Di hari pertama menginjakkan kakinya di sekolah, Ren sudah memancing amarah genk terkuat di sana. Namun, ternyata dengan upaya sedikit saja, Ren berhasil melumpuhkan ketua dan wakilnya, Zen dan Yong.
Hingga akhirnya ada satu guru yang masuk ke kerumunan dan ingin mengetahui apa yang terjadi pada Zen dan Yong. Salah satu anak buah Zen menunjuk ke Ren sambil berusaha memprovokasi agar Ren dihukum.
Sayangnya, Ren bukan kesemek yang mudah dihancurkan. Dia membalas tuduhan dengan sikap tenang. Ini menyebabkan banyak siswa dan siswi merasa merinding akan tindakan berani Ren. Apa dia tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?
Anak-anak nakal itu mungkin berani pada guru-guru lainnya, namun tidak pada Pak Darwis. Beliau pandai bela diri dan aspek itulah yang membuat para siswa menghormati Beliau. Yah, kadang ketaklukan datang dari kekuatan.
"Kau! Kau sudah melukai mereka!" Pak Darwis melotot ke Ren sembari Beliau menerka-nerka, siapa bocah di depannya ini? Sepertinya dia belum pernah melihat wajahnya.
"Ada apa ini, ya?" Muncul seorang bapak paruh baya membelah kerumunan. Dia adalah kepala sekolah. Ketika dia melihat Ren, dia langsung bertanya, "Apa kau Narendrajanu?"
"Benar." Ren menjawab, masih dengan sikap tenangnya. Dia sudah terbiasa bersikap demikian. Sebagai putera mahkota, mana mungkin dia mudah panik jika hanya berhadapan dengan orang jelata saja?
"Ohh astaga, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Pak Kepala Sekolah agak kebingungan melihat apa yang terjadi. Ada 2 siswa yang masih terus mengaduh kesakitan, dan ada pula Pak Darwis yang melotot marah ke Ren.
"Dia pelakunya, Pak Kepsek!" Pak Darwis menuding ke Ren.
"Aku hanya membela diri." Ren menjawab tenang.
"Aduh duh … Ren, kau ini murid baru tapi sudah membuat hal begini di hari pertama kamu. Sungguh memusingkan kepalaku saja." Pak Kepala Sekolah memasang wajah rumit.
"Dia siswa baru?" Pak Darwis bertanya ke Kepala Sekolah sembari kerutkan keningnya. Pantas saja dia tak ingat pernah bertemu murid yang ini sebelumnya. Ternyata siswa baru.
"Ya, dia pindahan dari sekolah lainnya. Pak Darwis, tolong urus 2 siswa yang sakit itu, biarkan saya membawa Ren ke ruang saya." Pak Kepala Sekolah bertindak cepat memberikan perintah.
"Baik, Pak Kepsek!" Darwis pun lekas memapah Zen dan menyuruh Yong mengikutinya ke arah ruang UKS. Anak buah Zen segera mengekor di belakangnya. Di hati mereka masih ada rasa gentar ketika mereka teringat bagaimana mudahnya Ren menangani petinggi-petinggi kelompok mereka.
Genk Zen, seberapa kuat itu di area ini? Sangat kuat dan juga sangat ditakuti ketika turun ke medan tawuran. Tak hanya tawuran antar sekolah, tapi mereka juga sudah terbiasa tawuran dengan yang lebih dewasa dan biasanya menang. Sebrutal itu kemampuan tarung mereka, namun dengan menyaksikan sendiri Ren menindak bos mereka, nyali pun bergegas mengecil ciut tanpa diminta.
Setahu mereka, tidak pernah ada orang yang bisa bersikap tetap tenang tanpa ekspresi apapun ketika menepis tendangan bos mereka ataupun menangkap tinju petinggi mereka. Hanya Ren saja yang mampu melakukan itu bagaikan Ren adalah sesepuh bela diri saja.
Di ruang Kepala Sekolah, Ren sudah duduk bersama Fei dengan Pak Kepala Sekolah duduk di kursi besarnya.
"Kalian ini … duh, aku harus bagaimana kalau sudah begini?" Beliau terdengar mendapatkan kesusahan hanya karena tindakan Ren tadi pada Yong dan Zen.
