On Playlist Devano Danendra Ini Aku
.
.
.
.
Malam minggu adalah malam yang banyak ditunggu oleh kebanyakan orang termasuk seorang Langit. Biasanya ia tak akan se antusias ini, karena orang seperti Langit tidak suka membuang waktunya untuk keluar tak penting kecuali berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, itu prisnsipnya. Dahulu, kini ia menghapus prinsipnya itu hanya demi bertemu seorang Rinai Hujan.
Langit berjalan memasuki pekarangan rumah Rinai.
"Permisi." Langit mengetuk pintu rumah Rinai.
"Iya sebentar." Bibi membukakan pintu untuk Langit dan mempersilahkan Langit masuk.
"Sebentar ya Den, Non Rinai masih siap-siap." Langit mengangguk sopan.
"Mau dibikinin minum apa Den?"
"Nggak usah Bi." Bibi mengangguk mengerti. Beliau meminta izin kebelakang untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Netra Langit menatap ruangan yang dicat dengan warna kuning dengan tatapan memincing. Kala melihat foto Rinai juga keluarganya disana.
Pandangannya jatuh kefigura disamping foto Rinai. Wanita dengan senyum yang mirip sekali dengan Rinai, rambut panjang berwarna hitam juga kacamata yang bertengger menambah kemiripan wanita itu dengan Rinai. Seperti melihat Rinai versi dewasa.
"Maaf lama." Rinai tersenyum dihadapan Langit. Langit menatap Rinai yang turun dengan dress berwarna putih bergambar bunga-bunga kecil juga bandana senada.
"Nggak lama kok." Langit meyakinkan.
"Bi, Rinai berangkat dulu." Rinai menatap kearah dapur.
"Iya Non, hati-hati." Bibi sedikit berteriak dari arah dapur.
***
Malam yang indah dengan bintang-bintang yang bersinar, malam yang sempurna untuk Langit dan Rinai. Kedua muda-mudi itu berhenti didepan toko buku langganan Rinai, setelah memarkirkan motor sportnya, Langit dan Rinai masuk kedalam toko.
Langit setia mengikuti Rinai yang asik memilih buku-buku bacaan. Mereka berdua berpindah-pindah dari rak satu ke rak yang lain.
Rinai berhenti didepan rak non-fiksi, netra coklatnya menatap buku musik. Membuat ia tersenyum simpul dan mengambil buku itu.
"Lo berminat sama dunia musik?" Langit menatap buku yang dipegang oleh Rinai.
"Iya, aku udah mutusin untuk memperdalam dunia musik." Rinai tersenyum. Tentu saja, gerak-gerik Rinai tak luput dari pengawasan netra hitam legam segelap malam milik Langit. Setelah selesai keduanya berjalan kearah kasir.
"Semua jadi seratus lima puluh ribu kak." Rinai mengeluarkan dompet, belum ia mengeluarkan uang, tangan milik Langit sudah terlebih dahulu memberikan uang kearah kasir.
"Terima kasih. Ini kembaliannya ya kak." Rinai menatap Langit dan hanya dibalas senyuman oleh Langit.
"Kok jadi kamu yang bayarin?" Rinai menatap Langit bingung.
"Its okay." Langit tersenyum begitu tulus.
"Makasih ya."
"Sama-sama."
"Gue mau ajak lo, kesuatu tempat." Langit memberikan helm untuk Rinai, saat keduanya sudah sampai didepan motor sport Langit.
***
Taman adalah tujuan Langit, ia mengajak Rinai untuk menghabiskan malam ini. Keduanya sudah duduk diatas rumput taman, dengan Rinai yang memegang seporsi siomay kesukaanya.
"Lo suka banget sama siomay?" Langit menatap Rinai kala gadis itu asik memakan siomay dan bertanya, mencoba memecah keheningan yang tercipta diantara keduanya.
"Iya, ini enak banget." Rinai kembali memasukan siomay kedalam mulutnya.
"Kenapa lo gak marah, saat gue manggil tanpa embel-embel 'kak'?" Langit kembali bertanya.
"Aku nggak pernah maksa semua orang harus manggil aku 'kak' saat umur dia dibawah aku, yang penting dia sopan sama aku." Langit mengangguk setuju dengan jawaban Rinai.
"Liat deh bintangnya banyak banget, bagus." Langit menunjuk salah satu bintang. Pandangan Rinai mengikuti kemana tangan Langit menunjuk.
"Dulu, gue suka banget lihat bintang sama keluarga gue."
"Wahh asik ya."
"Bahkan saat bersama mereka gue lupa sama yang namanya beban."
"Lo tau kenapa nama gue Langit Aldebaran?" Rinai menggeleng pelan.
"Karena mereka suka Langit juga karena nama belakang keluarga gue adalah Aldebaran yang artinya bintang." Rinai menatap mata Langit, tersirat kepedihan didalam nya.
"Kamu tau gak sih Langit, kamu harus jadi seperti nama kamu bintang dan langit dua kesatuan yang memang harus bersisian. Tanpa langit bintang tak akan menemukan tempat ternyaman dan tanpa bintang langit akan kesepian," Rinai menjeda perkataannya.
"Itu tanda nya apapun masalah kamu sama keluarga kamu, kamu harus bisa memahami karena bagaimana pun kalian harus bisa bersisian bintang itu ibarat kamu dan langit adalah kedua orangtua kamu." Rinai tersenyum.
Langit menatap Rinai, baru kali ini ia menemukan gadis se baik Rinai. Selama ini semua gadis yang mendekatinya tidak tulus. Langit juga tak akan bisa se welcome ini dengan seseorang. Hanya satu orang yang entah mengapa. Kini, Rinai mampu mengantikan posisinya. sedikit demi sedikit. Dan, entah mengapa jika bersama Rinai, semua berbeda.
"Langit?" Rinai menepuk bahu Langit.
"Thanks." Langit tersenyum. Rinai mengangguk dan tersenyum.
"Lo baik banget." Langit menyentil dahi Rinai.
"Semua orang baik kok, cuman kita aja yang udah nething duluan." Rinai kembali mengunyah siomay nya.
"Anjir, kayanya lo tuh harus ganti nama jadi Rinai Teguh deh." Langit tertawa.
"Ihh kok kamu ganti-ganti nama orang, kamu kira bikin akte gampang apa." Rinai memanyunkan bibirnya.
"Jangan manyun-manyun gitu nanti khilaf gue cium kan berabe." Rinai melotot, mendengar perkataan Langit.
"Ih, pikirannya ya masih kelas 11 juga." Rinai memutar bola matanya malas.
"Dari pada lo, polos kaya kertas." Langit menimpali.
"Lah, mana ada orang polos serem kali kalau polos." Rinai tertawa pelan.
"Gue males banget kalau harus ketemu sama keluarga gue." Langit mengubah posisinya. Kini, Langit menatap bintang-bintang dengan posisi tiduran diatas rumput taman.
"Kenapa? Mereka kan keluarga kamu." Rinai menatap Langit bingung.
"Menurut gue yang pantes disebut keluarga itu saat ada kehangatan didalamnya gak saling memanfaatkan hanya demi citra didepan pandangan orang-orang, yang selalu punya waktu luang untuk ngumpul bareng entah sekedar sharing atau ketawa-ketawa. Kalau gue gak ngelakuin hal istimewa, Nyokap gue gak akan ngelihat kearah gue. Bokap juga sibuk karena kariernya sebagai seorang dokter."
Rinai ikut mengubah posisi nya kini ia ikut tiduran diatas rumput taman.
"Banyak hal yang emang harus kita syukuri. Keluarga, harta, orang-orang tersayang dan banyak lagi. Tuhan ciptain masalah bukan cuman karena menguji umat nya tapi Tuhan tau umat nya bisa melalui semua."
"Kenapa gue ngerasa berat buat nerima semua?"
"Ikhlas, itu kuncinya Langit."
"Sampai kapan, gue bisa ngerubah semua menjadi hal yang bisa buat gue juga bahagia?"
"Semua butuh proses, gak ada yang instan di dunia ini. Belajar dari batu yang lama kelamaan akan kekikis juga sama air. Mama dan Papa kamu pasti bangga punya anak seperti kamu."
"Lo yakin gue bisa?"
"I know you can!" Rinai tersenyum dan mengepalkan tangannya dan melambungkan keatas.
Tangan Langit terulur mengacak-acak rambut Rinai gemas. Ia tersenyum membuat Rinai ikut tersenyum.
Malam ini begitu banyak hal yang terjadi antara keduanya, cinta memang seunik itu tak memandang kasta, harta, bahkan umur sekalipun. Berpisah bukanlah hal yang harus difikirkan disaat semua bisa berjalan apa adanya. Tuhan yang punya kuasa atas takdir tiap umatnya.
"Mang jadi berapa?" Langit bertanya saat keduanya sudah sampai dihadapan penjual siomay, ia mengeluarkan selembar uang berwarna merah.
"Cuman 10 ribu dek, saya ndak ada kembalian." penjual siomay kembali memberikan uang milik Langit.
"Nggak papa Pak, kembaliannya Bapak ambil aja." Langit tersenyum.
Rinai tersenyum melihat Langit yang begitu baik.
Banyak orang melihat orang lain dari tatapan pertama bertemu, tanpa tau sifat asli yang dimiliki. Benar kata pepatah, don't judge a book by it's cover. Pandangan bisa menipu siapa saja kan?
"Mau langsung pulang?" kini kedua nya sudah berada diparkiran taman. Rinai mengangguk.
Setelah memakai helm masing-masing, Rinai naik keatas motor Langit. Motor sport hitam memecah ramai nya jalanan ibu kota dimalam hari.
"Gue balik ya." Langit menyentil dahi Rinai, saat keduanya sudah sampai didepan rumah Rinai.
"Ay ay captain. Hati-hati." Rinai tersenyum.
"Siap, Ibu Negara." Langit tertawa.
Motor Sport milik Langit berjalan melewati Rinai. Rinai menatap punggung Langit yang semakin hilang ditelan belokan.
Rinai memasuki rumah dengan senyum yang tak pernah luntur membuat Bibi ikut tersenyum melihat majikan nya bahagia.
Ada harap yang diam-diam terselip hingga akhirnya menjadi sebuah kenyataan. Tak ada yang tau kapan kebahagiaan itu terus hinggap. Hingga, suatu saat kenyataan itu sendiri yang akan meluluh lantakan imajinasi semata.
••••