"A-aku dimana?"
Sophia terduduk dan melihat sekelilingnya. Ia melihat ke arah kaca dan terkejut melihat penampilannya.
"Hera?"
Sophia menutup mulutnya tak percaya.
"Yang benar saja," ia memegangi rambut pirang milik Hera yang hanya sebahu.
Sophia berdiri dari duduknya dan menuju ke kaca.
"Apakah aku di dunia dongeng?" Sophia melihat anggota tubuhnya sendiri dari atas sampai kaki.
"Keinginanku menjadi Hera terwujud? Hah..." ia menghela nafas frustasi.
"Yang benar saja," Sophia menatap matanya di cermin dan menyadari suatu hal yang ganjil.
"Bukankah mata Ksatria Hera berwarna abu-abu?"
Sophia mengingat kembali ceritanya. Pada awalnya Ksatria Hera memiliki warna bola mata berwarna hitam pekat tetapi karena ia sangat sering menangis, warna bola matanya memudar menjadi abu-abu.
"Kenapa warna bola mataku biru?" Sophia berbicara pada dirinya sendiri saking bingungnya.
Saat ia memegang baju yang ia kenakan, Sophia baru menyadari jika tasnya dan buku-buku dongeng lain miliknya tidak ada di sekitarnya.
"Kemana tas dan buku-buku ku?" Sophia mencari ke sekitarnya.
"Kulit sapi?" Sophia meraba bahan baju yang ia kenakan.
Sophia mengenakan sebuah crop top tanpa lengan yang terbuat dari kulit sapi.
"Hera!" Seseorang mendobrak pintu membuat Sophia terkejut.
"Komandan Haides memanggilmu."
Sophia menatap gadis itu bingung.
"Hera berhenti menangis? Komandan memanggilmu," katanya menghela nafas berat.
"Kau siapa?" tanya Sophia polos.
"Yang benar saja. Aku asisten pribadimu Lily," katanya menarik-narik tangan Hera.
"A-aku bukan He-hera yang asli."
"Apa maksudmu?" ia memiringkan kepalanya.
"Aku berasal dari dunia nyata, aku serius. Dan ini adalah dunia dongeng namaku Sophia," Sophia memegang lengan gadis itu.
"Tidak mungkin, kau Hera sang ksatria."
"Lily mungkin ini terdengar gila tetapi aku benar-benar bukan Hera, kami seperti hm...bertukar jiwa?"
Lily memegang kening Sophia.
"Kau demam?"
"Tidak," bantah Sophia.
"Kau tidak akan mengerti ini tapi percayalah aku bukan Hera melainkan di dalam tubuh Hera."
"Ya ampun kau benar-benar sakit, Komandan Haides akan membunuhku. Ah...bagaimana ini?" Lily melompat-lompat ketakutan.
Brakk!
Pintu terbuka kasar dan seorang laki-laki jangkung mengenakan baju zirah memasukinya.
"Ko-komandan?"
"Kenapa kau lama sekali Hera? Cepat kenakan baju zirahmu, kita akan melakukan ekspedisi sebentar lagi.
"Ekspedisi?" Sophia alias Hera berguman.
"Cepatlah! Prajurit lain telah menunggu."
"Tunggu. Aku tidak bisa, aku bukan Hera yang sebenarnya."
"Hah? Kau ini bicara apa?" Komandan Haides beralih ke Lily.
Lily hanya menunduk takut.
" Aku rasa, aku dan Hera bertukar tubuh. Namaku Sophia," jelas Hera singkat.
"Sophia?"
Komandan Haides memandang Lily bertanya-tanya apa yang terjadi.
"A-aku juga tidak mengerti komandan, tadi aku datang kemari dan Hera bilang bahwa ia bukan Hera bahkan ia menanyakan siapa aku."
Lily mencicit ketakutan.
"Kau benar-benar tak apa-apa kan nak?"
Komandan Haides mencengkram erat bahu Hera.
"I-iya aku tidak apa-apa tapi-"
"Ayo!" Komandan Haides langsung menarik Hera keluar rumah.
"Pakai baju zirahmu dan naik kudamu!" Hera melirik sekilas kuda yang ada di sebelah rumah kayunya.
"Biar kubantu," Lily membantu Hera memakai baju zirahnya.
"Kita akan kemana?"
"Hutan Moist tentu saja, kemarin kau baru melakukan ekspedisi setengah perjalanan."
Lily menjelaskan sambil memasangkan sebuah besi di lengannya.
"Haruskah aku mengenakan ini?"
"Tentu saja," jawab Lily cepat.
"Ini berat," gerutu Hera.
"Ini kudamu," Lily menyerahkan kuda berwarna putih kepada Hera.
