Daratan Langit, tempat dimana hukum rimba berlaku di setiap sisi. Tempat dimana yang kuat berkuasa atas yang lemah. Di seluruh penjuru, tak terhitung berapa banyak kultivator bertebaran. Namun di antara banyaknya orang yang mengejar atau mengabdikan diri, hanya orang yang ditakdirkan akan berdiri di puncak dan memandang ke bawah. Legenda mengatakan, ada makhluk kuat yang berdiri di atas dunia ini. Bahkan para dewa tidak sanggup menghadapinya. Kekuatannya telah mengguncang langit, membuat resah para dewa. Sosok ini disebut Asura, sang pembantai. Dimanapun dia berada, bau darah dan aura kematian akan membumbung ke langit. Legenda menyebutkan bahwa demi membunuh Asura dan menjaga dunia ini, sembilan dewa terkuat dalam legenda bersatu. Sejak saat itu, sembilan dewa menghilang bersama dengan Asura. Konon katanya, Asura berhasil membunuh para dewa tersebut dan menyerap segala esensi yang ada. Keserakahan membutakan matanya. Setelah menyerap sembilan esensi dewa tanpa menyisakan setetespun, tubuh Asura yang terluka akibat pertarungan menerima terlalu banyak energi hingga tubuhnya meledak.
"Asura benar-benar hebat. Aku ingin menjadi Asura!" anak laki-laki berumur 5 tahun berseru dengan semangat. Kepalan tangan mungilnya meninju udara. Matanya berbinar seolah beribu bintang berkelip di langit malam. Bocah itu baru selesai membaca sebuah gulungan dari kulit binatang.
"Menjadi Asura? Mengapa tidak menjadi dewa?" tanya lelaki tua berjanggut putih yang berjalan masuk. Tubuhnya sedikit bungkuk, dia memegang tongkat yang terbuat dari kayu berbentuk aneh untuk menopang tubuhnya.
"Kakek buyut!" anak kecil itu berlari kecil mendekati pria tua itu. Keceriaan memancar dari senyuman anak itu. "Tidak, Dewa memang kuat tetapi Asura lebih luar biasa." Mendengar jawaban cucu kecilnya itu, pria tua itu menampilkan senyuman aneh. Seperti ada yang janggal dari senyum itu.
"Yama, umurmu baru menginjak 5 tahun. Masih terlalu dini untukmu memilih jalanmu. Setelah upacara membangkitan roh beladiri, kita akan membahas hal ini." suara pria tua yang dipanggil kakek buyut itu terdengar serak. Anak yang bernama Yama itu mengangguk patuh.
Yama, anak kecil berumur 5 tahun. Walau masih sangat muda, anak ini memiliki pembawaan serta aura yang tidak biasa. Bisa dikatakan bahwa anak ini diberkahi oleh langit. Dia memiliki bakat yang luar biasa. Sebenarnya Yama ditemukan oleh lelaki tua itu 5 tahun yang lalu, anak malang itu mengapung dengan suara tangis nyaring di atas bunga teratai berwarna hitam. Teratai itu bukan teratai biasa melainkan senjata roh tipe pertahanan. Hingga saat ini, teratai itu menjadi tempat tidur Yama.
Di daratan Langit, anak-anak berusia di atas 5 tahun akan membangkitkan roh beladirinya. Roh beladiri akan menentukan sejauh mana anak itu akan melangkah di masa depan. Semakin tinggi tingkatannya maka semakin luar biasa bakatnya. Biasanya saat upacara pembangkitan roh akan dilakukan secara besar-besaran. Pada saat itu, banyak orang penting yang akan hadir untuk menyaksikan bakat luar biasa lahir. Namun Yama berbeda, kakek buyutnya akan melakukan upacara pembangkitan sendiri. Sejauh yang Yama tahu, kakek buyutnya adalah orang yang luar biasa. Kekuatannya tidak dapat diukur dengan tingkatan beladiri. Setelah membaca begitu banyak buku mengeni seni beladiri, Yama memutuskan sendiri bahwa kakek buyutnya adalah orang yang sudah mencapai Tanah Dewa.
