App herunterladen
12.5% SOS / Chapter 1: Opening SOS (from East to East)
SOS SOS original

SOS

Autor: chiechioechi

© WebNovel

Kapitel 1: Opening SOS (from East to East)

HUTAN Kalimantan tampak sedikit menyeramkan, sinar matahari pagi hanya mampu melewati celah kecil pepohonan. Kicauan burung terdengar dari jauh. Suara aungan beruang sekali-dua kali terdengar. Tapi itu tidak menyurutkan niat Alexandra—seorang photographer yang namanya sedang naik daun saat ini—untuk menjelajahi hutan, mencari keindahan tersembunyi yang setiap waktu diabadikannya di kamera besar yang tergantung di leher. Alyx—nama kecil Alexandra—sudah benar-benar siap untuk pagi ini. Dia sudah meminta seorang untuk menyuntikkan vaksin anti deman berdarah. Bahkan dia membawa pisau sangkur, siapa tahu ada hewan liar yang datang menyerangnya.

Kali ini adalah kali kedua bagi Alyx untuk kembali menjelajah di hutan Kalimantan yang begitu lebat. Setahun lalu dia juga datang, sayangnya tak berjalan lancar penyebabnya tidak lain karena nyamuk membawa penyakit ke dalam tubuhnya. Dia belum menyelesaikan pemburuan eventnya saat itu dan berjanji akan kembali untuk mendapat apa yang dia inginkan. Dan hari ini, dia kembali. Perjalanan yang cukup melelahkan tentunya, dia bahkan belum beristirahat sejak perjalanannya dari London-Jakarta-Kalimantan. Tidak ada kata lelah, karena baginya ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan.

Di tengah kesibukannya mencari pencahayaan yang tepat, Alyx berbalik, memastikan salah satu anggota timnya mengikuti di belakang. Sebuah senyum menghias wajahnya, berbeda dengan Gading—pria manis dengan ransel besar di punggungnya. Alyx sengaja hanya mengajak Gading, meski dia pria yang suka mengeluh, tapi Alyx lebih suka mengajaknya untuk mencari lokasi dibandingkan dengan anggota tim yang lain.

Sekali-dua kali, suara jeritan Gading terdengar, setiap kali dia menemui hewan kecil yang aneh. Dia selalu meminta Alyx menyingkirkan hewan-hewan itu dari hadapannya. Dia memandang Alyx yang nampak menikmati keadaan di hutan ini. Sekali lagi dia menghela nafas panjang, merasa dirinya orang yang paling tidak beruntung karena harus menemani Alyx mengelilingi hutan yang luas. Dia bingung, kenapa bosnya itu harus mencari lokasi terlebih dahulu dan membiarkan anggota tim yang lain serta model untuk menunggu di pos peristirahatan.

"Apa yang kau lakukan?" suara tegas Alyx membuat Gading segera tersadar dari lamunannya.

Gading segera menyusul Alyx yang semakin menjauh.

"They said that you wanna be a photographer, ha? Ehm, What do you think 'bout this?"

Belum Gading menjawab pertanyaannya, Alyx telah melanjutkan dengan yang lain. Gading hanya bisa menelan ludah. Benar-benar tidak ada yang berubah dengan bosnya setahun yang lalu. Gading tersadar kembali saat Alyx mengatakan sesuatu lagi dalam bahasa inggrisnya—sekali-kali aksen lain terdengar—Gading berusaha memahami setiap kata, siapa tahu bosnya itu menginginkan sesuatu. Karena saat ini, Gading sadar kalau Alyx kadang berbicara pada dirinya sendiri.

"Gading."

"Yes. I… I…"

"Aku mengerti bahasa," Alyx tersenyum saat menyadari Gading berusaha berbicara dalam bahasa Inggris.

"Ya, aku tahu. Apa selanjutnya?" Gading memandangi punggung Alyx yang dengan kagum menyaksikan pemandangan di hadapannya. Sepertinya mereka akan memulai pemotretan di air terjun ini.

"Apa aku harus kembali ke camp sekarang?"

