App herunterladen
26.31% Sixthsense (jiwa-jiwa yang merindu doa) / Chapter 5: Kebaya Merah Maroon

Kapitel 5: Kebaya Merah Maroon

Siang itu dengan berlari, aku segera menuju rumah duka yang tak jauh dari parkiran mobil tempat kami diturunkan.

"Gila panas banget," gumamku.

Ketika sampai di rumah duka, nampak bunga-bunga ucapan dukacita yang berjejer rapi.

Kami memasuki ruangan dan nampak peti putih tetapi masih kosong. Diapit oleh foto mendiang dan salib ditengahnya. Sepertinya sedang pemulasaraan jenazah.

Kami kemudian duduk bersama keluarga yang sudah menunggu. Ditemani kuaci dan kacang serta air minum kemasan.

"Ah, lumayan nih adem."

Aku duduk manis sambil makan kuaci mendengarkan teman bertanya bagaimana saat terakhir mendiang sakit ke keluarga. Kadang bertanya sekedarnya.

Ternyata, kepergian mendiang ini tidak diduga sama sekali atau terjadi dalam kondisi yang cepat. Sehingga pihak keluarga belum mempersiapkan kondisi terburuk.

Seketika datang anak dari mendiang yang memang aku kenal teman satu kerjaan.

Dia menyalami kami satu persatu. Kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya.

"Semoga diberikan jalan terbaik ya, Ci..."

"Makasih Rin, maafin mami kalo ada salah."

"Iya, Lah si mami sekarang masih di pemulasaraan jenazah?"

"Iya, lagi ambil baju bingung maunya keluarga pakai apa ..."

Ohh gitu.

Tiba-tiba dari arah pintu masuk rumah duka nampak wanita kurus berlari mondar-mandir keluar masuk ruang pemulasaraan seperti sedang kebingungan.

Aduh, si Mami tuh. Dalam hatiku berkata.

"Iya ci, semoga dapat kesepakatan ya mami cantik pakai baju apa?"

"Iya, eh gue tinggal dulu ya Rin?"

"Oke."

Aku duduk kembali. Berusaha untuk tenang dan tidak berusaha ikut campur dengan dunia afterlife.

Mami kembali terlihat sedang setengah tergopoh dan kebingungan.

"Merah Maroon," teriaknya ke anak-anaknya yang sedang mencari baju krem.

Namun apa daya aku seperti terikat dan masih menahan diri. Masih.

Aduh, lama kelamaan kok jadi aku merasa aneh dan awkward melihat kejadian ini tetapi mami berusaha sekali anak-anaknya mendengarnya. Tetapi tidak bisa.

Karena nggak tahan. Akhirnya aku harus membantu agar mendiang segera bisa masuk peti.

Aku perlahan menghampiri cici anaknya dengan menepuk bahunya.

"Cici, Ada kebaya merah maroon?" Kutanya.

"Ada, di mobil tadi bawa krem, hijau sama merah maroon ..."

"Pakai yang merah aja, kata mami."

Deg. Seketika itu si cici kaget.

"Oiya? Oke aku ambilin di mobil ..."

Tak lama mobil hitam menepi ke parkiran depan rumah duka. Dibuka kap belakang dan disana terlihat tiga buah kebaya berpayet berwarna merah, hijau dan krem serta beberapa buah kardus sepatu.

"mami, mau pakai kebaya yang mana?" Tanya cici padaku.

"Coba keluarin yang merah marron itu deh, Ci."

Dan tak dinyana tiba-tiba ada mami di sebelahku.

"Iya yang merah maroon aja ..." katanya sambil menunjuk dengan tangan mungilnya.

"Yang maroon Ci. Tapi maaf sepertinya ini harus di bicarakan keluarga yang masih hidup dulu deh. Biar ada kesepakatan bahwa yang hidup harus berhak menentukan bukan atas keinginan mereka pribadi yang sudah meninggal,"aku menjelaskan.

Oke, mereka setuju dan memanggil semua keluarga ini bergabung dan mulai membicarakan 'keinginan' terakhir mami.

Saya tegaskan ke mami pun. Tidak bisa memaksakan apapun hasilnya.

"Mohon maaf jika saya dirasa mengganggu atau mencampuri urusan keluarga.Tetapi ini adalah keinginan beliau. Ingin di lakukan ya monggo enggak juga nggak papa. Saya juga tidak memaksakan pemahaman keluarga tentang kemampuan saya. Mau anggap saya skeptik atau bohong terserah.

Semoga dengan saya menyampaikan amanat ini, beliau bisa tersenyum di saat terakhirnya. Beliau mempunyai keinginan untuk memakai kebaya terusan warna merah maroon."

"Tapi kan di trandisi tionghoa tidak boleh memakai yang bernuasa merah ketika sedang berduka. Apalagi ke jenasah. Bad luck," kata suami cici.

"Kita sedang bawain kebaya krem, semoga mami mau pakai."

"Kebaya merah maroon ini banyak sejarahnya. Pernah mami pakai waktu pernikahan kalian dan acara-acara keluarga penting lainnya. Jika tidak keberatan mami tetap mau pakai yang ini. Lagipula payes-payes kembang dan daun didada ini yang mami suka."

"Oh begitu iya deh kita nurut. Lagipula ini bukan merah banget. Tapi sedikit tua. Iya kita nurutin mami. Untuk selop nya yang mana mami?" Kata cici.

"Ada kan pasangannya ini dibawain dalam satu tempat sepatu. Coba cek di mobil."

Seketika dibawakan sepatu merah dengan warna senada.

"Iya, itu "aku mengangguk.

Segera seluruh perlengkapan di bawa ke pemulasaran jenasah.

"Make Up nya sederhana aja ya Ci, pakai bedak putih dan lipgloss aja. Rambut ditata kebelakang." Aku memastikan lagi.

Cici mengangguk sembari tersenyum.

"Tahu nggak, salah satu faktor kenapa pengen baju kebaya itu selain merah warnanya merah maroon?"

"Kenapa Rin?"

"Itu kebaya merah maroon lontorsonya kaku banget kan jadi kalo di rebahan di peti mami merasa seolah-olah 'masih besar' dibagian dada." Aku setengah berbisik.

Hahaha. Kami berdua tertawa.

Ah, merasa senang membagikan senyum di tengah suasana duka.

Dari kejauhan kulihat senyum Mami mengembang. Ah senangnya aku kembali membantu mereka yang akan menyeberang. Semoga jalannya di permudah.

Aku hanya mendengarnya berucap.

"Doakan saya ya."

Dan kemudian berlalu pergi.

Untuk seorang sahabat, salam sayang dari Mami.

————————


next chapter
Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C5
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen