Jodoh, rizki dan maut adalah rahasia Allah. Semua telah tertulis.
Namun kita harus berusaha mencarinya dan menyiapkan diri sebaik-baiknya.
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
"Mbak, tadi ada telpon dari dokter Lukas. Katanya nanti malam mau ajak diner di restaurant The Florentino" Tatiana memberitahu Gladys seusai meeting dengan klien.
"Tadi dokter Lukas juga tanya kenapa hp mbak Gladys nggak bisa dihubungi sejak beberapa hari terakhir ini. Saya bilang saja kayaknya hp mbak Gladys kecemplung ke laut pas di Bali."
"Jam berapa dia mau jemput?" tanya Gladys.
"Kayaknya jam 7an mbak. Dia akan jemput mbak Gladys disini."
"Kok disini? Bukan di rumah?"
"Kebetulan dokter Lukas baru selesai praktek jam setengah 7. Lokasi rumah sakit lebih dekat ke sini."
"Kak, bukannya kak Gladys ada janji dengan Nabila?" Endah mengingatkan.
"Oh iya, kok aku bisa lupa." Gladys menepuk keningnya. "Gimana dong. Apa aku tolak ajakan Lukas?"
Baru selesai bicara, hp Gladys berbunyi. Terlihat nama Cecile di layar. Mampus gue, batin Gladys.
"Assalaamu'alaykum Mi."
"Wa'alaykumussalaam." balas Cecile.
"Ada apa Mi?" tanya Gladys pura-pura tak tahu tujuan Cecile menelponnya.
"Sudah makan siang, sayang?" Cecile balik bertanya.
"Belum Mi. Baru selesai meeting nih."
"Jangan lupa makan siang. Mami nggak mau maag kamu kumat hanya gara-gara kamu keasyikan kerja." Cecile mengingatkan.
"Iya mi. Habis ini Gladys akan suruh Endah beli makan."
"Sayang, Lukas sudah telpon kamu?" Cecile langsung ke tujuan utama ia menelpon anak bungsunya.
"Sudah Mi. Tapi tadi mbak Tia yang terima. Soalnya Lukas telpon pas Gladys lagi meeting."
"Lukas mau ajak kamu ke acara diner. Tadi jeng Meisya bilang ke mami kalau Lukas mau mengenalkan kamu ke koleganya, para dokter yang memegang jabatan penting di rumah sakit."
"Ngapain sih Mi, pakai dikenalin segala. Gladys kan bukan siapa-siapa dia."
"Lho, kamu itu calon menantu Keluarga Bramantyo."
"Ih mami, Gladys kan belum setuju menikah sama dia."
"Mami nggak mau tau, pokoknya kamu harus ikut diner dengan Lukas. Mami nggak mau kamu mempermalukan nama besar keluarga kita."
"Maksud mami apa dengan mempermalukan nama besar keluarga? Apa hubungannya dengan Lukas?"
"Kamu masih tanya apa hubungannya? Ya ada dong. Kalau kamu menikah dengan Lukas, maka nama baik keluarga kita tidak akan tercoreng."
"Maksud mami, kalau aku menikah dengan ...."
"Sudah, sudah.. mami nggak mau dengar kamu menolak undangan Lukas. Mami mohon kamu mau memberi Lukas kesempatan untuk mendekati kamu. Memangnya kamu nggak mau membahagiakan mami?" Terdengar suara Cecile bergetar di ujung sana. Kalau sudah begitu Gladys paling tidak bisa menolak keinginan maminya. Ia paling tak tahan melihat atau mendengar mami menangis.
"Oke Mi. Gladys akan memberi kesempatan pada Lukas. Tapi Gladys nggak janji akan menikah dengan dia."
"Terima kasih sayang. Mami senang mendengarnya. Mami nggak menyuruh kamu memutuskan Banyu, tapi mami mau kamu mengenal calon lain sebelum memutuskan menikah dengan Banyu."
"Tapi Mi....."
"Mami mohon kamu memberi kesempatan yang sama kepada Lukas, sebagaimana kamu memberikan kesempatan pada Banyu. Jadi kamu bisa membandingkan mana yang bisa menjadi pendampingmu kelak nak. Pernikahan ini hanya sekali seumur hidup, mami nggak mau kamu menyesal."
"Tapi mi, aku nggak mencintai Lukas. Aku cintanya sama Banyu."
"Bagaimana kamu bisa mencintai Lukas kalau kamu tidak berusaha membuka hatimu untuk dia. Cobalah kamu mengenal dia lebih jauh. Mami yakin Lukas bisa membahagiakanmu dan memberimu kehidupan yang nyaman. Berbeda dengan Banyu yang hanya tukang sayur. Mami nggak mau kamu hidup susah, sayang."
"Tapi Mi...."
"Terima kasih ya sayang karena sudah mau membuat mami bahagia." Cecile memutus pembicaraan sebelum Gladys membalas perkataannya.
"Aaah.. kenapa sih mami maksa banget!" geram Gladys kesal.
"Maaf mbak, gimana dengan undangan dokter Lukas? Tadi dia minta dikabari."
Gladys menghela nafas kesal. "Ada nomor telponnya mbak? Biar aku yang hubungi dia."
"Assalaamu'alaykum mas." Gladys memberi salam setelah tersambung dengan Lukas.
"Halo sayang. Apa kabar? Kamu kemana saja? Kok aku nggak bisa menghubungimu beberapa hari ini. Aku dengar dari mami, kamu ada acara di Bali? Kenapa nggak bilang? Kalau kamu bilang, aku kan bisa menyusul kamu." Lukas langsung membombardir Gladys dengan pertanyaan.
Beda sekali dengan Banyu, batin Gladys. Banyu akan menjawab salam atau memberi salam saat ditelpon seperti ini. Satu point untuk Banyu. Tapi Lukas memanggilku sayang, sementara Banyu tidak. Satu point untuk Lukas. Tanpa sadar Gladys membandingkan keduanya.
"Sayang, kamu kenapa diam saja? Kamu marah sama aku karena nggak menemanimu di Bali?" Dih, nih orang kepedean banget sih, batin Gladys.
"Ah nggak mas. Aku nggak marah sama kamu. Aku agak capek karena baru banget selesai meeting."
"Sayang, harusnya kamu di rumah saja. Istirahat. Kamu kan nggak perlu setiap hari ke kantor. Nanti kalau kita menikah, aku nggak mau lihat kamu kecapekan kayak gini. Kalau kamu nanti jadi istriku, kamu hanya perlu memanjakan dirimu dengan pergi ke salon, spa, belanja, atau liburan sama aku."
"Ah, nggak segitu capeknya juga sih mas. Aku cuma agak lelah karena meeting hari ini agak alot cari penyelesaiannya." Dia mau memanjakanku dengan segala kenyamanan yang seperti aku rasakan kini. Satu point untuk Lukas.
"Bagaimana kalau kamu berhenti bekerja saja. Lagipula nanti aku mampu kok membiayai hidupmu dan anak-anak kita kelak. Aku kan sudah pernah bilang kalau aku nggak suka istri bekerja. Wanita itu tempatnya di rumah, urus suami dan anak. Nggak perlu cari duit. Jangan kayak orang susah gitu." Banyu tidak pernah melarangku bekerja. Satu point lagi untuk Banyu.
"Tapi kalau bukan aku, siapa yang akan menjalankan butik ini, mas. Papi membuka butik ini agar aku bisa mengaplikasikan ilmu yang sudah kudapat. Sayang kan kalau sudah capek-capek sekolah, terus ilmunya nggak dipakai. Lagipula aku bekerja bukan karena kekurangan uang kok, mas." Bantah Gladys.
"Hmm.. ini sebabnya aku nggak suka wanita sekolah terlalu tinggi. Jadi berani melawan suami dan sok membuktikan eksistensinya. Lagian ngapain sih kamu dulu pakai acara ke Paris segala. Kalau tau kamu bakal kayak gini, seharusnya sejak dulu aku ajak kamu nikah. Wanita itu hanya perlu pintar urusan sumur, dapur dan kasur saja, Sayang" Ya ampun kolot banget sih pemikirannya, omel Gladys. Beda banget sama Banyu yang justru senang dengan wanita yang berpendidikan tinggi. Satu point tambahan untuk Banyu.
"Gimana ceritanya kamu mau ajak aku nikah kalau dulu aja kamu nggak pernah menyatakan perasaanmu."
"Bagaimana aku mau menyatakan perasaanku kalau kamu masih punya pacar. Lulus SMA kamu langsung kuliah di Paris sampai lulus S2. Aku cuma bisa mencintaimu dari kejauhan sambil menunggu saat yang tepat. Sayangnya begitu kamu kembali, aku sibuk dengan spesialisku." Dia begitu mencintaiku, bahkan agak terobsesi. Tambah satu point atau minus satu point?
"Mas, harus banget ya aku ikut acara diner ini?" Gladys memberanikan diri bertanya.
"Iya dong. Kamu kan calon istriku. Calon istri pemilik salah satu rumah sakit terkenal di kota ini. Aku mau para kolegaku mengenal calon istriku yang cantik ini, sebelum nanti kita menikah dan membuat pengumuman resmi melalui media."
"Kok dadakan banget ngajaknya. Aku nggak bawa baju yang pantas untuk acara diner itu."
"Untuk urusan itu kamu nggak usah khawatir, sayang. Aku akan kirimkan dress dari butik langgananku."
"Memangnya mas Lukas tahu ukuranku?"
"Sayang, aku bukan baru kali ini menjalin hubungan dengan wanita. Aku sudah berkali-kali melakukannya sambil aku menunggumu. Dan jangan lupa aku adalah dokter yang mempelajari anatomi tubuh manusia. Dengan hanya melihatmu beberapa kali saja aku bisa tau semua ukuranmu dari atas sampai kaki. Bahkan aku bisa memperkirakan ukuran pa****ra mu, dan aku yakin itu pasti pas sekali di tanganku." Lukas tertawa di ujung sana. Gilaaak, mesum parah!
"Nggak usah mas. Aku nggak mau merepotkan mas Lukas. Biar aku pakai bajuku sendiri." tolak Gladys. Ya ampun malas banget gue dijadiin obyek fantasi nih cowok saat dia memilihkan baju buat gue.
"Aku ragu kamu ke butik memakai dress untuk diner. Sudahlah biarkan aku memanjakan calon istri. Nanti akan ada kurir yang mengantarkan baju untukmu. Kamu tinggal dandan yang cantik dan tunggu aku menjemputmu." Kembali tanpa salam, Lukas langsung memutus pembicaraan.
Mami beneran mau jodohin sama cowok mesum, kolot dan egois begitu? omel hati Gladys. Ogah banget gue sama tuh orang. Kebayang deh, nanti gue kayak boneka dalam kaca kalau jadi istri dia. Jangan-jangan kalau sudah tua gue jadi kayak tante Meisya. Julid habis. Iih.. ogah banget, Gladys bergidik membayangkan hal itu.
"Kak, ini tadi ada ojek online yang antar makanan. Katanya buat kak Gladys." Endah masuk ke dalam ruangan sambil membawa tas plastik berisi beberapa kotak putih.
"Dari siapa, Ndah?"
"Nggak tahu kak. Tadi drivernya cuma bilang disuruh antar. Mungkin nyonya mami yang kirim kak."
Saat membuka tas plastik dan menemukan sebuah amplop kecil yang tampaknya berisi kartu. Dibukanya amplop tersebut dan dibacanya. Senyumnya langsung mengembang saat membaca kartu tersebut. Gladys langsung melakukan video call. Tak lama muncul wajah tampan yang akhir-akhir ini mengisi mimpi-mimpinya.
"Assalaamu'alaykum mas."
"Wa'alaykumussalaam Princess," sahut Banyu.
"Mas, makasih ya makanannya sudah sampai. Kok kamu tahu sih kalau aku belum makan siang?"
"Aku tau kebiasaanmu yang sering skip makan siang kalau sudah bekerja." jawab Banyu. "Jaga kesehatan dong, Princess. Aku nggak mau calon istriku jatuh sakit karena keasyikan bekerja."
"Makasih mas. Kamu tahu aja aku lagi pengen banget makan kwetiau goreng. Kamu beli dimana?"
"Kok kayak orang ngidam pake kepengem banget, Dys?" Banyu tergelak. "Kita kan belum melakukan 'itu' masa kamu sudah ngidam?"
"Aah mas Banyu nggak usah ngeledek deh." Semburat merah muncul di pipi Gladys, membuat Banyu merasa gemas di ujung sana.
"Kwetiau itu aku yang masak. Sengaja aku kirim agak banyak. Biar kamu bisa bagi-bagi dengan para pegawaimu. Oh iya, itu ibu spesial bikin tiramisu untuk calon menantunya." Lagi-lagi ucapan Banyu membuat pipi Gladys semakin merona dan perasaannya membuncah mendengarnya.
"Ya ampun, so sweet banget sih kamu dan ibu. Memang aku nggak salah pilih calon suami."
"Eits, nanti kalau kita jadi menikah kamu yang harus masakin aku." goda Banyu lagi.
"Makasih ya mas. Oh ya mas, aku mau ngomong sesuatu."
"Lho, dari tadi kamu juga sudah ngomong kan? Ada apa sih kok mendadak serius banget? Kamu bukan minta menikah besok kan?"
"Hmm.. bukan itu. Lukas ajak aku diner." Raut wajah Banyu langsung berubah dan senyum menghilang dari wajah tampannya.
"Kamu tolak kan?" Dengan ragu Gladys menggeleng. Rahang Banyu mengeras melihat hal itu. Gladys langsung merasa menyesal menerima ajakan Lukas. Tapi itu semuakan karena permintaan mami.
"Mas, bisa kamu ke butik? Atau aku yang akan ke rumahmu. Aku akan ceritakan semuanya. Aku nggak mau kamu salah paham. Ini semua keinginan mami."
"Nggak perlu. Aku yakin tante Cecile memiliki alasan sendiri. Jangan khawatir aku cukup tau diri untuk menerima alasan tante Cecile. Oh ya, maaf aku nggak bisa ngobrol lama-lama. Aku harus mengajar. Assalaamu'alaykum." Banyi memutus video call setelah mengucap salam tanpa menunggu jawaban Gladys.
"Wa'alaykumussalaam mas," desah Gladys pelan.
"Kak, makan dulu. Ini sudah Endah siapkan piringnya."
"Bagikan saja buat yang lain. Aku nggak lapar. Aku mau mengerjakan dokumen-dokumen itu. Kamu tolong hubungi Nabila dan sampaikan permintaan maafku karena terpaksa membatalkan janji."
"Lho, kakak kan belum makan siang. Tadi pagi kakak cuma makan buah dan minum kopi. Nanti kalau kakak jatuh sakit, Endah yang akan diomelin sama Nyonya Mami. Makan ya, kak," bujuk Endah. Setelah beberapa lama membujuk akhirya Galdys mau makan walau hanya tiga sendok. Itupun dia makan tanpa semangat.
⭐⭐⭐⭐