Miller tersenyum getir saat mengetahui bibirnya mendarat bukan pada hal yang ia harapkan. Lalu dengan sengaja Miller malah mencium punggung tangan Soully yang sedang menutup bibirnya, menarik tangan mungil itu lalu mengecup jemarinya dengan lembut. Sesaat membuat Soully terbuai. Ada rasa perhatian yang sangat ia nantikan, seakan bertahun-tahun lamanya.
"Tuan, ini baju ganti untuk Nona Soul-ly..."
Bimo yang masuk ke ruangan kantor tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu membuat langkahnya seketika mematung lalu mengalihkan pandangannya.
"Oh, Tuan kau benar-benar tidak waras. Kau sekarang benar-benar dibutakan oleh cinta," gerutu Bimo dalam hati melihat tingkah bosnya itu.
Suara langkah dan sahutan Bimo membuat Soully dan Miller menoleh kepadanya. Seketika Soully menarik tangannya dari kecupan hangat bosnya yang...sedikit gila. Wajah Soully pun memerah karena malu. Tatapan matanya pada Bimo seolah meminta pertolongan.
Sedang Miller, ia merasa kesal karena sang pengawal itu tiba-tiba saja datang menginterupsi suasana haru yang sedikit menghangatkan hatinya.
Maafkan aku, Tuan...
"Sebaiknya kau ganti bajumu dahulu, Sayang." Miller mengelus pipi Soully memerintahnya dengan lembut.
Soully segera mengambil paper bag berisi baju ganti yang baru saja dibelikan oleh Bimo beberapa saat yang lalu. Sejak kapan asisten setia bosnya ini pergi hanya untuk membelikan baju baru ini? Benak Soully.
"Terima kasih." Soully bergegas pergi ke dalam toilet kecil dalam kantornya untuk berganti pakaian setelah ia menerima paper bag itu dari tangan Bimo.
Langkahnya terhenti sesaat sebelum ia masuk ke dalam toilet. Miller yang sedari tadi tanpa mengalihkan pandangannya kepada Soully dibuat bingung saat Soully berjalan menuju ke arahnya kembali. Miller pun memasang senyum terbaiknya, dengan merentangkan kedua tangannya.
Soully mengerutkan keningnya, saat ia mengeluarkan sesuatu dalam bungkusan plastik yang tadi dibawanya.
Ada apa dengan tingkah bosnya?
Miller meluruhkan senyum terbaiknya ketika Soully tak kunjung membalas rentangan tangannya. Yang ada ia malah melewatinya lalu ia merasakan kepalan tangannya sedang memegang sesuatu yang dirasa cukup familiar. Ia menurunkan rentangan tangannya lalu melihat apa yang Soully genggamkan pada telapak tangannya.
"Air mineral, murni," tutur Soully dengan tersenyum penuh makna. Miller menatap botol air mineral itu.
"Oh, Tuan. Kau sungguh menyusahkan orang lain dengan permintaan konyolmu itu. Bahkan katanya kau marah-marah tak jelas dan melampiaskannya pada seluruh kru dan staf karyawanmu. Makanya aku ke mari merasa tak enak karena sudah absen selama empat hari ini. Aku meminta maaf untuk hal itu." Miller terdiam dan tak bisa membantah celotehan Soully saat ini. Bagai anak kecil yang sedang dimarahi ibunya, ia hanya terdiam saja.
Baginya terlalu cantik ketika ia mendongakkan wajahnya menatap Soully yang sedang berceloteh padanya dengan berdiri, berkacak pinggang dan sekarang bersedekap di hadapannya.
"Sebenarnya ada apa dengan dirimu? Kau benar-benar menyebalkan." Soully menggerlingkan bola matanya.
Kemudian ia melangkahkan kakinya kembali menuju toilet. Sesaat ia membalikkan badannnya saat di depan pintu toilet tersebut. "Oh ya, " seru Soully. Miller menatap perempuan mungil itu dengan penuh tanya. "Saatku selesai berganti pakaian dan keluar dari toilet ini, maka saat itu pula kau sudah membereskan kekacauan yang kaubuat ini, Tuan." Soully membalikkan badannya, kemudian ia benar-benar menghilang di balik pintu toilet
Soully memegang dadanya, berusaha meraup oksigen ke dalam paru-parunya.
Hhhh...benar-benar menakutkan. Gila, sungguh gila! Bagaimana bisa mulut ini tak terkendali? Ahhh...bagaimana kalau bos yang gila itu benar-benar murka padanya?
Miller benar-benar tertawa kecil ketika melihat tingkah Soully yang seolah mengintimidasinya. Ia melihat sekeliling ruanganmya yang memang...berantakan.
Ya ampun, padahal dia adalah seorang yang perpectionist. Kemudian pandangannya ia alihkan pada botol air mineral yang ada di genggaman tangan kanannya, sebelum suara tawa itu benar-benar pecah, menggema dalam ruangan kantornya.
"Bimo, segera bereskan kekacauan ini. Sebelum perempuan mungil itu menceramahiku lagi," perintah Miller tanpa melepaskan tawanya.
"Baik, Tuan," patuh Bimo.
"Kau yang harus membereskannya sendiri, Tuan! Hanya kau! Jangan menyuruh Tuan Bimo!" teriak Soully dalam toilet.
Bimo menahan tawanya ketika ia melihat wajah kikuk Miller. Nona Soully benar-benar bisa membuat tuannya itu, skak matt!
Tak lama kemudian, tawa Miller semakin pecah saat mendengar teriakan Soully. Ia beranjak dari duduknya setelah menghabiskan air dalam botol mineral yang diberikan Soully padanya. Sejenak ia terharu karena botol air mineral itu mengingatkan dirinya pada kenangan seorang gadis kecil yang memberinya minum.
"Baiklah, Sayang!" seru Miller. Dengan berkacak pinggang. Ia mengedarkan pandangannya pada seluruh ruang kantornya yang kacau itu.
"Aku bukan sayangmu!" teriak Soully kesal. Lagi, Miller hanya tertawa. "Jangan tertawa!" Miller membungkam mulutnya menahan tawa.
"Oke, sepertinya kau bisa bersantai diri, Bimo. Karena ada yang membelamu saat ini. Dan kebetulan suasana hatiku sedang baik." Miller berkata pada Bimo dengan wajah sumringahnya. Kemudian, ia benar-benar melakukan apa yang diperintahkan Soully padanya. Ia tak ingin Soully berpidato lagi padanya. Walaupun itu sangat menyenangkan.
Bimo mengambil botol kosong air mineral yang Miller taruh di atas meja kaca sofanya ketika tuannya itu sibuk berkutat dengan kekuatannya membereskan kekacauan yang ia buat. Bukannya tak ingin memanggil petugas kebersihan, tapi hanya dengan kemampuannya, Miller ingin Soully puas padanya. Lagipula, tak mungkin petugas kebersihan akan membereskan semuanya dalam waktu yang sangat singkat, bukan?
Rasa penasaran Bimo terbayarkan ketika ia melihat tulisan yang ada pada kemasan botol air mineral itu. Karena ia fikir sama saja dengan yang dibeli Elly tadi.
PURE WATER 😋
Tulisan tangan ditambah emoji menjulurkan lidah dengan spidol permanent hitam itu menutupi merek asli dari kemasan botol air mineral yang tadi diminum tuannya. Bimo tergelak menahan tawanya. Tak pernah ia terfikirkan Soully akan melakukan hal konyol dan sepele itu namun, benar-benar berpengaruh besar pada tuannya.
Nona Soully, kau memang yang terbaik!
***
Setelah hampir 15 menit Soully sudah selesai dengan mengganti bajunya. Bimo memilihkan baju yang pas untukknya. Dress pink pasta dengan print bordiran abstrak di ujung roknya. Tidak buruk.
Akhirnya Soully keluar dari dalam toilet setelah ia memastikan penampilannya di depan cermin.
Miller sudah duduk dengan santai di sofa dengan Bimo yang sedang duduk manis di meja kerjanya. Miller terlihat kelelahan setelah ia berkutat dengan kekuatannya membereskan kekacauan yang ia buat tadi. Padahal bukan hal sulit baginya, namun rasa waswas berkejaran dengan waktu supaya ruang kantornya benar-benar sudah rapi kembali sebelum Soully keluar dari toilet itulah yang membuat dirinya kelelahan. Sebisa mungkin ia menenangkan nafasnya yang masih terengah-engah agar Soully melihatnya baik-baik saja.
"Tidak buruk," ujar Soully mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Ternyata berguna juga aku mengenal manusia-munusia special seperti kalian." Soully mendudukan badannya di sofa sambil ia merapikan baju basahnya yang ada di dalam paper bag.
