Wajah bu Anis tegang saat melihat Bila datang, batinnya wah bisa perang dunia nih, ia tahu dari cerita Edwin, kalau Caca pernah ingin merebut Edwin, bu Anis berusaha menghalangi Bila dengan mengajaknya ngobrol hal-hal yang tidak penting, sampai Bila geram.
"Bu bentar, saya kesini memang mau menemui ibu, pak Wi dan.pak Hadi tapi tunggu saya menemui suami saya dulu, ok".
"Nanti saja mbak.....".
Bila tak menghiraukan Bu Anis, ia langsung saja menuju ruangan Edwin, sementara bu Anis makin merasa tegang.
Dan...tara wajah kesal Bila langsung tercetak, karena melihat suaminya sedang berakrap akrap dengan wanita yang jelas jelas ingin mengambilnya.
Bila segera masuk ke ruangan itu dengan senyum termanisnya, sementara Edwin dibuat salah tingkah, sedang Caca merasa bahwa langkah pertamanya untuk berada ditengah mereka berhasil.
"Eh....kak Caca, sudah lama" sapa Bila dengan ramah, walaupun sesungguhnya ia ingin sekali menjambak wanita itu.
"Eh kamu Bila, udah lumayan kok ini udah selesai, kita baru makan makanan faforit kita jaman SMA".jawab Caca seolah memanasi Bila.
"Gitu ya, ok silahkan lanjutin aku mau ke ruanganku dulu" Bila memilih pergi sebelum ia terprovokasi Caca.
Sementara Edwin juga hanya bersikap biasa, ia tidak menyadari kalau istrinya tersulut api cemburu.
Setelah keluar dari ruangan Edwin Bila melirik bu Anis kemudian mendekati wanita itu.
"Ga usah disembunyiin bu Anis".
" Maaf mbak" bu Anis merasa bersalah.
"Ya udah bu, bukan salah bu Anis juga, emang dasarnya suamiku yg ganjen, aku bawa makanan sayang kan bu kalo ga dimakan, bu Anis juga belum makan kan?" Bila mengaluhkan topik supaya bu Anis tidak semakin merasa bersalah.
"Ya mbak, saya belum makan, kita ke ruangan mbak Nisa saja ya".
" Ya bu".
Hari ini mood Bila benar benar rusak.karena melihat kejadian diruang itu.
Sejak Edwin pulang sampai selesai makan malam Bila tak berbicara sedikitpun dengan Edwin, ia hanya menjawab seperlunya jika suaminya bertanya.
Malam hari diruang keluarga Bila sedang menemani ayah mertuanya sambil menonton TV, Bila tampak menjaga jarak dari Edwin aura dingin muncul dari wanita itu sehingga Edwin tak bisa lagi mencairkan suasana hati istrinya.
Bahkan ketika tidur Bila sengaja tidur lebih awal suapaya Edwin tidak bisa membujuknya.
Dua hari sudah berlalu Bila masih diam dalam kemarahannya, membuat Edwin semakin tak tahu harus berbuat apa.
Sore hari ketika jam pulang Edwin sengaja pulang lebih cepat, untuk menyusul Bila ke butik, tapi seperti dugaannya Bila masih tetap diam, walau ia mau pulang bersama.
"Bila, kamu kenapa sih, jangan cuekin aku terus".
"Ga papa kok?".
"Kamu masih masih marah sama kejadian pas Caca ke kantor?".
"Baru sadar ya" mendengar perkataan Edwin Bila dengan ketus menjawabnya "kakak ga mikir ya, harus aku diam bera lama lagi kak?, atau kakak emang udah bosen sama aku?" Bila mengeluarkan semua unek uneknya.
"Bila, kok kamu ngomongnya gitu?" Edwin kaget melihat kemarahan Bila.
"Dulu kakak, selingkus sama kak Vita, sekarang kak Caca juga" Bila berbicara dengan nada keras sambil menangis.
"Bila....., kamu jangan samain Vita sama Caca, ya aku dulu salah aku pernah khianati kamu, tapi itu karna aku memang pernah cinta sama Vita, tapi Caca" Edwin seolah frustasi dengan tuduhan Bila" Caca, kamj tahu perasaanku sama Caca aku ga ada sedikitpun tertarik sama dia".
"Kakak emang ga tertarik sekarang, tapi kalo kak caca terus datengin kakak, ga menutup kemungkinan kan kakak akan tertarik sama dia".
Suasana semakin memanas, membuat Edwin tidak fokus menyetir, sehingga ia memutuskan untuk menepikan mobilnya, kemudian mengajak Bila untuk turun.
Mereka menuju sebuah restoran, setelah menemukan tempat yang terpisah dari ruang resto utama, Edwin dengan sabar mengajak Bila ngobrol, ia tahu benar istrinya saat ini sedang dalam kemarahan yang besar.
"Sayang, kamu beneran cemburu sama Caca?".
"Aku ga ada masalah sama kak Caca, tapi sama suamiku".
"Suami kamu kenapa?".
"Suamiku genit, ketemu wanita genit kakak tau jawabannya kan".
"Ok....aku minta maaf, kejadian kemarin aku janji ga akan terulang, terus aku harus gimana".
"Terserah".
"Yakin terserah?".
"Aku ga bisa sama kakak 24 jam, jadi terserah kakak mau nyakitin aku, atau menjaga pernikahan kita".
"Bila.....aku janji aku ga akan terjatuh dalam rencana Caca, karena kamu selalu ada di sini" Edwin berkata sembari menyentuh tepat didadanya "cukup dulu aku sakitin kamu, aku ga akan lakuin itu lagi, Ok".
Bila menangis ia merasa kesal, tapi juga bahagia karena perkataan suaminya "aku pegang janji kakak ya".
"Ya sayang pegang janjiku" Edwin menggenggam tangan Bila dengan Erat, kemudian mengusap pipinya yang basah berurai air mata "aku sayang banget sama kamu, ga akan ada yang lain" ia meyakinkan Bila.
"Aku juga sayang kakak, aku takut kakak meninggalkan aku".
"Ga akan, lecuali maut".
Hari itu hubungan Bila dan Edwin kembali terselamatkan.
Malam hari tanpa sengaja ketika sepasang suami istri itu sedang bersiap tidur Bila melihat kartu undangan, tergeletak dinakas letika ia menaruh teko berisi air putih, ia mengambil kartu itu kemudian menunjukan pada suaminya.
"Ini apa kak?".
"Kartu undangan reuni angkatanku".
"Kakak dateng, panitianya kak Caca lho".
"Kalo kamu ga suka aku ga dateng".
"Terus temen temen kakak bisa ngeledekin kakak, bilang suami takut istri gitu?".
"Ya... ga papa, yang penting kamu ga ngambek lagi, susah aku kalo kamu ngambek".
"Emang aku segitu ngambekannya ya?".
"Tadinya sih ga, ga tau sejak waktu itu tiba tiba ngambekan".
"Aku ga papa kok kalo kakak mau dateng".
"Kamu ikut ya".
"Ga bisa, aku ga mau ninggalin papa sendiri".
"Jadi".
"Kakak datang aja, asal jaga tuh mata, awas kalo genjen ganjenan sama kak Caca".
"Ga lah, ganjennya sama kamu aja," balas Edwin sambil menarik tubuh Bila kedalam pangkuannya "siap aku ganjeni ya".
"Ih kakak, dasar ganjen" Bila memeluk Erat suaminya lalu.
hi.....hi....hi readers, mas Edwin sama Bila balik lagi.
tapi maaf ya autor masih moodian
thanks for suport ya.....selalu tunggu Bila dan Edwin.
— Bald kommt ein neues Kapitel — Schreiben Sie eine Rezension