Tanah Dewa adalah tempat luar biasa didunia ini. Disana para ahli hebat berkeliaran seperti orang biasa. Tempat itu merupakan tujuan para kultivator dari berbagai penjuru dunia. Namun tempat itu bukanlah tempat yang mudah dikunjungi. Tidak ada yang tahu pasti kapan gerbang menuju Tanah Dewa akan dibuka. Tetapi saat gerbang itu menunjukkan tanda-tanda akan terbuka, berbagai sekte ataupun dinasti kerajaan akan memperebutkan hak masuk karena jumlah kultivator yang dapat masuk dibatasi hingga jumlah tertentu. Tanah Dewa dapat dikatakan surga bagi para kultivator. Energi spiritual di sana ratusan kali lipat lebih tebal dari tempat biasa. Biasanya setelah keluar dari Tanah Dewa, kekuatan seseorang akan berlipat ganda. Hal itulah yang menarik minat orang banyak.
"Kakek buyut, apa aku boleh pergi kedunia luar setelah membangkitkan roh beladiriku?" tanya Yama dengan penasaran. Wajahnya menunjukkan keseriusannya. Lelaki tua itu mengangguk tanpa suara, namun wajahnya dipenuhi senyum. Wajah anak itu berseri secara berlebihan, sedikit memerah karena semangat. Dia sudah tinggal di tempat ini sejak kecil. Bagaimana dunia luar itu? Dia hanya mengetahuinya dari ribuan buku yang dia baca sejak pertama kali belajar membaca. Membaca adalah hobinya.
"Tetapi aku tidak akan menemanimu. Bagaimana nantinya, itu terserah padamu. Yang bisa aku katakan saat ini bahwa dunia ini kejam. Hukum rimba berlaku, memakan atau dimakan, membunuh atau dibunuh. Kau masih kecil, terlalu polos dan mudah ditipu. Ingat, jangan mempercayai orang lain. Percayalah hanya pada dirimu sendiri." kata pria itu sambil mengelus rambut Yama yang terasa lebih lembut dari sutra.
"Lalu, apakah Yama juga tidak boleh percaya pada kakek buyut?" Matanya berkedip penasaran, terlihat seperti mata kucing yang menemukan hal menarik.
"Kau bisa percaya atau tidak. Tapi yakinlah, diluar sana tidak ada orang yang lebih tulus dari pada kakek buyutmu ini. Hahahaha." suara tawa yang terdengar serak terdengar. Wajah keriput itu memancarkan aura yang unik namun agak lemah.
Seminggu kemudian, Yama berlarian di lantai kayu. Kaki kecilnya menapak dengan penuh semangat. Baju sutra halus berwarna ungu membungkus tubuh mungilnya. Hari ini dia akan membangkitkan roh beladirinya. Di sebuah altar dengan lantai marmer, terdapat formasi sihir yang memancarkan aura yang sangat kuno. Lelaki tua yang bungkuk tengah duduk sambil melantunkan mantra. Tubuhnya terlihat sangat rapuh dan aura kehidupannya tampak redup seakan bisa padam kapan saja. Wajahnya pucat namun kegembiraan memancar di matanya.
Saat melihat Yama berlari mendekatinya, senyum yang terlihat janggal itu terukir di wajahnya. Yama kecil mendekat lalu melihat kakek buyutnya mengintruksikan padanya untuk masuk ketengah lingkaran sihir. Yama masuk dengan patuh. Lantunan mantra terdengar pelan dan serak namun masih terdengar jelas di telinga Yama. Beberapa saat kemudian mantra selesai dibaca.
"Cobalah untuk merasakan energi disekelilingmu."
Yama menutup matanya. Dia duduk bersilah dengan tenang. Energi samar mulai dapat dirasakannya, namun anak itu belum berhasil mengeluarkan roh kehidupnnya. Dia sudah melakukan ini sejak 2 tahun yang lalu. Namun hari ini berbeda, ada mantra sihir yang mengelilinginya. Dia dapat merasakan energi tak terbatas mulai memasuki tubuhnya. Formasi sihir memancarkan cahaya keemasan. Aura Yama memancar keluar, aura itu berat dan dipenuhi dengan keganasan seolah bisa membunuh siapapun hanya dengan aura tersebut. Auranya berwarna ungu gelap, tampak mengintimidasi.
Dibelakang tubuh anak itu muncul bayangan samar yang semakin lama semakin tampak. Energi di tempat itu seperti akan tersedot habis kapan saja. Seekor ular berkepala sembilan membuka mulutnya dengan ganas menyedot energi spiritual. Mata mereka terlihat tajam. Kakek buyut yang melihat ular tersebut terlihat sangat gembira. Wajahnya yang pucat penuh dengan kebahagiaan. Itu adalah roh beladiri Yama. Anak.kecil itu membuka mata perlahan, dia melihat ular berkepala sembilan mengambang di belakangnya. Matanya berbinar dengan kilau indah.
Roh beladiri dibagi beberapa tingkat dari satu sampai sepuluh. Masih ada tingkat di atas itu namun jarang ditemukan. Ada juga tingkat legenda dimana roh beladiri memiliki kekuatan tak terukur, namun itu hanya ada dalam legenda. Lelaki tua itu sudah membaca banyak buku tentang roh beladiri namun tidak ada penjelasan tentang roh ini. Walaupun begitu, mengingat aura yang dipancarkan sangat kuat saat pertama kali muncul dapat dikatakan bahwa roh ini jauh dari kata biasa. Oleh karena itu matanya berbinar.
"Kakek buyut, roh beladiriku ini terlihat aneh. Apa mereka benar-benar ular?" Yama sangat gembira hingga dia menatap setiap inci roh miliknya itu dan dia menemukan keanehan. Walaupun terlihat seperti ular, namun entah mengapa dia merasa bahwa ini bukanlah ular.
"Apapun itu, ini sangat luar biasa. Aku belum pernah melihat roh semacam ini sebelumnya."
"Kakek buyut tidak tahu? Lalu metode kultivasi apa yang harus ku pilih?"
"Metode kultivasi harus sesuai dengan roh beladiri. Oleh karena itu biasanya setiap roh beladiri akan membawa metode kultivasi khusus. Biasanya akan muncul bersamaan dengan roh itu sendiri. Tapi mengingat kondisimu yang unik, mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama. Tetaplah disini dan terhubung dengan rohmu. Jangan berhenti sampai metode kultivasimu didapatkan." Kakek buyut lalu berjalan pelan meninggalkan Yama yang masih berdiri di dalam lingkaran formasi. Setelah lelaki tua bertubuh bungkuk itu menghilang dari pandangannya, dia menoleh kebelakang lagi. Ular berkepala sembilan itu berputar-putar hingga membentuk tubuhnya seperti gulungan dengan sisi tengah yang kosong. Yama melompat dan duduk dibagian kosong tersebut, terasa nyaman seolah ular ini sengaja menyediakan tempat khusus untuknya menyerap energi spiritual.
Waktu berlalu, tidak tahu berapa banyak energi yang sudah diserapnya. Untungnya tempat tinggalnya berada di lembah terpencil yang dikelilingi pegunungan, banyaknya energi roh di tempat ini membuat berbagai tanaman serta binatang roh yang langkah ada di mana-mana. Namun saat ini energi spiritual di tempat itu perlahan menipis. Tiba-tiba bumi sedikit bergetar, suara guntur bersahutan serta petir sebesar lengan menyambar turun. Sembilan kepala ular meraung ke arah langit seolah sedang menentang langit itu sendiri.
Yama merasakan darah ditubuhnya bergejolak. Tubuhnya terasa seperti dibawa paksa menembus dimensi lalu tersentak pelan. Dia membuka mata perlahan. Tempatnya berada saat ini terasa asing, kesuraman serta kesedihan menyerang batinnya. Dia merasa kesepian menghantam jiwanya. Entah mengapa, dia merasa seolah-olah ada banyak hal merasuki dirinya. Cahaya ungu samar membentuk bayangan tubuh dan berdiri di depannya. Bayangan itu mengitari tubuhnya beberapa kali sebelum terbang menusuk bagian antara alisnya. Pikirannya terguncang, berbagai hal memaksa masuk ke dalam otaknya dan mengacaukan susunan ingatannya. Setelah beberapa saat, semuanya perlahan kembali seperti semua. Dia mendapatkan ingatan baru. Menyusuri pikirannya, matanya tiba-tiba berkedip bingung.
"I-ini...." dia terbata karena kaget.
"Anak muda, kau akan menerima warisanku. Warisan Asura!" suara berat bergema di tempat itu sesaat sebelum tempat suram itu menyusut dan berubah menjadi aura ungu gelap dan menyerang titik di antara alisnya. Tubuh Yama yang masih kecil terasa akan hancur kapan saja karena energi yang meledak-ledak menghantamnya. Di dunia nyata, Yama mengeluarkan keringat dingin. Matanya masih tertutup erat. Titik antara alisnya mengeluarkan darah segar dan ada ukiran mahkota ungu terbentuk samar. Ukiran itu hampir tidak terlihat bila tidak diamati dengan benar. Mata anak itu terbuka perlahan. Kepalanya terasa sakit, roh ular yang mengelilinginya perlahan menghilang dan sebuah teratai hitam tiba-tiba muncul beberapa detik sebelum Yama jatuh pingsan.
Matahari bersinar terik. Tubuh mungil yang dibalut baju sutra biru langit meringkuk dibawah selimut kelopak bunga teratai hitam. Aroma teh herbal menyebar dan memasuki indra penciumannya, dia merasa terusik dengan aroma tersebut. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang memasuki matanya. Tubuhnya terasa segar. Dia mengamati pakaiannya yang telah diganti. Sesaat dia masih duduk bingung di atas teratai yang menjadi tempat tidurnya itu. Ingatan apa yang terjadi sebelumnya kembali berputar di kepalanya.
"Aku benar-benar mendapatkannya!"seru anak itu tiba-tiba. Suara kekanakannya terdengar nyaring. Di dekat jendela, lelaki tua bungkuk tengah menghirup teh herbal sambil melihat keluar. Dia tidak merasa terganggu sama sekali.
"Jadi, jalan apa yang akan kau pilih?" suara serak bertanya dengan nada rendah.
"Kakek buyut!" panggilnya setelah melihat pria tua itu. "Aku-"
"Jangan katakan jalanmu pada siapapun, cukup dirimu yang tahu. Berlatihlah dengan giat setelah ini. Kau bebas menentukan pilihanmu mulai sekarang." Kakek buyut itu melirik sebentar sebelum bangkit dari duduknya. Tubuhnya sedikit bergetar seakan bisa jatuh kapan saja. Tongkat kayu menopang tubuhnya saat dia berjalan keluar. Yama adalah anak yang pandai, dia tentu saja memahami perkataan kakek buyutnya. Menghela napas pelan, dia turun dari teratai. Saat dia turun, teratai hitam itu menghilang begitu saja. Dia berjalan menuju air terjun yang ada di belakang rumah. Sebelum pamit meninggalkan lembah, dia ingin membersihkan diri terlebih dahulu.
Air terjun mengalir deras dan jatuh menghantam tubuh mungil yang berdiri di bawah air. Tubuh telanjangnya putih tanpa noda sedikitpun. Yama berdiri menikmati air menghantamnya. Punggungnya sedikit memerah dan jemarinya mulai kecut. Dia terlalu lama berdiri disana. Untuk anak berumur 5 tahun, hal ini bukanlah sesuatu yang wajar. Namun Yama bukanlah anak biasa, dia memiliki fisik yang kuat ditambah dengan kebangkitan roh beladirinya, tubuhnya semakin luar biasa. Dia melihat batu besar di pinggir air sejenak lalu memutuskan untuk duduk disana. Dia duduk bersila dan mulai mengeluarkan roh beladirinya. Roh ular itu langsung keluar mengelilinginya, membentuk lingkaran seolah melilitnya di tengah. Kesembilan kepala ular itu seperti memayungi dirinya. Energi yang terasa hangat mengalir dan saat dia membuka mata, dia sudah berada di dimensi yang berbeda. Tempat yang penuh kesuraman dan membawa rasa sepi seperti kemarin lagi tampak di depannya. Dia melihat bayangan ungu yang samar mulai melakukan gerakan seolah mengajarinya teknik kuktivasi. Yama segera memperhatikan bayangan itu dengan seksama sebelum menirunya.
Setelah menerima Warisan Asura kemarin, Yama sekarang mengetahui banyak hal. Tempat ini adalah dimensi di dalam warisan itu sendiri dan bayangan itu tercipta dari rangkaian tulisan yang ada di dalam kitab Asura. Kitab itu ada di pojok dimensi, melayang lembut dengan cahaya emas yang diliputi aura hitam. Dia belum dapat menjangkaunya karena faktor kultivasi. Dia belum cukup kuat untuk membuka segelnya.
Tak terasa hari sudah siang, terik matahari memancar menciptakan efek pelangi saat terkena percikan air terjun. Yama membuka matanya lalu sedikit meregangkan tubuhnya. Sudah ada sedikit kemajuan namun dia masih berada di tahap dasar. Ilmu beladiri di dunia ini dibagi menjadi 7 tahapan, yaitu penempaan tubuh, pembentukan energi, penguatan roh, transformasi roh, raja beladiri, jejak dewa dan yang terakhir adalah wujud dewa. Untuk dua tahap terakhir sangat jarang di temui. Kabarnya kekuatan di tingkat itu hanya ada di Tanah Dewa yang misterius. Adapun Asura dan 9 Dewa yang menghilang memiliki kekuatan absolut di atas segalanya. Konon menurut legenda, singgasana langit diduduki oleh Sang Pembantai. Namun itu hanyalah rumor yang beredar. Tidak dapat dipastikan apakah singgasana itu benar-benar ada. Setiap tingkatan akan dibagi lagi menjadi 9 tingkatan dan setiap tingkat dibagi menjadi rendah, menengah, atas dan puncak. Kekuatan Yama saat ini berada di tahap penempaan tubuh tingkat 9 awal.
"Bukankah ini terlalu lambat? Aku setidaknya harus berada di tahap pembentukan energi saat meninggalkan lembah." gerutunya, bibir mungilnya sedikit dimonyongkan dan wajahnya cemberut kesal.
Mungkin akan luar biasa bagi orang diluar sana saat memiliki tahap penempaan tubuh tingkat 9 bahkan kecepatan kultivasi Yama akan di anggap tingkat atas. Namun bagi Yama sendiri ini tidak berarti apapun. Adapun kecepatan kultivasinya masih dianggapnya terlalu lambat. Dia ingin lebih cepat dan lebih kuat. Orang lain mungkin akan muntah darah bila tahu hal ini. Bahkan kakek buyut yang mengasuhnya dapat dipastikan syok mengetahuinya. Anak ini abnormal, baru kemarin dia membangkitkan roh beladirinya dan sekarang sudah berada di tahap 9 penempaan tubuh namun tidak puas dengan kecepatannya.
Menghentakkan kaki kecilnya dengan ringan, Yama melompat ke dalam air. Dia mengalirkan energi ke dalam kepalan tangannya dan meninju permukaan air. Saat tinju itu menghantam permukaan air, air langsung menyembur ke atas sedangkan tubuh telanjang Yama terus masuk ke dalam air sambil mengalirkan energinya. Setelah beberapa saat, Yama kembali ke permukaan dan berenang ke tepi. Dia mengambil pakaian sutranya di ranting pohon lalu memakainya. Air masih menetes di rambutnya yang basah, namun anak itu tampak tidak peduli. Dia kembali ke rumahnya dan menemui kakek buyut yang saat itu sedang memainkan guqin.
