"Bagaimana, Jen? Mau kan ikut ke rumah saya?" Jeremi kembali bertanya untuk memastkan. Sebagai seorang kakak yang bijak, dia hanya tidak bisa membiarkan adiknya luntang-lantung tanpa tujuan yang tentu.
Tak ada pilihan yang lain untuk Jeni saat ini. Tak memiliki tempat tinggal dan dia juga tak memiliki banyak uang lagi. Sementara dengan Wili, rasa Jeni tak akan berani untuk mengadukan keluh-kesahnya saat ini terlenih mengenai urusan ekonomi. Jeni tidak mau kalau Wili akan berpikir yang aneh-aneh terhadapnya.
Dengan berat hati, Jeni terpaksa menganggukan kepalanya, mengiyakan ajakan Jeremi untuk tinggal di rumahnya.
"Baguslah, Jen. Saya mengerti kalau kamu memang tidak suka dengan papah kamu. Tapi, turunkan ego karena ini hanya sementara sebelum pernikahan kamu." Jeremi kembali berucap dengan bijak.
Jeni paham dan ia mengangguk. Mereka kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kendaraan masing-masing di tempat parkir.