"Letakkan baju-baju itu, nanti biarkan petugas kebersihan membuangnya," ucap Miller ketika ia memperhatikan Soully berkutat dengan paper bag-nya.
Soully membeliak, "Apanya yang harus di buang?" gerakannya terhenti memegangi paper bag-nya.
"Baju-baju itu. Itu sudah kotor," jawab Miller dengan santainya. Soully membuang muka lalu menggelengkan kepalanya, tak habis fikir apa yang dilakukan bosnya itu.
"Tidak." Soully membantah. "Baju ini masih bagus."
"Tapi itu kotor, Sayang," sergah Miller.
"Ini bisa di cuci," tukas Soully. "Oh, jadi kauanggap aku ini kotor? Setelah kau memakaikan jas-mu ini pada tubuhku? Kau merasa jijik dan ingin membuang jas-mu ini?" Soully menggebu, rasanya sungguh menyebalkan bosnya itu. "Baiklah, ambil saja jas-mu itu!" Soully melemparkan jas Miller yang tadi sempat menutupi tubuh Soully yang basah. Lalu beranjak berdiri dari. "Maaf aku lupa kalau anda memang bisa membeli apapun yang anda mau, bahkan jas yang paling mahal sekalipun. Terima kasih untuk bajunya, kurasa ini memang tak perlu dikembalikan, bukan? Permisi," pamit Soully.
"Sa-sayang, tunggu. Aku tak bermaksud begitu. Tak ada yang menganggap dirimu kotor," cegah Miller menghadang langkah Soully.
"Permisi, Tuan. Sepertinya urusan kita sudah selesai," ketus Soully.
"Hei...Sayang...tolong jangan seperti ini..." mohon Miller.
"Lepas, Tuan. Dan lagi, jangan panggil aku seperti itu. Aku bukan sayangmu!" Soully menepis tangan Miller yang mencengkram kedua bahunya.
"Jangan mengikutiku!" cegahnya karena Miller terus mengejarnya. Miller terdiam menuruti apa yang Soully katakan walaupun ia bisa saja merengkuh perempuan itu dengan kekuatannya.
Tanpa menoleh lagi, Soully benar-benar membanting pintu dengan cukup keras, keluar dari dalam ruang kantornya. Dibalik pintu, Soully memegang dadanya seraya memejamkan kedua matanya karena ia pun merasa kaget akan tingkahnya sendiri.
"Kenapa dengan diriku ini? Akhir-akhir ini selalu merasa sensitif. Apa karena masalahku dengan suamiku yang menjadi pemicunya?" benak Soully dalam hati. "Memikirkannya aku jadi merindukannya." Soully memejamkan matanya seolah dengan begitu ia benar-benar bisa meluapkan perasaan terpendamnya.
Sementara di dalam ruangan, Miller menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan lunglai. Ia mengusap wajahnya dengan menghela nafas. Baru saja ia sedikit mendapatkan kebahagiaan yang ia fikir akan terus mengikutinya. Namun, Soully benar-benar baik padanya hanya karena ia memang baik. Sifat Malika mungkin masih melekat padanya, tapi tidak untuk cintanya. Apalagi terngiang jelas saat tadi Soully menanyakan tentang mengapa ia mengabaikannya ketika masih menjadi tunangannya. Hal terbesar yang paling ia sesali saat ini, cinta yang takkan pernah ia dapatkan kembali.
Bimo menatap cemas tuannya yang sedang dalam suasana hati tak baik.
***
Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya saat Soully sedang duduk di halte bus dekat gedung kantornya. Ya, halte bus adalah salah satu tempat yang sering Soully datangi ketika suasana hatinya memburuk. Ia memikirkan kenapa tadi dirinya begitu terbuai suasana saat Miller mendekapnya. Dan kilasan bayangan apa tadi ketika tangan kekar itu merengkuh tubuhnya?
Kenapa hatinya melunak bahkan terasa sakit sekaligus saat bayangan Miller mengabaikan dirinya?
Tidak, aku hanya mencintai suamiku. Aku takkan goyah!
Lagi, getaran pada ponselnya membuyarkan lamunannya. Sesaat tadi ia mengabaikan panggilan masuknya karena terlalu larut dalam fikirannya. Soully melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Lalu melihat angka waktu pada layar ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.05.
"Ya ampun, hampir saja aku melupakan janji temu dengan Kak Erick." Soully bergumam lalu meletakkan benda pipih itu pada telinganya.