"Ayah, please, jangan bahas lagi masalah itu. Aku tidak ingin dijodohkan dengan siapa pun. Aku bukan anak kecil lagi, oke?" protes seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang baru saja mengadakan pesta hari jadinya. Semua berdatangan sebagai tamu, mulai manusia hingga anggota pack baik dari kelompoknya, juga kelompok lain.
Tatapannya kini tertuju pada pria paruh baya yang masih tampah gagah, seolah tak terkikis usia, kecuali rambutnya yang mulai kelabu.
Gerard yang sejak tadi tengah berkutat dengan lembaran di hadapannya, dengan terpaksa mengangkat wajah demi memandang wajah masam putrinya.
"Apa yang kurang dari Zac, Elle? Dia pria yang kuat dan tangguh, selain itu ia merupakan kandidat yang sesuai untuk memimpin pack kita, karena ayah tidak beruntung karena tidak memiliki seorang putra."
Gerard menjeda kalimatnya. "Lagi pula, ia sahabatmu sejak kecil. Bukankah akan lebih mudah jika menikahi sahabatmu sendiri, hm?"
"Itu lagi yang Ayah bicarakan. Aku bosan. Yang pasti aku akan mencari sendiri pasangan yang pas untukku, bukan pilihan Ayah, dan tentu saja bukan Zac."
Mirielle mengayun langkah keluar dari istananya, merebahkan bokong di depan kemudi dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tak ingin pulang malam ini. Sepertinya menghabiskan malam di kelab akan terasa menyenangkan baginya, dan setidaknya bisa menetralkan suasana hatinya.
Gadis itu melangkah tenang, memasuki Glory Club, kelab malam yang biasa ia datangi bersama kawanannya, jauh sebelum mereka terpecah menjadi dua kubu. Kini hubungannya dengan Jenna, salah satu dari pack yang memisahkan diri itu, mulai renggang. Tak pernah lagi mereka bertemu sekedar pergi ke kelab malam bersama, apalagi untuk hal lain yang lebih private.
Tak ada yang menyadari kehadirannya di sana, yang biasanya langsung disambut dengan segelas margarita. Namun, salah satu bartender yang juga merupakan seorang werewolf memberikan apa yang diinginkan oleh Mirielle. Segelas vodka tonic.
Gadis itu menghirup lalu menyesapnya sedikit. "Thanks, Jack, sungguh aku membutuhkan ini. You're the best"
Mirielle meneguk minuman di tangannya dengan tergesa. Seolah ada sekelompok vampire yang mengejarnya. Tidak, tidak. Bukan seperti itu, Mirielle memang terbiasa menenggak minuman beralkohol layaknya minuman biasa yang tidak memabukkan. Ia sudah terbiasa dengan itu. Tak ada satu pun minuman yang bisa membuatnya teler.
"Satu lagi, Jack!" pekiknya, yang langsung dipatuhi oleh bartender bernama Jack yang dengan cekatan segera membuatkan apa yang diminta gadis di hadapannya.
Minuman yang sudah tersedia, diletakkan di atas meja oleh Jack, tetapi sayang, belum sempat gadis itu meraih gelasnya, seseorang sudah lebih dulu merebut dan meneguk minuman tersebut.
"Hmm ... nikmat juga. Buatkan satu untukku yang seperti itu. Juga untuk nona ini," ucap pria itu seraya menyerahkan beberapa lembar uang pada Jack. Ia kemudian menoleh pada Mirielle. "All is on me."
Mirielle mendengkus. Dalam hatinya membatin betapa soknya pria itu. Meski memiliki kelebihan paras rupawan dengan rambut kecoklatan, rahang tegas, dan manik hazel menawan, tak akan bisa begitu mudah membuat Mirielle jatuh ke dalam pelukannya. Apalagi sampai menyilangkan kaki di pinggangnya.
"Kau hanya sendirian?" tanya pria itu, berusaha mengakrabkan diri. Sungguh, Mirielle tak tertarik pada pria itu, kecuali aroma tubuhnya yang sejak tadi mengusik konsentrasi Mirielle.
"Seperti yang kau lihat. Aku sendiri, dan tetap bersinar," jawab Mirielle, dengan gaya anggun dan penuh percaya diri. Namun begitu, ada dorongan aneh yang berkali-kali mendesaknya untuk menggeser duduk lebih dekat dengan pria di sampingnya.
Mirielle masih berusaha menahan diri. Ia sedang berada di ruang publik yang tak mungkin sembarangan melakukan berbagai hal sesuka hati, itu sungguh bukan gayanya.
Lagi pula, apa kata orang-orang jika tahu putri tunggal Alsen mempermalukan keluarga dengan melakukan tindakan mesum di ruang terbuka, ia tak ingin membayangkan itu.
"Siapa namamu? Aku Ashton. Kau bisa memanggilku Ash, kalau kau mau."
Mirielle menerima uluran tangan pria itu. "Mirielle. Kau bisa panggil Elle. Singkat dan jelas."
"Oke, Elle. Nama yang cantik, secantik orangnya." Pria itu berusaha melancarkan rayuan gombalnya pada Mirielle yang hanya menanggapi dengan tenang.
Hanya senyum simpul yang tidak terlalu lebar, ia berikan khusus untuk orang asing yang berlagak seolah sudah menjadi teman akrabnya malam ini. Tak apa. Hitung-hitung ia jadi punya teman untuk sekedar melupakan kekalutan hatinya hari ini.
Setidaknya ia bisa melupakan sejenak perihal perjodohan yang tak masuk akal itu. Bukankah usia Mirielle baru menginjak 25 tahun? Mengapa ayahnya begitu tergesa, seolah sekumpulan vampire akan menyerang jika ia tak memiliki keturunan.
Oke, berhenti membicarakan vampire atau menyebut bangsa mereka. Karena tak ada yang tahu, salah satu di antara tamu di kelab itu bisa saja seorang vampire. Meski makhluk itu menurut Eleanor—pengasuhnya—hanyalah makhluk mitologi, entah dari mana, tetap saja cukup membuat Mirielle cemas.
Bagaimana jika di kelab itu memang ada bangsa vampire yang datang, entah dengan tujuan apa?
Ia bisa tenang. Hanya saja dalam dirinya ada sesuatu yang sedari tadi membuatnya gelisah. Tubuhnya merasakan panas yang meletup-letup dan membuatnya tak nyaman. Aroma yang entah apa, tak henti menyeruak ke rongga hidungnya, membuat Mirielle makin tak jenak.
"Ada apa? Kau tampak tidak nyaman. Apakah kau—"
"Tunggu, Ash, apakah kau merasakan ruangan ini jadi makin panas?" tanya Mirielle yang mulai menggeliat gelisah, lalu melepaskan kancing teratas kemejanya. Ia mengibaskan tangan, tanda bahwa dirinya tak tahan dengan hawa kelab yang serasa layaknya ruang sauna.
Ashton menggeleng."Mungkin kau butuh minuman dingin. Atau mungkin—"
Mirielle tak tahan lagi. Ia menarik punggung leher Ashton mendekatkan wajah padanya, hingga membuat pria itu berdiri. Dengan tanpa permisi, Mirielle mendaratkan kecupan intens pada Ashton yang mulai ikut merasakan hawa panas dari tubuhnya.
Namun, pria itu tak mampu menolak. Ia membalas pagutan demi pagutan yang diberikan oleh Mirielle padanya. Hingga menyisakan engah yang tertahan sesaat. Dan di detik berikutnya, kilat keemasan tampak di manik Mirielle, membuat Ashton sesaat bertanya-tanya tentang apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan gadis itu.
"Haruskah kita bawa ini ke ruang private?" tanya Ashton, yang tampaknya mulai terpancing akibat hadiah dari Mirielle untuknya. Gadis itu mendengkus.
"In your dream, Ash. I'm still virgin, by the way. Selamat tinggal."
Mirielle memutar tubuh dan mengayun langkah menjauh dari kelab yang makin malam makin terasa hingar-bingarnya. Menyisakan Ashton dengan hasrat tertahan yang dengan terpaksa harus terjeda.
Matanya menatap punggung gadis menawan itu, semakin menjauh dan menghilang di gelap malam.
Ia ingin tahu, siapa sebenarnya Mirielle, gadis misterius yang sesaat membuatnya nyaris kehabisan napas. Ashton bahkan tak ingin berkedip sekejap pun. Tidak, hingga gadis itu benar-benar hilang dari pandangannya.
"Who are you, Mirielle?"