App herunterladen
77.77% Patah Paling Parah / Chapter 28: Memilih Pergi

Kapitel 28: Memilih Pergi

Miko hanya diam, tak bisa berbuat lebih ketika ayah sudah mengambil keputusan. Mata Ndari berkaca-kaca, tidak ingin menyalahkan pria berbadan besar itu. Tentu dirinya juga sadar jika seharusnya seorang anak tidak keluar rumah alias kabur. Apa yang dilakukannya memang sudah diluar batas.

"Huuftttt ...." Napasnya terdengar berat disertai putus asa.

"Ayo," ajaknya Miko tiba-tiba.

"Ke mana?"

"Pulang."

Miko melangkah keluar lebih dulu. Tak ada yang bisa dibuat lebih, memohon pun pasti tak akan diberi kesempatan lagi. Sebab, tak ada namanya kesempatan bagus datang berulang-ulang. Om Pram kemarin sepertinya hanya kasihan saat mengabulkan keinginannya. Sekarang beliau sadar, membuat hubungan anak dan ayah kembali aku tentu lebih baik ketimbang memisahkan.

'Ahhh, baiklah. Akan kuturuti sarannya," gumamnya yang kemudian beranjak bangkit.

Di luar sana, Miko tampak patuh mendengar apa yang disampaikan oleh pria berbadan besar itu. Ndari yang masih diambang pintu berniat mendekat dan plak!

Tamparan itu, membuat langkah kaki seketika terhenti. Matanya membulat lebar dan kaget luar biasa. Miko baru saja menerima tamparan dari Ayahnya sendiri? Ndari masih tergangga tak percaya.

'Huuufttt....' seketika napasnya tersengkal dan menjadi tidak teratur.

Tak menyangka pria yang dilihatnya kalem dan baik, ternyata setegas itu. Ndari sempat memejamkan mata, mengepalkan kedua tangan untuk memberi tenaga yang akan membantunya melangkah.

"Om, maaf menganggu ... Ndari, mau pamit. Sebelumnya terima kasih sudah dibolehkan bermalam di sini dan saya sangat senang karena telah diterima di keluarga ini. Maaf telah merepotkan..."

Hening untuk sesaat. Miko menoleh menatap kekasihnya. Pram masih diam dan menarik napas pelan. Menimbang- imbang sesuatu dalam benak kepala yang tak diketahui oleh kedua anak di hadapannya.

"Kamu setelah ini mau ke mana?"

"Seperti yang disarankan Om Pram. Memperbaiki hubungan dengan Ayah, saya akan mencobanya Om."

"Bagus, kamu anak yang baik. Seharusnya memang begitu, Om senang kamu ada di sini tetapi lain kali datang dengan cara yang tepat ya ..."

"Maksudnya?" Ndari bengong. Takut selama tinggal sehari membuat kesalahan fatal di sini.

Padahal jika dipikir-pikir, dirinya tak macam-macam. Hatinya semakin gusar melihat lawan bicara tak kujung angkat suara.

"Saat kamu dan Miko sudah menjadi suami istri itu waktu yang tepat," sahutnya kalem.

Ndari hanya diam, memandangnya dan mengangguk kecil. Tak lama ia pamit mencium tangan ayah Miko dan diantar pulang.

Hidup memang selucu itu, pagi tadi Ndari mencoba menghindar dari Ayah, eh malah sekarang mendatanginya. Konyol menang! Dirinya ibarat, tawanan yang menyerahkan diri dan siap menerima hukuman.

"Kamu enggak papakan?" tanya Miko setelah sampai.

"Enggak papa apanya, apa kamu enggak lihat ekspresi wajahku tertekan."

Miko ngengir sembari melihat wanitanya berjalan-jalan gelisah di sekelilingnya.

"Maaf, tadi aku udah coba buat ngomong lagi, tapi keputusan Ayah tidak dapat diganggu." Tunduknya menunjukkan penyesalan.

"Jadi, ...." Ndari tak kuasa melanjutkan ucapan.

Tubuhnya langsung mendaratkan pelukan di tubuh Miko menangis di dada pria itu.

"Lho, kamu kenapa?" Wajahnya berubah panik..

"Aku lihat kamu ditampar Ayahmu ... pasti, itu gara-gara akukan. Maaf ...." suaranya serak, tangis semakin pecah.

"Udahlah enggak papa, cowok ditampar itu wajar."

Spontan didorongnya tubuh kekasihnya dan ditatap penuh keseriusan. Sorot matanya seolah-olah bicara jika dirinya baik-baik saja.

"Oke, maaf selama ini telah merepotkanmu. Karena aku kamu ditampar oleh Ayah jadi mulai saat ini kita jaga jarak dulu. Aku tak ingin kau ikut dalam masalah hidupku terlalu dalam."

"Kenapa ngomong begitu?"

"Entahlah, aku hanya merasa kasihan dengan dirimu. Terima kasih telah mengantar pulang sana."

"Mengusirku?"

"Iya."

Mulai detik ini, tak ingin lagi melihat orang terdekat ikut campur terlalu dalam urusannya. Ndari tak ingin orang yang disayang terluka lebih dalam lagi.

Miko membalik badan untuk menghidupkan kendaraan, entah kenapa dengan kekasihnya. Ia tak bisa menebak. Yang jelas besok dirinya harus kuliah dan baju-baju belum dicuci, harus bergegas pulang untuk menyelesaikan. Ndari menoleh menatap cowok taman itu lagi.

"Ada apa, lagi?"

Kepalanya menggeleng,"Makasih untuk semuanya. Hati-hati!"

Miko melesat pergi dan sempat bersimpangan dengan mobil ayah Ndari yang menuju ke rumah. Sekilas terlihat masih ada Tante Mitha, dan seseorang di bangku tengah entah siapa, dia tak mengenalnya.

Ndari membuka ponsel, salah satu temannya memberi informasi tentang sebuah kursus yang mana kebetulan dirinya enggan bekerja atau melanjutkan kuliah. Dengan santai-santai di kasur, Ndari bertanya detail tentang persyaratan dan lain-lain.

"Ndariii!"

Teriakan lantang itu pasti ayah, bergegas dirinya bangkit dan meninggalkan ponsel di atas kasur. Di rumahnya ternyata juga ada Tante Mitha bersama anak perempuan yang sebaya dengannya.

'Ohhh jadi itu anak wanita jahat itu, hehe mirip ya ternyata ....' gumamnya dalam batin.

"Duduk sini!" perintah Ayah.

Ndari duduk sesuai permintaan ayah tepat di hadapannya dengan lengan kedua lengan terlipat di dada. Sinta memandang perempuan itu tak suka. Sombong sekali! Bahkan tak melempar senyum saat pertama kali bertemu.

"Tadi malam kamu di mana?"

Diam, tak ingin menjawab. Atmaji mencoba mengontrol emosi.

''Ahhhh, kurasa itu tidak penting. Langsung saja, Ayah ingin kamu meminta maaf pada Mitha. Karena telah menyirap coffee di bajunya."

Ndari masih diam, tak ingin menatap bahkan tak merubah posisi.

"Ndari kamu dengar Ayah?"

"Iya," sahutnya santai.

"Cepat minta maaf."

"Minta maaf Ayah," jawabnya cepat dan tidak tulus sama sekali.

"Bukan dengan Ayah tapi calon ibumu."

"Ayah masih nekat ingin menikahinya?" tanya Ndari menatap tajam.

"Iya ... meskipun kamu tidak merestui Ayah akan tetap menikah dengan Tante Mitha."

"Oke, berarti Ayah siap kehilangan Ndari. Selamanya." Tubuhnya langsung beranjak bangkit.

Kembali menuju kamar mempersiapkan segala sesuatunya dalam satu koper miliknya. Sepertinya tawaran kursus cukup menarik dibanding harus tinggal bersama dengan orang yang tidak lagi menyayangi kita.

"Ihhh, anak tidak bisa diatur!" Tangannya mengepal menyimpan kemarahan.

Perlahan tangan Mitha mendarat di bahu pria itu, menyandarkan kepala. Bersikap genit dan tersenyum, "Mas, jangan emosi."

"A-aku ... tak tahu lagi harus bagaimana mendidiknya?"

"Tak usah dididik." Ndari tiba-tiba sudah kembali dengan koper ditangan kanannya.

"Tutup mulutmu Ndari, kamu itu sudah tidak sopan dengan orang tua. Mau jadi apa kamu kalo tidak dididik?hah!"

Suasana semakin menegang, kemarahan Atmaji sudah pecah dan menyebar keseluruhan ruangan. Tubuhnya ikut bangkit dan hendak menmapar anaknya.

"Hanya ada dua pilihan Ayah. Batal nikah atau memilih Ndari pergi?"

"Kamu itu anak manja, kerja saja tidak pernah. Disuruh melanjutkan kuliah pun tidak mau. Yakin bisa hidup sendiri?"

"Selama masih bernyawa Ndari masih hidup."

"Kamu dibilangin bantah, plakk!"

Uhhhhh! Panas, pedih, seketika jadi satu. Ndari mencoba menahan tangis tanpa menyentuh area yang sakit, menatap sadis pria berkacamata itu.

"Terima kasih Ayah. Ingatlah, Ayah akan menyesal. Jangan pernah cari Ndari ...."


next chapter
Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C28
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen