Bar itu sangat sepi, hanya ada beberapa pengunjung. Suara es batu yang menabrak dinding gelas kaca dan alunan lagu ballad di pengeras suara. Orang-orang berbincang dengan pasangan mereka. Kecuali Amy, ia duduk sembari memandangi gelas kecil yang berisi anggur mahal.
"Sia-sia kubuang uangku, anggur ini pahit sekali," katanya sembari melototi gelas itu. Wajahnya merah setengah mabuk, ia menopang dagu.
"Bukan aggurnya," sahut seseorang. "Tapi hidupmu."
Itu adalah Arvy. Ia memiliki kumis tipis, rambutnya cepak dan memakai kacamata. Mengenakan setelan kemeja hitam dan celana hitam, badannya kekar. Sangat beda penampilannya saat masih kuliah dulu. Satu yang masih sama, wajahnya yang datar dan dingin bak robot berjalan. Sekarang ia fokus mengelola bar-nya. Ia duduk di depan Amy, di meja yang sama. Ia menuangkan botol anggur ke gelas Amy.
"Kenapa kau jual anggur pahit ini? Kau menipu pelanggan."
"Pastikan saja kau membayarnya, dasar miskin."
"Aishhh. Bisakah kau tidak bicara dengan mulut es mu itu? Menyebalkan sekali mendengarnya." Amy ambruk, kepalanya jatuh hampir membentur meja, namun Arvy sigap meletakkan telapak tangannya di bawahnya tepat. Pipi Amy gagal membentur meja.
"Ah sial. Haruskah kau mengacau di barku?!" Arvy mendecakkan lidah. Ia menghubungi seseorang.
Namun tiba-tiba Amy mengangkat kepalanya, dengan mata setengah terbuka.
"Siapa yang kau hubungi? Oh jadi kau yang menghubungi pria sialan itu kemarin? Dasar robot sialan!"
"Kenapa kau selalu menumpahkan kekesalanmu di sini? Kau pikir bar ku ini tempat apa? Setidaknya datanglah dengan seseorang, aku tidak mau mengurusmu."
Amy melihat ke lantai atas. Adas ebuah ruang terbuka yang cukup mewah dengan sofa panjang. Dibatasi pagar pendek berwarna cokelat, nampak elegan dan mahal.
"Apa itu lounge bar? Tempat orang VIP?" tanya Amy sembari menunjuk lantai atas.
"Tidak ada yang seperti itu di sini. Tidak ada VIP. Itu cuma tempat tidurku."
"Apa?! Kau gila?"
Arvy mendecih. Ia menghela napas panjang berusaha menahan emosi.
"Kau harusnya memiliki tempat 'itu' jika ingin bar mu ramai," oceh Amy.
"Tempat 'itu'? 'Itu' apa?"
Plak. Amy memukul keras lengan Arvy. Arvy memegang lengannya yang nyeri, ia tidak kaget lagi, gadis ini memang setengah gila.
"Kenapa kau selalu memukulku, gadis gila!"
"Kau harus mulai mengumpulkan gadis-gadis cantik di kota ini. Terutama mereka yang tidak punya pekerjaan dan tinggal sendirian. Cari yang cantik, tinggi, putih, seksi, hah pokoknya yang sempurna untuk dijadikan pelayan VIP."
"Apa!! aishh dasar gadis gila ini." Arvy sangat jengkel mendengar ide gila itu terlebih dari perempuan, dan itu keponakannya sendiri. Diseretnya Amy keluar sampai depan bar. Di lingkungan sekitar telah sepi karena waktu menjelang tengah malam.
"Pulanglah sekarang!"
"Woiii kenapa kau marah?! Aku kan mau bantu kau." Amy berusaha menerobos dan masuk ke dalam, namun badannya terlalu kecil untuk melewati badan besar Arvy.
"Jika kau mengatakan ide bodoh itu lagi…" Arvy mencubit kedua pipi Amy dengan satu tangan hingga membuat bibir merahnya manyun ke depan. "Kau yang akan jadi pegawai pertamaku. Mengerti?"
Arvy melepaskan cengkeramannya pada pipi kepiting rebus itu. Ia hendak masuk ke dalam namun tiba-tiba Amy membuka kancing kemejanya satu persatu. Arvy panik bukan main.
"Apa yang kau lakukan?!" teriaknya.
"Panggil pelanggan VIP mu. Aku akan jadi pegawai pertamamu. Lagipula aku sudah membuang harga diriku. Sepertinya tubuhku tidak buruk juga. Coba lihat." Ia menunjukkan rok pendeknya, dibukanya kancing kemejanya namun karena kesadarannya tidak sedang dalam kendalinya, ia pun tak bisa membukanya dengan mudah. Amy mabuk parah, berdiri saja tidak mampu.
Arvy mendekat dan menghentikan kedua tangannya.
"Sudah cukup. Kalau kau meneruskannya, aku benar-benar akan marah," kata Arvy dengan penuh penekanan.
"Kau tahu, Vy? Kadang aku tidak bisa melihat warnamu. Kadang aku juga merasa kau sama sepertiku. Bukankah kau berpikir begitu? Jadi berikan aku pekerjaan ini. Ayahmu pasti senang."
"Kenapa kau bawa-bawa dia?"
"Ayahmulah yang menawariku pekerjaan ini lebih dulu. Dia yang memintaku datang padamu dan membangun bisnis ini. Setelah kupikir-pikir itu tidak buruk juga. Sepertinya ini cara yang bagus agar cepat kaya. Kau tidak berpikir begitu?"
"Kenapa kau melakukan ini padaku? Tidak bisakah kau tidak menemuiku dalam keadaan seperti ini?"