Hera mundur selangkah terkejut. Hera belum pernah melihat kuda sebesar ini di dunia nyata, bahkan menaikinya.
"Seperti kuda Hera," guman Hera.
"Huh?"
"Ti-tidak apa-apa," balas Hera cepat.
Hera mengelus kudanya pelan.
"Ba-bagaimana cara menungganginya?"
"Apakah kau benar-benar lupa segalanya?" sahut Komandan Haides.
"Pegang saja talinya kemudian kau naik dan duduk di pelananya."
Hera mengikuti arahan Komandan Haides.
"Ayo jalan!"
Komandan Haides menghentakkan kakinya sedikit ke perut kuda dan kudanya yang berwarna cokelat tua berlari ke depan. Hera mengikuti apa yang dilakukan oleh komandannya. Secara perlahan kuda putih Hera berlari mengikuti kuda yang ada di depannya.
"Fiuhh..." Hera menghela nafas lega.
"Lebih cepat lagi Hera! Jika tidak, kita akan terlambat."
Kuda milik Komandan Haides melesat ke depan lebih cepat. Hera dengan ragu mengebaskan tali kudany. Hera terkejut pada saat kuda miliknya melesat cepat dan beruntungnya, ia tetap dapat menjaga keseimbangannya.
Mereka berdua pun sampai di sebuah camp. Semua orang menunduk hormat pada saat Komandan Haides dan Hera turun dari kudanya.
"Salam hormat kepada Komandan Haides."
"Salam hormat kepada Ksatria Hera."
Hera melihat sekelilingnya.
"Camp ini."
"Sepertinya aku benar-benar masuk ke dalam buku dongengku," Hera melihat sebuah camp berwarna merah dua dan abu-abu satu.
"Apa yang kau tunggu Hera? Ambil pedangmu di tenda itu."
Hera menuju ke camp berwarna abu-abu yang ditunjuk Komandan Haides. Hera masuk ke dalam sana dan ia mengambil sebuah pedang dengan lambang unfinity di pegangannya yang berada di meja.
"Inikah pedangnya?" Hera memegang pedang tersebut secara perlahan dan mengangkatnya.
"Ksatria. Maafkan aku mengganggumu tapi ini bukan waktunya untuk menangis," kata seorang prajurit yang sedang mengambil sebuah peta di sebelah Hera.
"Ya," jawab Hera memalingkan wajah.
"Segitu seringnya Hera menangis," batin Hera.
Hera keluar bersama prajurit itu.
"Baiklah. Semuanya siap!"
Semua orang naik ke kuda mereka masing-masing.
"Dan bergerak!"
Semua prajurit berjalan mengikuti komando Komandan Haides, jumlah prajurit yang ada sekitar sembilan prajurit.
Mereka semua mulai memasuki sebuah hutan. Kuda milik prajurit yang bertemu dengan Hera di dalam camp tiba-tiba tergelincir.
"Hati-hati! Jalanannya sedikit curam," Komandan Haides memberi peringatan saat menyadari salah satu prajuritnya tergelincir.
"Kau baik-baik saja?" tanya Hera.
"Ah. I-iya," jawabnya mengelus kudanya pelan.
Mereka berdua berjalan di barisan pertama setelah Komandan Haides.
"Siapa namamu?" tanya Hera memecah keheningan.
"Na-namaku Kharysor."
"Kharysoar?" guman Hera.
"Kau tidak tanya namaku?" tanya Hera.
"A-aku sudah tahu," jawabnya bingung.
"Ah. Iya ya," Hera salah tingkah.
"Tidak biasanya dia seperti ini," guman Kharysor.
"Apakah Hera tidak seramah ini?"
"Hah? Ma-maaf aku tidak mengerti maksudmu."
"Kau percaya jika kukatakan aku bukanlah Hera?"
"Ma-maaf?"
Kharysor semakin bingung.
"Yang pasti aku bukan Hera yang asli, aku berasal dari dunia nyata."
"Dunia nyata? Me-memangnya ini apa jika bukan dunia nyata?"
"Ini adalah dongeng di dunia nyata," bisik Hera.
"A-aku tidak me-"
"Bisa jangan gugup, aku hanya merasa tidak nyaman."
"Baiklah."
"Prajurit!" teriak Komandan Haides.
"Bersiaplah, kita sudah sampai di Hutan Moist. Mari berpencar! Hera dan Prajurit Kharysor ikut aku!"
Kharysor mengangguk.
"Prajurit Demure kau bersama Noah dan Alaska, kalian bergi ke arah Timur. Prajurit Leucos kau bersama Mats dan Owen kalian pergi ke arah Barat. Kami akan pergi ke arah Selatan."
Mereka semua pun berpencar.