App herunterladen
30% My Podcast of Horror / Chapter 9: Penjagal dalam Gelap (3)

Kapitel 9: Penjagal dalam Gelap (3)

"Hei, ada apa denganmu?"

Tanya seorang wanita berambut pendek yang mengenakan seragam polisi. Wanita itu keluar dari mobil patroli, melihat ke sebuah rumah yang tampak tua dengan tembok luar yang telah dihinggapi oleh lumut dan akar pepohonan.

Wanita itu kemudian menengok ke rekannya yang hingga kini tidak melepaskan tangannya dari setir mobil yang telah berhenti. Enggan keluar dari mobil untuk masuk ke pekarangan rumah.

"Oi! Apa kau mendengarku?"

Teriak wanita tersebut, mulai jengkel. Laki-laki dalam mobil agak terperanjat. Dia menoleh ke arah luar, melihat rumah yang baginya tampak mengerikan.

"Tiara... apa kau tidak tahu rumah ini? Ini tempat angker banget. Kamu juga dengar laporan sama podcast itu, kan? Gimana kalau ada hantu beneran di sana?"

Lirih lelaki tersebut, seraya menutup jendela mobilnya. Sayangnya, walau jendela tersebut tertutup, pintu mobil tidak terkunci. Petugas bernama Tiara itu membuka pintu lalu menarik kerah baju rekannya.

"Apa yang kau takutkan?! Aku sudah ke sini kemarin waktu mengoleksi tulang belulang korban! Tidak ada yang namanya hantu! Hanya ada dua orang mahasiswa saja. Ayo, jangan jadi kayak pengecut, Aldi!"

Teriak Tiara, menarik Aldi dari dalam mobil dan memaksanya mengikuti ke dalam rumah yang katanya angker tersebut.

Berjalan melalui halaman depan yang kini terlihat bersih dan rapi setelah dibersihkan. Keduanya tiba di pintu depan rumah yang terbuat dari kayu jati. Tidak ada bel di rumah tersebut, sehingga mereka hanya bisa mengetuk dengan keras untuk memberitahukan kedatangan keduanya.

Tidak perlu menunggu lama sebelum akhirnya pintu terbuka. Memperlihatkan seorang lelaki yang mengenakan piyama berwarna biru gelap, rambut acak-acakan dengan sebuah senyum lebar palsu menghiasi wajahnya.

Begitu palsu, karena walaupun senyumnya lebar, sepasang mata di balik kacamata bulat lelaki itu menunjukkan suatu niat picik.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Dengan suara yang terdengar ceria bercampur ramah. Lelaki di depan Tiara entah mengapa membuat wanita itu agak bergidik. Instingnya sebagai polisi mengatakan kalau memang ada sesuatu yang kurang mengenakkan dari lelaki tersebut.

Tiara ingin menjelaskan maksud kedatangan dirinya ke rumah tersebut. Aldi, rekannya tidak dapat dipercaya dengan wajahnya saja yang masih pucat.

Namun sebelum sempat polisi wanita itu berucap. Lelaki di depan mereka menyuruh keduanya masuk. Untuk duduk di dalam, beralasan agar pembicaraan bisa lebih nyaman dilakukan.

Tiara ingin menolak. Karena mereka hanya ingin menanyakan beberapa hal tentang podcast yang dibuat di rumah tersebut sekaligus memperingati untuk tidak menyebarkan kabar hoax.

Sayangnya, walaupun bertindak sebagai petugas berwajib, omongan dari Tiara bagai tidak didengar oleh lelaki di depannya. Masih dengan senyum terpampang, lelaki tersebut bagai memberikan suatu tekanan agar kedua polisi untuk masuk.

Tenggelam dalam tekanan. Tiara mengutuk dirinya yang melangkah masuk ke ruang tengah rumah. Aldi... tidak perlu dipikirkan, polisi satu itu hanya bisa mengikuti, tidak mau lepas dari rekannya karena takut.

Ketika Tiara duduk. Dia melihat lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Bima itu duduk di sofa yang berseberangan. Sofa yang mana, jelas betul diingatan Tiara, kalau sofa itu berada di atas tempat tulang belulang ditemukan.

Tiara agak mengerutkan wajahnya. Dia lalu melirik ke arah Bima, ingin membuka mulut untuk memulai menjelaskan alasan kedatangan dirinya.

Namun kembali sebelum suara keluar dari mulutnya. Bima sudah mendahului pembicaraan.

"Saya tahu mengapa kalian kemari."

Tiara memicing mendengar itu. Bima mengangkat bahu dan kedua tangannya di depan dada.

"Kalian ingin tahu soal podcast, kan? Atau mungkin melarang kami menyebar informasi palsu."

"...Baguslah kalau anda sudah mengerti. Kalau begitu bisaka—"

"Tidak."

"Huh?"

"Saya tidak akan menarik podcast tersebut. Apalagi mengklarifikasi kalau informasi di dalamnya itu salah."

Tiara pandangi lelaki di depannya dengan mata membulat. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukan suatu kepanikan berhadapan dengan kepolisian. Malah sebaliknya, dia malah menekan balik dirinya, sehingga sejak awal Tiara tampak tidak memiliki suara dalam diskusi ini.

