Wardana's House
Gwen baru saja memasuki rumah saat Rangga menariknya dengan kasar menuju tangga.
"Mas."
Rangga mengabaikan, terus menarik Gwen meski wanita itu tersandung beberapa kali di rangkaian anak tangga.
"Mas, ada apa?"
Gwen di seret dengan kasar, tidak peduli meski lutut wanita itu terbentur dan berdarah. Rangga juga seakan tuli pada teriakan Gwen yang bertanya padanya.
Gwen di dorong masuk ke dalam kamar. Terjatuh di lantai menatap Rangga yang balas memandangnya dingin. Gwen berdiri takut dan berjalan mundur saat Rangga mendekat sambil melepaskan ikat pinggangnya. Wanita itu tersentak saat kakinya menabrak tepian tempat tidur dan jatuh terduduk.
Rangga berdiri di depannya, menariknya berdiri secara kasar dan mencengkeram leher Gwen. Gwen merontak memberikan perlawanan.
"Berhenti melawan." ujar Rangga dingin. Gwen terisak dalam diam dan menatap Rangga takut. Mulutnya terkatup rapat dan tubuhnya gemetar.
"Patuhi perintahku." Rangga tiba-tiba mengacungkan belati di depan wajah Gwen yang seketika terkesiap, mengatupkan mulutnya rapat-rapat untuk menahan teriakan. "Patuhi aku dan aku akan melepaskanmu setelah ini." ujarnya sungguh-sungguh.
Gwen mengangguk dengan airmata bercucuran. Sedikitpun tidak mengeluarkan suara. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Bagus." Rangga mengangguk puas. Mundur beberapa langkah. "Sekarang lepaskan semua pakaianmu."
***
Gwen POV
Aku tidak tahu berapa lama aku berbaring miring disana. Hingga aku merasakan napas Rangga sudah menjadi teratur. Perlahan aku bangkit dengan hati-hati, lalu berdiri dan memungut pakaian, memakai baju dan rok tergesa, Aku melangkah keluar dari kamar dengan langkah yang tertatih. Aku berpegangan untuk menuruni anak tangga.
Saat mencapai lantai satu, mataku bertatapan dengan mata Bi Yuni yang basah. Aku hanya memalingkan wajah dan memasuki kamar dengan langkah pelan.
Aku mengunci pintu rapat-rapat. Lalu melangkah ke dalam kamar mandi dan duduk di bawah shower yang membasahi diriku.
Saat itulah isak tangisku pecah. Aku terisak dengan begitu menyedihkan sambil memeluk diriku sendiri. Rasanya sudah tidak ada harganya. Rasanya sudah tidak mampu bertahan.
Aku melirik laci kamar mandi, lalu membukanya. Sebuah gunting disana membuatku gelap mata. Aku mengenggam gunting itu, lalu dengan perlahan, aku goreskan bagian tajamnya di pergelangan tangan berulang kali hingga cairan merah perlahan mengalir.
Aku memejamkan mata, merasakan darah itu terus menetes keluar. Air yang perlahan berubah menjadi merah. Aku hanya menatap genangan air itu dengan tatapan kosong.
Bolehkan aku meminta Tuhan mencabut nyawaku saat ini juga?
To Be Continued