Alunan musik lembut yang berasal dari petikan senar guqin seperti membawa ketenangan dan kedamaian tersendiri. Kakek buyut memainkannya sambil menutup mata, menikmati setiap petikan jarinya. Yama duduk sambil memperhatikan hari keriput yang memetik senar. Dia menunggu sampai lagu selesai dimainkan. Beberapa saat kemudian, bunyi guqin berhenti. Kakek buyut membuka mata dan melihat Yama duduk di sebelahnya.
"Tahap penempaan tubuh tingkat 9?" gumam Kakek Buyut dengan pelan, dia tersentak kaget saat merasakan aura energi yang dipancarkan Yama. Dia menatap Yama dengan takjub. "Kau maju begitu cepat. Hal ini mengakibatkan aura energimu sedikit memancar tak terkendali."
"Benarkah?"
"Aku sarankan jangan naik ke tahap berikutnya sebelum kau bisa menyembunyikan aura energi petarungmu. Entah apa yang akan terjadi bila orang lain tahu akan hal ini. Hanya ada 2 kemungkinan, kau akan diburu oleh berbagai sekte untuk dijadikan murid atau kau akan dibunuh oleh mereka saat kau menolak."
"Bukankah aku akan terlindungi bila masuk ke dalam sekte besar?" tanya Yama dengan heran.
"Tidak semua yang terlihat itu nyata. Terkadang mempunyai kekuatan besar akan menimbulkan bencana. Saat memasuki sekte, jangan tunjukkan dirimu yang sesungguhnya. Roh beladirimu ataupun teknik kuktivasi bawaan rohmu, sembunyikan itu sedalam mungkin. Jangan menunjukkannya bila kau tidak dalam keadaan yang membahayakan nyawamu." Pria tua itu menepuk pelan bahu Yama, dia menasihatinya dengan lembut. Sedikit kekhawatiran terpancar di matanya.
"Kalau begitu, bagaimana bila sekte mengharuskanku untuk memanggil roh beladiri?" Mata Yama berkedip beberapa kali, tatapannya seperti kucing penasaran saat ini.
"Gunakan teratai hitam. Benda itu adalah senjata roh pada awalnya saat aku menemukanmu. Tapi semakin hari energi roh yang ada mulai meningkat perlahan dan kemungkinan akan berubah menjadi senjata dao dimasa depan."
Mata Yama berbinar terang, dia pernah membaca buku tentang senjata dao. Senjata itu sangat kuat dan langkah. Kemunculannya akan menimbulkan pertumpahan darah. Orang akan memperebutkannya dengan cara apapun. Tetapi teratai hitam milik Yama sedikit berbeda. Seolah benda itu terikat pada Yama sebagai pemilik tetap, bahkan kakek buyut tidak bisa menyentuhnya. Saat dia menemukan bayi Yama di atas teratai dan hendak mengambil bayi itu, teratai itu melayang ke arahnya kemudian menghilang sebelum Kakek Buyut itu menyentuhnya. Hingga kini, teratai itu menjadi pelindung Yama ketika dia tertidur dan akan menghilang saat Yama bangun. Kakek Buyutnya sudah menceritakan hal itu padanya jadi saat tahu teratai itu bisa menjadi senjata dao, dia sangat senang. Senjata dao yang tidak bisa diambil, hancur bila pemiliknya mati. Itulah kesimpulan yang Yama dapat saat ini.
"Kakek buyut, aku akan berlatih menyembunyikan auraku. Setelah itu aku akan pergi." tegas Yama. Matanya memancarkan tekad dan keyakinan yang kuat. Kakek buyut itu hanya mengangguk dengan senyuman aneh di wajahnya. Kemudian Yama langsung berlari kecil menuju altar tempat dia memanggil roh beladiri kemarin. Disana masih ada formasi sihir. Formasi itu bisa membantunya melatih auranya, itu yang pernah dikatakan pria tua itu beberapa tahun yang lalu saat dia diajari membuat formasi sihir.
Das könnte Ihnen auch gefallen
Kommentar absatzweise anzeigen
Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.
Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.
ICH HAB ES