"Apa anda mengerti yang baru anda bicarakan?"

"Tentu saja. Keaslian suatu informasi bisa dipercaya bila ada bukti konkritnya. Bagaimana bila saya perlihatkan bukti tersebut, Tuan dan Nyonya yang terhormat?"

Tiara merasa kalau dirinya semakin tenggelam dalam arus pembicaraan yang dibuat oleh Bima. Sebagai polisi dia tidak bisa menerima hal ini. Dia harus lepas dan mulai mengendalikan situasi.

Sayangnya, rekannya tidak berpikir demikian. Dengan suara gigi yang bergemeretak, dan wajahnya yang semakin pucat. Aldi bertanya cemas...

"Bu-bukti seperti apa?"

Mendengar pertanyaan itu, Bima menyeringai lebar.

"Tentu saja menghadirkan narasumber. Lani!"

""!!!""

Kedua petugas seketika terkejut. Mereka melihat sebuah nampan dengan tiga gelas berisi air di atasnya, melayang dari arah dapur. Mendekat, lalu meletakkan nampan tersebut.

Tiga gelas kemudian melayang dan tersimpan di depan masing-masing orang yang duduk di sofa.

Melihat kejadian tersebut, Aldi langsung pingsan dalam duduk. Sedangkan Tiara menelan ludahnya, memperhatikan nampan dan gelas yang baru saja melayang sendiri. Lalu melirik ke arah Bima.

"Trik apa yang baru saja anda gunakan?"

"Trik? Hahahaha!"

Bima serta merta tertawa lepas dengan tangannya di perut.

Puas dengan tawa, lelaki itu lalu menatap Tiara dengan tatapan yang serius. Membuat polisi wanita itu agak bergidik.

"Petugas Tiara," sebut Bima setelah melirik atribut nama petugas di depannya, "Saya bukan orang idiot yang ingin membodohi polisi dan juga menyebarkan berita hoax ke publik. Saya hanya ingin hidup dengan tenang di rumah baru ini. Tapi, hal ini sulit dilakukan karena satu hantu terus berulah karena menginginkan nyawa pembunuhnya."

"..."

Suasana hening seketika. Tiara diam mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bima.

"Apa kau berharap aku mempercayainya?"

"Karena kalian tidak mau bergerak. Jadi aku harus melakukan cara lain agar dapat menyelesaikan situasi di rumah ini. Hal ini memang sulit dipercaya."

Bima lalu menatap langsung sepasang mata Tiara. Lelaki itu mengatakan kalau dia percaya kepada petugas wanita itu untuk mengerjakan tugasnya. Oleh karenanya, dia membuka kacamata bulatnya, lalu menyuruh Tiara untuk memakai dan berbicara sendiri kepada narasumber.

Tiara pakai kacamata yang disodorkan oleh Bima. Penasaran dengan trik aneh apa lagi yang disiapkan oleh Bima.

Detik kemudian, seketika bulu kuduk di sekujur tubuh Tiara berdiri. Di depannya, kini jelas suatu sosok perempuan dengan baju putih melayang. Setengah wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang panjang, setengah lagi terpampang jelas telah terkelupas dengan berbagai belatung merayap.

"Aaaaack!"

Tiara sentak terkejut. Dia berbalik melompati sofa, lalu mengambil pistol yang menggantung di pinggangnya dan menodongkannya ke sosok perempuan tersebut.

Melihat reaksi tersebut, Bima terkekeh. Dengan begini tujuannya telah tercapai. Membuat kedua pihak bertatap muka secara langsung akan memberikan suatu kredibilitas atas informasi tentang pelaku pembunuhan.

Cien tahu kalau Tiara apalagi pihak kepolisian tidak akan sepenuhnya percaya. Namun dengan bibit-bibit yang sudah dia tanam, setidaknya dia membuat orang-orang ini curiga dan penasaran.

Hanya dengan perasaan ini saja, cukup membuat mereka untuk bergerak memeriksa orang buncit itu.

Sisanya tinggal menunggu waktu pihak kepolisian menemukan bukti tindakan kejahatan dari pelaku yang berkeliaran ini.

Bima pandangi terus sikap Tiara yang kini mulai tenang. Dia lalu melirik ke sampingnya. Yup, dia tidak dapat melihat Lani.

Tiara mulai bersuara, menanyakan berbagai hal yang ada di benaknya kepada sosok tak terlihat di sampingnya. Menyimpan kembali pistol di sarungnya, lalu mulai berwajah serius sambil mengeluarkan buku catatan kecil. Mulai menuliskan jawaban yang mungkin diterimanya dari Lani.

"Hoo~"

Bima terkesan dengan kecepatan adaptasi dan sikap profesional dari petugas wanita tersebut. Meskipun yang dihadapinya adalah makhluk astral. Wanita tersebut tetap melakukan tugasnya dengan serius.

Sedangkan satu petugas lainnya...

Bima lirik satu petugas yang pingsan dengan tubuh yang miring ke samping. Kedua mata berputar ke belakang, dan mulut terbuka lebar.

'Ini orang... untuk apa dia kemari?'


next chapter
Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C9
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen