Adakah yang lebih memilukan dari mimpi-mimpi di ambang nyata yang mendadak lumpuh dan menanti binasa? Adakah yang lebih mengerikan dari tiupan napas yang bahkan tak sanggup dikendalikan kita? Atau, debar jantung yang beringsut lirih lantaran disergap hampa? Kau melawat ketika aku masih air mata. Kau tawarkan selaksa riang dan tumpukan tawa. Kau juga gencar berkelakar, masih banyak wanita yang mampu menggantikannya, memberiku cinta. Maaf saja, untuk kini hatiku masih benar-benar kosong, semelompong sorot mataku ketika menengadah langit malam.
Kendati kau selalu penuh percaya berujar bahwa akan pasti ada figur yang menggantikannya, tetap saja kau senantiasa tak bisa menjawab manakala aku kembali bertanya, akankah mereka masih tetap mencinta selepas terkelupas longgokan kekuranganku. Kau hanya bisa menyumpal dua daging bibirku dengan sepotong jari lembut dan disambi goyangan pelan kanan-kiri kepala khasmu. Tanpa sepatah kata. Tanpa jawaban yang ku dambakan.