"Kembalilah," pintanya dalam bahasa inggris. Alyx segera membayangkan bagaimana hasil yang akan didapatkannya nanti.

Air terjun di hadapan Alyx mengalir deras. Cahaya pagi membuat percikan air nampak bak mutiara. Pohon-pohon lebat berwarna hijau terang, pastinya sedang melakukan fotosintetis dengan menggunakan energi dari cahaya matahari. Awesome. Segera beberapa bayangan terlintas di benaknya, bagaimana dia akan meminta sang model bergaya di depan kamera—sudah tugasnya memang, sebagai director di tim itu untuk mengarahkan model dalam berbagai gaya.

Seketika Alyx berhenti dari pekerjaannya mengambil gambar. Memandang ke arah darimana dia datang. Sepertinya memikirkan apakah anak buahnya itu bisa sampai ke pos. Atau bagaimana dia menghubungi Gading, sedang smart phone miliknya sekarang tidak berfungsi, hanya mendekam di ransel berwarna merah maroon yang selau dibawanya. Entah apa saja yang ada di dalam tas yang terlihat berat itu, mungkin saja itu adalah tas yang sangat berarti, sampai-sampai dia tidak pernah membiarkan tas itu jauh dari dirinya.

Alyx akhirnya memilih untuk melihati gambar-gambar yang baru saja diambilnya. Melihati satu per satu dengan cepat. Dan berhenti—terdengar suara yang mengalihkan perhatiannya dari gambar di kamera. Suara ranting-ranting kayu kering yang terinjak.

"Kalian sudah da… tang…" Alyx terdiam—bingung. Sepertinya dia salah. Tapi, suara langkah yang mendekat nampak begitu jelas. Atau mungkin saja, suara itu langkahan hewan penghuni hutan. Beberapa saat kemudian, tak ada suara lagi—sunyi.

Alyx memegang pisau di saku, wajahnya sedikit khawatir, bercampur bingung dengan suara langkahan yang tiba-tiba berlari, menjauh. Dia melepas genggaman dari pisau saat mendengar suara yang dikenalnya.

"Maaf, kami lama. Dia baru saja selesai mandi dan menghias dirinya dengan berbagai macam bedak." Salah satu dari anggota tim menunjuk Masha, model Russian yang telah dimintai untuk mengisi majalah.

Alyx tersenyum. "Hapus make up diwajahmu."

"Apa? Baiklah," katanya, segera menyerah, setelah melihat wajah serius Alyx.

"Meski itu tidak tebal, tapi tetap saja mengganggu di kameraku." Alyx segera mengingat tema yang akan ditampilkannya di majalah Rusia itu. Tim Alyx segera menyiapkan segala peralatan, termasuk tempat berganti pakaian untuk model. "Come on. Hurry up. Sebelum matahari yang cantik itu berada di atas kepala kalian."

Mereka bergegas, melihat Alyx yang menunjuk sana-sini, mengarahkan. Sesi pertama di mulai, dengan dress putih membalut tubuh model yang anggun dan kakinya yang jenjang.

"Ok," suara Alyx mengakhiri sesi pertama dan segera meminta untuk melanjutkan ke sesi kedua, ke tiga dan sesi selanjutnya. Masha diminta berganti pakaian untuk sesi terakhir. Sambil menunggu, Alyx sekali-kali membidik suasana pemotretan.

Masha yang telah siap, berdiri di hadapan Alyx, meminta pendapatnya tentang pakaian yang dikenakannya sekarang. Alyx hanya tersenyum sambil tetap memotret Masha. Tapi, bidikan Alyx terhenti kepada sosok yang terjatuh di hadapannya. Masha jatuh tersungkur. Alyx mematung melihat tubuh Masha yang menjadi kaku. Yang lain mendekat mencoba untuk membangunkannya.

"Apa yang terjadi?"

"Ada apa dengannya?"

Mereka membalik tubuh Masha. Suara heboh dan hanya memandanginya.

"Berikan ruang untuknya," suara Alyx membuat mereka menyingkir, hanya seseorang yang membuat pahanya menjadi bantalan untuk Masha.

"Cepat panggil dokter.

"Dokter? Tidak ada dokter disini, bukankah kau yang seharusnya menyiapkan perlatan medis. Alyx sudah memintamu, kan?"

"Apa? Kupikir itu tidak penting," katanya dengan nada menyesal.

"Sudahlah, jangan saling menyalahkan. Apa dia sering pingsan seperti ini? Sebaiknya kita membawanya ke camp sekarang." Alyx melangkah lebih dulu.

��Tapi, kenapa nafasnya menjadi berat seperti ini. Aku takut kalau…"

Alyx menggeram sendiri. "Menyingkirlah!" Dia duduk di samping Masha. Memeriksa denyut nadinya. Dan segera tersadar kalau racun sekarang telah menjalar ke tubuh Masha. "Salah satu dari kalian, cepat ke camp dan hubungi dokter."

"Aku saja." Gading mengajukan diri. "Mereka biasanya melintas ke desa sebelah, sepertinya mereka bisa datang dengan cepat."

Alyx mengangguk. Alyx membalik tubuh Masha, menyingkirkan rambut dari lehernya, dan menemukan sebuah jarum tertancap di tengkuknya.

"Curare," pikirnya. Dia menghela nafas berat, sambil membuka ranselnya. Mengeluarkan kotak.

"Apa yang akan dilakukannya?" bisik salah satu mereka.

"Ahhh. Apa dia akan merobek lehernya?"

Alyx berbalik memandang ke dua gadis yang berbisik-bisik. "Kalau tidak bisa diam, bisakah kalian menyingkir saja, atau bereskan semua peralatan itu. Pemotretan hari ini selesai."

"Ba…ik."

*

"Seorang dokter?" Gading dan tim lainnya sedang berbincang di depan api ungun malam harinya. Mereka masih harus menunggu mobil jemputan agar bisa kembali ke kota.

"Kudengar seperti itu," Fred sekarang menjadi pusat perhatian saat menceritakan mengenai kehidupan Alyx—sementara yang diceritakan sedang berbaring di dalam tenda, tak tahu kalau dirinya sedang menjadi topic pembicaraan. "Kalau pekerjaannya sekarang, dia baru berkecimpung dua tahun terakhir ini, dan seperti kalian tahu… namanya sudah melambung tinggi-tinggi-tinggi." Fred memiringkan tangan di depan wajahnya.

"Dokter apa?" tanya yang lain penasaran.

"Setahuku dia seorang dokter bedah."

"Memangnya berapa umurnya sekarang? Kelihatanya dia masih muda."

"Dia menyelesaikannya dalam waktu singkat. Beberapa kali ikut percepatan kelas saat masih di sekolah dasar dan menengah. Dan lain-lain-lain, sepertinya dia orang yang jenius."

"Wah…" mereka hanya bisa mengeluarkan ekspresi kagum, luar biasa, dan ekspresi lainnya. "Apa dia melakukan operasi bedah plastic?"

"Kenapa, Nat? Kau mau hidungmu itu ditinggikan?"

Nat hanya melempar Fred dengan batu kecil yang bisa diraihnya. "Tapi, kenapa dia menjadi photographer?"

"Iya, padahal yang kutahu pendapatan dokter bedah itu lumayan loh?"

"Begini…" Fred berdehem sesekali, "kau tanyakan sendiri padanya," kata Fred kemudian. Dan segera mengalihkan

perhatiannya pada api unggun di hadapan mereka saat menyadari kedatangan Alyx.

Gading dan yang lain berbalik melihat ke belakang.

"Why? " Alyx jadi bingung sendiri saat dilihati seperti itu.

Fred dengan cepat mengambil alih. Dia mempersilahkan Alyx duduk di tempat yang baru saja dibersihkannya. Suasana sedikit canggung saat Alyx bergabung, meski mereka sudah berusaha membuat malam ini sedikit menyenangkan. Fred berusaha untuk memperbaiki suasana lagi. Tapi, Nat malah menanyakan mengenai kisah hidup Alyx. Fred hanya bisa menutup wajahnya saat Nat mengatakan mendapat informasi darinya.

"Yeah, itu benar," kata Alyx saat ditanya mengenai background pendidikan terakhirnya sebagai seorang dokter. "Aku menggeluti dunia kedokteran hanya beberapa bulan."

"Lalu… kenapa kau berhenti?"

"Karena… I'm looking for someone."

Tidak ada yang bertanya lebih lanjut, saat Fred mulai mengalungkan lagu dari gitarnya.

*

JAKARTA nampak sangat terik siang ini. Sangat panas jika harus berada di luar ruangan. Untungnya Alyx beserta kawan-kawannya sedang berada di dalam ruangan ber-AC. Mereka sedang membicarakan tugas yang harus

segera dirampungkan.

"Aku?" Fred terkejut saat Alyx memintanya untuk menyelesaikan editan. "Tapi, mereka…"

"Tidak. Aku tidak bisa tinggal lebih lama. Mereka hanya meminta studio kalian yang menyelesaikan ini. Dan kupikir tugasku sudah selesai."

"Bos, akan kemana sekarang? Kau akan kembali ke London?"

Alyx mengangguk. "Tak ada tempat lain yang bisa kudatangi, selain rumahku. Coba saja aku tidak bekerja sendiri, aku akan mengajak kalian." Alyx tersenyum.

"Aku akan mengantarmu ke bandara," pinta Fred.

"Tidak. Aku harus mampir ke suatu tempat," kata Alyx dan tersenyum.

Alyx tiba di sebuah tempat latihan yang cukup besar—Taekwondo-ITF. Alyx melihat papan yang tergantung di atas pintu. Memandangnya beberapa jenak. Dan mendorong pintu.

Di dalam, beberapa anak kecil dan beberapa remaja sedang latihan pemanasan. Alyx tahu kalau hari ini adalah jadwal bagi pemegang sabuk putih untuk berlatih.

Pelatih mereka sedang memberikan arahan di depan. Tapi, perhatian anak-anak itu teralih pada gadis semampai yang baru saja masuk. Pelatih berbalik dan tersenyum lebar menyadari siapa yang datang.

"Sabeum," Alyx membungkuk memberi salam.

Orang yang dipanggilnya sabeum itu menghampiri Alyx. Dia pria dengan wajah yang sangat menyenangkan. Seorang warga Negara Indonesia asli yang telah mendapat sabuk hitamnya setelah lama tinggal di korea dan kembali mengajarkan ilmu yang diperolehnya pada anak-anak Indonesia.

Nama pria itu terajut benang emas di sabuk hitamnya—dalam tulisan Hangeul. Alex.

"Ayo masuk," ajak Alex dan berjalan lebih dulu.

Alyx mengikutinya masuk ke dalam sebuah rumah yang sangat tradisional.

"Papa…" teriak Alex setelah mempersilahkan Alyx duduk. "Pa," sekali lagi Alex berteriak. "Dia baru saja kembali dari Hawai," katanya pada Alyx.

Alyx tersenyum mendengar itu.

Beberapa saat kemudian, seorang pria dengan tubuh tinggi dan berisi—tidak gendut—keluar. Sebuah aksesoris—kalung terpasang di lehernya. Sepertinya barang yang dibawanya dari Hawai. Baju yang dikenakannya—berwarna mencolok dengan motif bunga yang besar-besar membuat dirinya kelihatan lebih besar. "Kau membuat telingaku sakit saja," katanya dan belum menyadari kehadiran seorang gadis di ruang tamunya.

Alyx tersenyum lebar. Pria itu membalas senyumnya dan bermaksud masuk kembali, tapi berhenti—mematung di tempatnya dan beberapa jenak kemudian berbalik, melihat tamu yang dikiranya salah satu kawan Alex. Matanya melebar.

"Papa," sapa Alyx pada pria itu.

"Anakku… Anakku," kata pria bernama Alexander itu berulang-ulang. Alexander menghampiri gadis itu dan memeluknya. "Lama sekali baru melihatmu, nak."

"Aku merindukanmu, pa."

*


next chapter
Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C1
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen