Setelah wawancara selesai Nadine bergegas pergi meninggalkan ruangan tanpa ada pamit pada Ardham, hanya pada Anna, Nadine pamit dan memberinya sebuah pelukan. Hati Nadine sungguh sangat kecewa dan terluka dengan sikap Ardham. Marvin pun mengikuti Nadine dengan langkah cepat. Tepat setelah keluar dari kantor perusahaan Ardham , Marvin menarik keras lengan Nadine yang masih berlari dengan wajah yang sudah berurai airmata..
"Berhenti Nad! jangan menangis di sini?" teriak Marvin menghentikan langkah Nadine. "Ayo kita ke sana!" lanjut Marvin menggandeng dan menuntun Nadine ke sebuah taman yang tempatnya tidak terlalu jauh. Nadine menurut saja, tanpa menolak saat Marvin mengajaknya ke sebuah taman.
"Menangislah...jika masih ingin menangis." ucap Marvin menatap mata Nadine yang berlinang airmata. Nadine mengeluarkan sakit hatinya dengan menangis cukup keras. Beberapa menit berlamu isak tangis Nadine mulai mereda, Nadine memejamkan matanya dan menghapus airmatanya dengan sedikit kasar.
"Kita pulang saat ini juga Marv...jam berapa pesawat yang ada sekarang?" tanya nadine tiba-tiba.
"Masih dua jam lagi." jawab Marvin.
"Tapi kita bisa ke Bandara sekarang, kita menunggu di sana saja." lanjut Marvin, dengan hati yang masih penuh tanda tanya kenapa Nadine menangis?
"Ayo Marv!" aku ingin segera pulang." ajak Nadine bangkit dari duduknya dan menunggu Marvin yang belum berdiri juga.
Dengan menyetop sebuah taxi, Marvin dan Nadine berangkat ke Bandara, selang menunggu dua jam, pemberangkatan pesawat telah di mulai. Marvin dan Nadine bergegas masuk naik pintu pesawat.
Perjalanan hanya di tempuh kurang dari satu jam, Nadine sudah kembali berada di kota N. Dengan mobilnya Marvin mengantar Nadine sampai ke rumah. Wajah Nadine nampak terlihat lelah, Marvin tak sampai hati melihatnya.
"Istirahatlah Nad, kamu terlihat sangat lelah." ucap Marvin setelah sampai di rumah Nadine.
"Ya,..aku akan segera istirahat ...kamu tidak marah kan karena aku tidak menyuruhmu mampir?" tanya Nadine masih dengan kesedihannya.
"Tenang saja...aku tidak ada marah kok, sebagai kekasih bukannya harus bisa saling mengerti?" ucap Marvin dengan senyum candanya.
Nadine menatap Marvin, Nadine ingin menjelaskan perkataannya yang bohong saat bertemu Ardham, Marvin mengerti dengan tatapan Nadine yang ingin membantah perkataannya.
"Aku mengerti apa yang kamu ucapkan tadi hanyalah untuk membohongi Ardham, dan aku tidak tahu alasannya apa, hingga kamu melakukan itu...tapi dari aku pribadi...aku tidak keberatan jika kamu menjadikanku kekasihmu...karena aku memang tertarik padamu." ucap Marvin dengan jujur.
Memang hatinya telah tertarik akan sikap Nadine yang selalu cuek padanya. Nadine menundukkan wajahnya, dia tidak mengomentari apa yang di ucapkan Marvin padanya.
"Pulanglah...dan istirahat juga...besok kita ketemu lagi di kampus." kata Nadine mengalihkan pembicaraan Marvin.
"Oke...besok pagi aku jemput ya? dan kamu tidak boleh menolaknya." putus Marvin cepat. Setelah mengucapkan itu Marvin segera masuk ke mobilnya dan melajukan mobilnya dengan perasaan senang bercampur seribu pertanyaan.
"Ada hubungan apa antara Nadine, Ardham dan Anna?"
Di ruangan Ardham, Anna duduk di kursi di depan meja Ardham, pandangannya tak lepas menatap Ardham yang diam bersandar dengan memejamkan matanya.
"Ardham...kamu tidak bisa begini terus, kamu tidak bisa terus berlari dari perasaanmu sendiri." ucap Anna dengan sedikit tekanan dalam suaranya.
Kesabarannya menunggu balasan cinta dari Ardham tak pernah Anna dapatkan. Hati Ardham tetap tidak bisa berpaling dari cintanya pada gadis kecil yang sudah 12 th masih dicintainya.
Ardham berlahan membuka matanya dan membalas tatapan Anna dengan dingin.
"Kamu kan sudah tahu Anna...aku harus menjaganya dari para pembunuh yang telah membunuh kedua orangtuanya, dan orang tuannya adalah sahabatku yang sudah ku aggap sebagai saudaraku..aku harus melakukan ini demi keselematannya." dengan berat Ardham membuka suaranya.
"Tapi tidak dengan mengorbankan perasaanmu Ardham! terutama hidupmu! sampai kapan kamu harus hidup sendiri tanpa ada yang menemanimu?" tanya Anna dengan suara tinggi.
Hatinya terluka melihat Ardham yang selama ini sama sekali tidak bahagia dalam hidupnya.
"Ada kamu yang menemaniku sebagai sahabatku dan patner kerjaku." jawab Ardham santai namun dingin.
"Dan perasaanku tidaklah penting di banding keselamatan dia Anna, aku rela mengorbankan cintaku asal dia akan tetap aman, walau aku harus menjaganya dari jauh tanpa bisa melihatnya." lanjut Ardham dengan wajah sedih.
"Dan tetap rela menerima Nadine yang telah mempunyai kekasih? dia telah membencimu sekarang ini Ardham? kamu bisa lihat tadi bagaimana wajahnya saat meninggalkan kita tanpa pamit padamu." sahut Anna
"Ya aku rela, walau dia membenciku...jika itu demi keselamatannya." jawab Ardham lirih menahan sakit dan luka di hatinya, yang seorangpun tiada yang tahu.
"Tapi sampai kapan sandiwara kita ini berakhir Ardham? aku tidak bisa terus menerus menemanimu?" tanya Anna putus asa perasaan cinta nya yang tak pernah terbalas.
"Jika kamu pergi...pergilah aku tidak bisa memaksamu atau menahanmu." jawaban Ardham begitu sangat menyakiti hati ini, sudah berapa kali kata-kata itu Anna dengar. Ardham tak pernah meminta atau memaksanya untuk menemaninya. Anna sendiri yang menginginkannya untuk menemani kemanapun Ardham pergi, dengan berharap suatu saat Ardham bisa membuka hatinya untuk bisa menerima perasaannya. Namun sampai hari ini...hati Ardham tidak pernah tersentuh.
"Aku tidak bisa terus menutupi pernikahan palsu kita ini Ardham, suatu saat pasti Nadine akan tahu juga kebohongan kita ini, dan jika Nadine tahu bagaimana?"
"Nadine tidak boleh tahu...sebelum dia menikah dengan laki-laki yang baik yang bisa menjaga keselamatannya."
"Bukannya kamu laki-laki yang baik? dan kamu juga sudah menjaga Nadine sampai sekarang...kenapa bukan kamu saja yang menikahinya?" tantang Anna.
Ardham menghela nafas menatap Anna dengan perasaan yang tercubit dan terluka.
"Jika aku bisa, aku pasti akan menikahinya."
"Kenapa tidak bisa? apa kamu masih beralasan dengan alasan yang sama, karena kamu terlalu tua untuknya? dan merasa tidak pantas untuknya?" cecar Anna dengan sedikit emosi dengan pikiran Ardham yang salah memandang cinta.
Ardham terdiam...memejamkan matanya dan kembali menyandarkan kepalanya di punggung kursi.
"Jika kamu sudah tahu...kenapa harus bertanya lagi? pergilah Anna ,aku ingin sendiri saat ini." lirih suara Ardham dengan masih terpejam.
Tujuh tahun sudah hatinya yang terluka mulai sembuh, kini kembali mengangah dengan bertemunya dia dengan Nadine, gadis kecil yang sangat di cintainya, hingga Nadine yang sekarang sudah dewasa dan memberitahunya jika Marvin adalah kekasihnya.
Mata Ardham semakin terpejam, di sudut matanya menggenang setitik airmata lukanya. Dan kini Anna sahabatnya juga melukai hatinya.
"Ardham ...aku kasihan padamu...kamu sangat mencintai Nadine. dan kamu juga tahu Nadine mencintaimu...kenapa kamu harus melepasnya? perbedaan usia menurutku bukanlah suatu penghalang untuk saling memiliki Ardham...kenapa kamu berpikir Nadine tidak akan bisa bahagia jika bersamamu...Nadine pasti akan bahagia...karena bagi wanita manapun kebahagiaan yang terbesar jika kita bisa hidup bersama dengan orang yang kita cintai dan yang mencintai kita, pikirkanlah kata-kataku ini Ardham." serak suara Anna menggema di telinga Ardham, sebelum Anna beranjak pergi meninggalkan Ardham sendiri dengan luka hatinya.