App herunterladen
1.31% PITA / Chapter 1: BAB 1 KANTOR POLISI
PITA PITA original

PITA

Autor: Lola_Silaban

© WebNovel

Kapitel 1: BAB 1 KANTOR POLISI

Aku menatap gedung yang ada di depan mataku. Apa tujuanku sudah benar? Berdiri disini. Melihat mereka lalu lalang lewat dihadapanku. Membawa orang dengan tangannya diborgol. Aku dapat mendengar suara berontak mereka.

"Aku tidak bersalah," teriak salah satu orang dengan kaki terluka. Aku menduga dia ditembak karna berusaha kabur. Ada juga diam dan pasrah dibawa masuk ke dalam. Ada juga seorang ibu menampar dengan keras wajah pemuda yang dikawal oleh beberapa penjaga berseragam polisi. Masih dapat kudengar suara marah ibu itu dan aku tahu kenapa dia menampar pemuda itu. Pemuda yang dikawal polisi telah membunuh anaknya. Ibu itu menangis histeris dan air mataku jatuh begitu saja. Bukan karna ibu itu, melainkan aku menangis karna aku mengalami nasib sama dengan ibu itu. Menderita, hancur, dan kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup ini. Bedanya, aku belum menikah dan punya anak.

Kuyakinkan lagi diriku untuk melangkah masuk ke dalam kantor polisi. Aku masuk ke dalam ruangan. Mataku menatap sekeliling. Melihat petugas polisi sibuk menginterogasi para pelaku. Melihat cara mereka, aku ragu. Dapatkah mereka membantuku? Aku tetap diam di tempatku. Berdiri dan terus melihat mereka satu per satu. Anehnya, mereka tidak merasa aneh melihat diriku berdiri dalam ruangan ini. Aku berpikir, mereka tidak dapat membantuku. Mereka sibuk. Bahkan, tidak menyadari diriku hadir di antara mereka. Kuputuskan untuk pulang. Akan tetapi, langkahku terhenti saat seorang petugas polisi bertubuh tegap menghampiriku. Lebih tepatnya menghalangi jalanku. Dia menatapku dengan sorotan mata penuh bertanya. Kenapa aku di sini dan hanya diam berdiri melihat mereka bekerja, tebakku.

Aku menunduk kepadanya dan berjalan dari arah sampingnya. Saat itu, saat langkahku hampir sampai ke pintu, dia bertanya "Ada yang bisa saya bantu?" Lantas, aku menghentikan langkahku dan berbalik menatap ke arah dia. Menatapnya, benarkah dia mau membantuku.

"Aku-" aku berhenti berkata ketika salah satu petugas datang menghampiri dia. Memberi hormat dan sebuah map berisi laporan kasus pembunuhan yang harus dia tangani. Kulirik penampilannya, kuperhatikan dia tidak memakai seragam dan kenapa aku bisa menebak dia seorang polisi. Kulihat dari logo polisi yang bertengger diikat pinggangnya. Dia memiliki jabatan tinggi setelah aku dengar namanya disebut Tito Gunawan dengan jabatan Ajun Inspektur Polisi Satu. Setelah membaca laporan tersebut, dia menyuruh bawahannya pergi dengan melambaikan tangannya tanpa menoleh sedikit pun. Kulihat dia amat fokus membaca laporan tersebut. Jadi, aku berpikir dia tidak mungkin mengingat aku. Kuputuskan untuk balik, tapi aku mendengar dia memanggilku.

"Hei, nona. Kenapa kau ingin pergi?" aku hanya menatapnya diam. "Aku belum mendengar penjelasanmu," dia melirik laporan yang ada ditangannya. "Mungkin gara-gara ini, saya teralihkan!" dia tersenyum dan membawaku ke ruangannya. Aku mengangguk dan mengikutinya. Ruangannya bagus dan rapi. Tidak jauh dari tempatku bertemu dengan dia tadi. Di sini aku dapat melihat semua bawahannya bekerja. Dia mempersilahkan aku duduk. Begitu juga dia, duduk di depanku. Meja kerjanya sebagai penghalang kami berdua. Dia bersandar sembari memainkan tangannya dan menatap aku kembali. Kini tatapan matanya tidak tajam seperti tadi. Rasa ragu dan takutku tiba-tiba hilang dan aku tidak tahu kenapa? Entah, kenapa aku bisa yakin? Apa karna aku tidak sengaja mendengar beberapa kasus yang dapat dia pecahkan dan kebetulan juga aku menonton dan membaca berita yang dia tangani?

"Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?" tanyanya lembut.

"Aku-" aku sedikit ragu untuk mengatakannya. Apa dia akan percaya kepadaku? Kutatap wajahnya, dia masih sabar menunggu aku bicara. Aku menunduk, meremas ujung bajuku. Apakah aku sanggup menceritakan semuanya padanya dan percaya kepadanya?

"Ceritalah! Saya mungkin bisa membantu!" ucapnya seolah dia dapat membaca pikirannku. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. "Aku telah diperkosa." Akhirnya kalimat itu keluar. Kulihat sekilas ada raut wajah terkejut pada dirinya dan dengan cepat dia menetralkan dirinya.

"Bisakah kau ceritakan bagaimana itu terjadi?" mendengar itu aku semakin meremas ujung bajuku. Mampukah aku menceritakan kejadian itu? Itu berarti aku harus mengingat kembali. Bagaimana dia memperkosaku? Kutatap wajahnya lagi. Diam dan masih menunggu diriku untuk bercerita.

"Setelah aku cerita, apakah Anda bisa menangkap pelakunya?" tanyaku penuh harap.

"Saya tidak bisa menjamin. Akan tetapi, kami pihak kepolisian akan berusaha menangkap pelakunya!" jelasnya tegas. Membuat aku yakin dengan dia. Aku percaya dan mulai cerita.

***

Waktu itu, aku terbangun dari tidurku. Terbangun dari mimpi burukku. Aku menatap sekeliling kamarku. Kutatap masih sama seperti semula. Bersih, tertata rapi. Lalu, aku beralih ke kasurku. Aku menyibak selimut yang menutup tubuhku. Kulihat spreiku bersih dan tidak ada noda darah seperti mimpiku. Aku meraba diriku dan kulihat pakaianku masih sama. Aku mencoba bangkit dari kasurku. Aku merasakan sakit di bagian kewanitaanku. Sakitnya amat perih. Hingga aku berjalan menuju cermin dengan tertatih. Menahan rasa sakit yang amat luar biasa. Sampai di depan cermin, kulihat wajahku. Mataku bengkak, habis menangis. Lalu, tatapanku tertujuh pada leherku. Ada bercak merah yang banyak di leherku. Melihat itu, aku segera membuka bajuku. Tubuhku dari leher hingga perut. Penuh dengan bercak merah. Melihat itu semua, aku yakin aku tidak bermimpi. Ini nyata, aku telah diperkosa.

***

"Apa yang membuatmu yakin telah diperkosa?" tanyanya membuat aku tersinggung. Pertanyaan apaan itu. Seharusnya, dia percaya dan mendengar ceritaku hingga selesai. Aku menatapnya kesal. Aku mengambil sesuatu dari tas dan memberikannya sebuah amplop putih padanya. Dia menerimanya ragu dan menatapku.

"Itu adalah hasil pemeriksaan dari dokter sebelum aku ke sini. Aku juga sama dengan Anda. Tidak percaya. Namun, rasa sakit dan tanda pada tubuhku membuat aku yakin. Aku telah diperkosa. Untuk membuktikan itu, aku pergi ke rumah sakit," jelasku. Kulihat dia membaca surat itu dengan teliti. Lalu, dia memanggil bawahannya. Menyuruhnya memeriksa, apakah surat yang aku berikan kepadanya adalah asli atau palsu. Aku tidak berontak. Biarkan dia melakukan sesuai pekerjaannya. Walaupun, aku merasa kecewa dengan sikapnya. Aku menjadi ragu untuk percaya sepenuhnya pada dirinya.

"Lalu, apa yang membuatmu yakin itu bukan mimpi, tapi nyata?" sungguh aku tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan kepadaku. Jelas-jelas aku baru memberikan bukti dari dokter. Apa dia berpikir aku berbohong?

"Karna aku mengingat jelas bagaimana dia mendekapku, mengancamku, menarikku hingga aku diperkosa!" ucapku dengan emosional. Aku tidak kuat lagi untuk tidak menangis dihadapannya. Dia memberikan tisu kepadaku. Aku menerimanya dan menghapus air mataku.

"Lalu, apa kau ingat wajahnya?" tanyanya sambil memberi aku segelas air putih. Aku menerimanya, menatap gelas itu dengan tatapan kosong.

"Tidak. Dia pakai topeng. Jadi, yang terlihat dari wajahnya adalah setengah dari wajahnya."

"Pelaku akan segera tertangkap jika seandainya kamu melihat wajahnya?" mendengar dia berkata seperti itu aku marah dan menatapnya kecewa.

"Bukankah itu tugas kalian sebagai polisi? Mencari pelaku dan menangkapnya!" aku marah. Dia terdiam. "Aku tidak mengarang cerita. Apakah ada untungnya bagiku? Tidak. Aku malah malu. Membongkar aibku pada orang lain. Kalian sebagai polisi yang bisa diandalkan masyarakat malah membuat aku kecewa. Terutama, saat Anda mengatakan 'ceritalah! Saya mungkin bisa membantu'. Nyatanya, Anda telah membuat aku kecewa. Anda ragu dengan penjelasanku!"

Dia tertunduk dan merasa bersalah. Tapi, aku tidak yakin ada rasa penyesalan dalam dirinya. Terdengar pintu terketuk. Aku menoleh ke suara ketukan pintu. Bawahan yang dia suruh tadi untuk memeriksa, apakah surat aku asli atau tidak. Bawahannya memberikan surat itu dan mengatakan bahwa itu asli. Mendengar itu, dia menatap aku kembali. Kali ini, aku lihat rasa bersalah mendalam pada matanya.

"Saya minta maaf atas sikap saya. Saya berjanji akan menuntaskan masalahmu," katanya penuh penyelasan.

"Sekarang, kau lanjutkan ceritamu. Supaya saya dan tim dapat menemukan pelaku," lanjutnya kembali. Aku mengambil sikap untuk bercerita kembali.


next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C1
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen