk itu?"
"Hem," sahutnya singkat.
"Kalau aku sih tidak sudi. Kau ke sana saja sendiri." Amy meninggalkan Dio sendirian di dapur lalu mengambil tas kecilnya di gantungan tengah ruangan.
Dio berlari menyusulnya.
"Mau kemana?"
"Pulang."
"Tanpa ayah?"
"Ayah bisa pulang sendiri. Lagipula dia harus berbicara dengan kakek, maksudku direktur, setelah ini kan."
"Aku heran, kenapa kau bisa mengubah ekspresimu yang tadi hangat menjadi dingin secepat ini? Kau benci dengan seluruh keluarga besar kita, termasuk kakek?"
"Iya! Aku benci. Kenapa?" Amy sengaja menyulut pertengkara.
"Tapi kenapa?"
"Dio Satria, kau pikir aku menganggapmu kakak, huh?" Amy mendekat dan menatap lekat kedua mata Dio, meski tinggi badan mereka terpaut jauh. "Aku iri padamu yang tidak tahu apapun. Tapi satu hal, jangan pura-pura dekat denganku di depan orang lain. Aku memakluminya tadi karena di depan keluarga . Jika itu menguntungkan Mayor Holan, aku tidak keberatan. Tapi jika kau menyentuh kepalaku seperti tadi lagi…mati kau." ancam Amy.
Sesaat setelah mengatakannya, Amy meninggalkan rumah itu. Ia keluar melalui pintu lain lalu keluar gerbang. Rumah kakeknya itu memang luas seperti istana presiden.
Dio menunduk dan menghela napas.
"Aku khawatir akan jadi apa adikku itu setelah dewasa," gumamnya. "Padahal dia baru masuk SMP tahun lalu."
Amy memakai coat hitam untuk menutupi lengan putihnya yang terekspos karena gaun yang ia pakai. Dia naik kereta cepat menuju suatu tempat. Handphone-nya terus berdering, Mayor dan Dio bergantian menghubunginya hingga puluhan kali. Mayor akhirnya mengirim pesan teks.
"Pulang sebelum malam. Kau masih dibawa umur. Jangan berpikir untuk datang ke bar-nya Arvy. Kecuali kau mau buat masalah untukku."
Amy mendecih. "Siapa juga yang sukarela datang ke sana? Padahal aku mau mengunjungi Bu Nadia."
Mendadak terjadi guncangan, padahal tak biasanya terjadi guncangan di kereta cepat. Namun hanya sesaat, setelahnya keadaan kereta kembali normal. Namun, beberapa penumpang ada yang oleng. Seorang anak laki-laki memakai seragam dan kacamata bulat tiba-tiba jatuh terseungkur di kaki Amy. Ia membantunya berdiri, namun tak disangka, mata mereka bertemu.
"Kau…Amanda?" tebak anak laki-laki itu sedikit shock. Ia berdiri, sedang Amy yang duduk di hadapannya.
"Eh? Siapa dia? Sudah lama sekali sejak aku dipanggil dengan nama itu," batin Amy penasaran. Tiba-tiba ada dua nama yang teringat di benaknya, dua sahabat karibnya yang dahulu tinggal bersamanya di panti asuhan.
"Kau Amanda, kan?" anak itu terus meminta jawaban. Matanya berbinar.
Amanda ragu memanggilnya. Mereka berdua saling bertatapan lekat.
"Kau…."