"Pak, saya tidak akan meminta maaf jika itu yang Anda harapkan." Ren sudah menyatakan sikapnya terlebih dahulu. "Bagaimana pun, tindakan saya ini adalah pembelaan diri. Jika membela diri merupakan hal salah, maka apa perlu korban harus pasrah saja jika diserang?"
Pak Kepala Sekolah terdiam sejenak, mematung dengan mulut masih menganga hendak bicara tapi sudah keduluan Ren. Tak berapa lama, Beliau mendapatkan kesadarannya dan berkata, "Yah, aku tidak menyalahkanmu atas tindakan pembelaan dirimu itu, tapi bagaimana pun juga, kau sudah melukai mereka. Apalagi membuat tulang patah."
"Hm, kalau begitu, biarkan saya yang menyembuhkan mereka, Pak." Ren menjawab dengan tatapan tegas ke Kepala Sekolah.
"Hah?" Pak Kepala Sekolah seperti mendengar hal yang mustahil. "Kau … kau jangan seenaknya bicara! Itu patah tulang, ya kan? Mana bisa sembarangan ditangani!"
"Kalau Bapak bersedia percaya padaku, maka semua pasti akan baik-baik saja." Ren tetap pada pendirian dia untuk mengajukan diri sebagai penyembuh bagi Zen dan Yong.
Belum sempat Pak Kepala Sekolah mengatakan sesuatu untuk menjawab Ren, sudah terdengar bunyi ketukan di pintu ruangan Beliau.
"Masuk!"
Ketika pintu dibuka, ternyata itu Pak Darwis. "Permisi, Pak Kepsek, saya minta ijin keluar untuk membawa Zen dan Yong ke rumah sakit. Tulang mereka patah dan itu cukup serius. Saya tak berani gegabah membenarkannya meski saya memiliki metodenya sekalipun."
"Biarkan aku saja yang menyembuhkan mereka." Ren berdiri dari kursinya dan menatap tegas ke Pak Darwis.
"Kau!" Mata Pak Darwis melotot ke Ren, dia teringat betapa bocah ini sungguh berani dan sok jago meski baru menginjakkan kaki pertama kali di sekolah ini. "Jangan seenaknya bicara! Kau pikir menyembuhkan patah tulang itu semudah minum air, hah?"
"Karena aku yang melukai mereka, biarkan aku juga yang bertanggung jawab untuk menyembuhkan mereka. Apa salahnya dengan itu?" Pancaran keagungan dari wajah Ren membuat Pak Darwis seketika tak bisa membantah, Beliau merasa kelu seketika. Kenapa bocah bau kencur seperti Ren bisa membuat Beliau susah membalas perkataannya?
"N-Nak Ren … apakah kau … apakah kau yakin kau bisa menyembuhkan mereka?" Pak Kepala Sekolah masih belum bisa yakin pada ucapan Ren.
"Bisa atau tidaknya, bisa dilihat nanti sebagai hasil akhir, Pak." Ren mengatakan dengan sikap tubuh tegak penuh akan kharisma agung. Tak hanya Pak Darwis saja yang merasa kelu, demikian pula Pak Kepala Sekolah.
Oleh karena melihat keyakinan Ren, maka kedua lelaki dewasa itu pun tidak bisa menolak lagi.
"Ya sudah, lekas sembuhkan mereka!" Pak Darwis akhirnya mendapatkan kembali harga dirinya sebagai guru dan memerintahkan Ren.
Empat orang itu—Ren, Fei, Pak Darwis dan Pak Kepala Sekolah—berjalan beriringan ke ruang UKS. Di sana, Zen dan Yong masih merintih kesakitan.
Ketika pintu ruang UKS dibuka, beberapa anak buah Zen yang di sana segera menyingkir, membiarkan empat orang itu untuk mendekat ke ranjang-ranjang tempat Zen dan Yong bersisian direbahkan.
Melihat kedatangan Ren bersama Pak Darwis dan Pak Kepala Sekolah, Yong segera saja merengek sambil masih menangis kesakitan, "Aku minta ampun! Tolong jangan sakiti aku lagi. Aku minta ampun!" ucapnya sambil turun dari ranjang dan hendak berlutut ke Ren sambil memegangi tangan yang patah.
Namun, bukannya mengatakan sesuatu, Ren justru memegang pergelangan tangan Yong yang patah.