Teman-teman! Sini deh!" seru Fajrin melambaikan tangan padaku, Rudi, dan Tia.
Kami pun menghampiri Fajrin yang duduk di pojok kelas sambil memegang gitar kesayangannya. Aku merasa heran dengan sikap Fajrin yang tidak seperti biasanya. Tingkah konyol dan nakalnya tidak tampak hari ini. Ia terkesan menjadi lebih pendiam dan pemurung.
"Kesambet setan apaan lu? Tumben lu jadi pendiam gitu," goda Tia.
"Hus! Lu itu ngomong apaan sih? Orang lagi serius malah lu ajak bercanda," tegur Rudi.
"Please deh, Tia. Kalau mau ngomong itu lihat-lihat dulu dong situasinya kayak gimana," ujarku.
"Hehe… iya deh, iya. Maafin gua," ujar Tia.
Fajrin tertawa kecil. "Iya, iya. Enggak apa-apa kok, Tia. Gua maafin."
"Eh, omong-omong, mau ngapain lu panggil kita kemari?" tanya Rudi.
"Teman-teman, gua pengen nyanyi bareng kalian. Gua yang petik gitarnya," ujar Fajrin.
"Boleh juga," ujar Tia.