Amy tiba-tiba memeluknya. "Kalau kau tidak punya pelanggan VIP, kalau begitu kau saja. Aku akan menunjukkan bakatku di ranjang." ia memeluk dengan penuh hasrat, kakinya ia angkat sedikit hingga lututnya menabrak sesuatu di yang besar di selangkangan Arvy. Ia memegang kedua pipi pria itu yang memanas.
"Gadis ini tidak tahu cara bersenang-senang. Jadi aku membantunya. Dulu dia sudah cukup gila. Aku tahu kalian bukan keponakan asli," bisik Amy di telinga Arvy
Arvy tertegun, ia memebelalakkan mata sejenak. Dilepasnya paksa pelukan bergairah itu. Dicengkeramnya dengar kuar kedua bahu Amy sembari menatap matanya intens.
"Siapa kau sebenarnya?"
***
"Aku sudah curiga. Dia aneh sejak datang ke bar kemarin. Apa dia memiliki serat fyber? tidak mungkin kan?" Arvy menatap telapak tangan kirinya. Ia terus-menerus teringat dengan kata-kata Amy (bukan Amy) kemarin bahwa mereka sama.
"Aku tahu dia indigo sama sepertiku. Tapi sepertinya ada hal lain selain itu. Apa itu sebenarnya?" batin Arvy.
Amy berbaring di ranjang besar miliknya. Ia menyelimutinya, sedang dirinya tidur di sofa. Apartemennya tidak berubah sejak dulu, kecuali ayahnya yang sudah tidak pernah menyelinap ke sana, karena sibuk dengan urusan perusahaan. Ia menghubungi seseorang.
"Aku menunggu teleponmu. Dia di bar mu lagi?"
"Tadinya aku mau menghubungi Alfa. Tapi dia tidak mengangkatnya. Aku di apartemen, jemputlah."
"Anu Kak Arvy…"
"Apa?"
"Apa dia mengatakan sesuatu yang aneh?"
"Kenapa kau secemas itu. Dia memang selalu mengatakan hal aneh."
Terdengar helaan napas lega daris eberang telepon. Arvy sedikit curiga.
"Apa yang kau sembunyikan dariku, Dio?"
Degh
"Ah tidak. Malam ini tolong biarkan dia tidur di apartemenmu semalam ya. Aku masih ada kuliah malam. Lagipula beberapa hari ini Amy marah karena aku tahu tempat tinggalnya. Ah dia benar-benar adik yang membenci kakaknya. Pokoknya tolong jaga dia semalam saja, besok kalau dia kembali normal aku akan jelaskan baik-baik. Bye."
"Tunggu, Dio! Dio!" Dio memutuskan panggilannya. "Kakak adik sama-sama menyusahkan." Arvy membawa satu bantal dan selimut di almari dan tidur di sofa panjang.
***
"Kudengar wisudamu bulan depan, benarkah itu?" tanya Ardana.
Dio mengangguk.
"Sudah memberitahu ayahmu?"
Dio menggeleng.
Ardana menghela napas. "Dia pasti masih sibuk melatih para polisi junir di camp pelatihan. Dia memang kears kepala, padahal direktur menyuruhnya mengurus perusahaan denganku, tapi dia ngotot tetap ingin memakai seragam kesayangannya sampai akhir."
Mereka berdua minum kopi di kedai perusaan yang berada di lobi depan. Dio memakai setelan jas rapi, rambutnya ia tata rapi. Dia benar-benar tumbuh menjadi pebisnis tampan.
"Ayahmu sama dengan Arvy, anak tengil itu tetap ngotot ingin mengembangkan bar-nya. Tapi ya sudah lah, jika itu yang dia inginkan. Toh tidak merugikan keluarga. Beberapa tahun terakhir ini keluarga kita seperti orang kebanyakan. Minum kopi, sarapan omelette, bekerja di perusahaan, menghasilkan uang dan bersenang-senang. Bukankah kita telah bertransformasi menjadi normal?" Ardana tersenyum sembari menyeruput kopinya.
"Sepertinya anda yang telah bertransformasi menjadi pak tua bijaksana. Akhir-akhir ini anda yang paling terlihat berbeda. Anda seperti terlahir kembali."
"Kau benar-benar pandai memuji orang. Sekali-kali mampirlah ke rumahku, andai putraku sepertimu. Waktu cepat berlalu, dulu kau dan adikmu masih sekolah sekarang sudah pada dewasa. Aku juga menua, banyak hal tidak masuk akal terjadi. Aku sudah tidak mengharapkan isteriku lagi, namun aku tidak boleh menyerah kan?"
Isteri Ardana memiliki kondisi yang sama dengan ibu Dio. Mereka sudah 11 tahun koma, sejak keadatangan Amy saat 9 tahun, kini putri kecil itu telah menjadi gadis muda. Dio memutuskan kuliah dan bulan depan akan wisuda, ia memilih ikut mengurus perusahaan, sedang Amy menolak kuliah dan bekerja paruh waktu, serta memilih tinggal di apartemen alih-alih di rumah. Namun baru-baru ini Dio marah besar karena ia hidup berdampingan dengan salah satu teman laki-lakinya bernama Alfa. Arvy juga memutuskan hengkang dari kuliahnya dan fokus pada bar-nya. Ia kini sudah memiliki beberapa pegawai.
Beberapa tahun terakhir, keluarga Satria hidup dengan normal. Sayangnya mereka tidak mengira bahwa ada saatnya ketenangan sebelum badai besar datang.
"Mereka sepertinya terlena karena Holan tidak ada di sana," Rataka tersenyum sarkas sembari memandikan Liska (pedang kesayangan Rataka, cek bab 17) dengan kembang tujuh rupa. Pedang itu bersinar warna keemasan. Rataka menyeringai.
"Padahal ada sesuatu yang berbahaya mengancam mereka."