Happy Reading
***
Guk!
Guk!
"Eh, anjing ini? Ini 'kan?"
Gluk!
"Anjing yang sama bukan?"
Mata Ocean mengerjap tak terkendali saat melihat seorang pria turun dari tangga dengan penampilan yang sedikit berantakan namun terlihat seksi di matanya.
"Astaga!" pekik Ocean dalam hati, berpura memalingkan wajah namun matanya tetap berusaha mencuri pandang. "Dia 'kan pria yang tadi pagi? Aku tidak mimpi 'kan? Huh, panas iya," ucapnya kelabakan dalam hati. Mencoba melepas rangkulan tangan Mamanya yang masih melingkar di tangannya. Ia khawatir jika Mamanya bisa mendengar deru jantungnya yang tiba-tiba berdebar tak terkendali dan, ish … pipinya pun terasa sangat panas, "Apa-apa ini? Apa yang terjadi pada diriku? Sadar, Oce. Dia Pria!"
"Ada apa?" suara Javas yang berat dan terdengar serak memenuhi seantero ruangan. Dia kebingungan melihat ke dua pasang mata yang menatapnya dengan intens dan, laki-laki muda yang mencoba berpaling darinya itu ....
"Siapa dia?" Javas memperhatikan setiap detail gerak langkahnya yang mencoba bersembunyi dibalik punggung Pria tua yang terlihat berwibawa. Matanya sedikit pun tidak lepas mengamati gerak tubuhnya yang terlihat seperti ....
"Oh, ayolah," gumam Ocean serba salah saat mendengar suara Javas yang berat dan serak. Tubuhnya tiba-tiba merinding, tiba-tiba menghangat dan tiba-tiba berkeringat. Padahal ini ruangan ber-Ac. "Apa yang terjadi padaku?"
"Dia menghindari tatapanku?" Mata Javas menangkap sesuatu yang dipahami dan diketahui olehnya. "Jangan katakan jika dia ...," gumamnya mengedipkan mata, feelingnya sedang bermain saat ini. Jika benar dugaannya ....
Guk!
Guk!
Swanna mengendus-ngendus tubuh Ocean, mencari perhatiannya dengan cara menarik celana yang dikenakannya.
"Astaga. Kau penyelamatku." Ocean berjongkok dibalik tubuh Papanya, bersembunyi dari tatapan Pria bermata biru yang terasa memperhatikannya.
"Dia tidak memperhatikanku 'kan?" Ocean semakin salah tingkah dibuatnya. Dia mengelus dadanya, menghirup udara sebanyak mungkin, mencoba menenangkan dirinya sendiri supaya tidak membuat orang curiga akan sikapnya yang seperti cacing kepanasan.
Guk!
Guk!
"Ssstt," Ocean menyuruh anjing itu untuk diam dengan mengelus kepalanya.
"Kenapa kalian berdua diam saja?" Javas bertanya pada Pria dan wanita yang belum dikenalnya ini. Dia teramat asing dengan kedua orang ini. Namun tatapan mereka berdua, entah mengapa membuatnya merasakan kehangatan akan kenyamanan. Seolah ia merasa dekat dengan mereka. Apalagi dengan wanita tua yang masih terlihat cantik itu, seperti ada tali penghubung yang pernah melekat di hatinya.
"Javas bukan?" tanya Maya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Heum," Javas menggaruk kepalanya salah tingkah. Kenapa aku seperti mengenal wanita ini? Siapa dia?
"Javas!" Maya langsung menghampiri Javas dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah tidak memperdulikan keadaan sekitar. Tidak peduli dengan tatapan Yasa dan Sari yang sinis akan dirinya.
Sedangkan Ocean lagi-lagi hanya kebingungan dengan situasi ini. Kenapa Mamanya bisa mengenal pria bermata biru itu? Pria yang ada dalam pikirannya selama seharian ini. Siapa dia? Kenapa aku jadi gugup seperti ini?
Ocean tidak berani melihat ke arahnya, dia menetapkan fokusnya pada anjing yang belum dikenalnya. Sama seperti pemiliknya, mata anjing yang terlihat seperti permata biru lautan ini benar-benar membiusnya. "Kau sangat cantik," gumam Ocean mengecup hidung Swanna.
"Jangan dekat-dekat dengannya, Oce," ucap Sari tidak suka.
"Pergilah, hush … hush!" Yasa mendelik kesal pada anjing Javas. Bisa-bisanya di saat seperti ini, makhluk menyebalkan itu ada di sini dan hei … lihatlah penampilan putranya yang seperti 'angsak. Membuatnya malu. Jika tidak ingin bertemu dengan mereka setidaknya jangan keluar dalam keadaan berantakan seperti itu.
"Siapa, Pah?" Ocean berbisik di belakang tubuh Papanya dengan mata tetap melihat Swanna. Pun dia tidak memperdulikan desah napas gusar Yasa dan Sari yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berjongkok.
Anjing seimut ini tidak boleh didekati. Mana diusir lagi … huh! Menyebalkan.
"Javas Deniswara, putra mereka, Oce," jawab Mahad acuh. Jujur, Mahad tidak terlalu menyukai Javas. Karena Javas lah, Maya tidak mau diajaknya pergi dari rumah bordil saat itu. Istrinya terlalu menyayangi Javas, padahal Javas bukanlah putranya.
"Eh … namanya siapa, Pah?" Ocean mendongakkan kepalanya, matanya mengerjap penasaran, "Siapa tadi?" batinnya menggigit bibirnya, mencuri lihat apa yang sedang Mamanya lakukan dengan Pria bermata biru itu.
Yang ditanya hanya diam saja, Mahad sedang memperhatikan gerak langkah istrinya. Setelah sekian tahun lamanya, biarlah istrinya melepas kerinduan pada Javas.
"Kau masih mengingatku?" tanya Maya yang ragu-ragu akan menyentuh Javas. Javas yang sekarang bukanlah Javas bayinya dulu, dia sudah menjadi lelaki yang amat tampan dan gagah. "Boleh bibi menyentuhmu? Memegang tanganmu?" tanya Maya mengulurkan tangan, memegang tangan Javas yang terkepal. Maya ingat betul, tangan ini dulu berwarna putih kemerahan, mungil dan terasa lembut. Dan lihatlah sekarang, tangan mungil ini menjadi kasar, kulitnya pun coklat terpanggang matahari dan urat-urat kasar yang keluar di punggung tangannya menunjukkan betapa hidup yang dilalui Javas teramat berat.
"Bagaimana pekerjaanmu? Apakah sangat berat?" tanya Maya, sambil mengecup lembut punggung tangan Javas tanpa rasa canggung. Dulu dia sering melakukan ini pada Javas.
"Eh, maaf," Javas semakin tersipu salah tingkah mendapat perlakuan sehangat ini dari seorang wanita. Yang Javas tahu semua wanita di dunia ini adalah makhluk paling mengerikan dan menjijikan. Berbeda dengan wanita ini entah mengapa walau tidak mengenal wanita ini ia ingin sekali memeluknya.
Tapi Javas ragu dan takut untuk memeluknya. Ia takut kejadian yang lalu akan terulang lagi. Sangat menakutkan!
"Anda siapa? Maaf saya tidak mengenal Anda," ucap Javas melepas pegangan tangan Maya dengan pelan. Dia takut membuatnya tersinggung.
Mendapat perlakuan seperti itu, Maya hanya tersenyum kecil. Lalu dia melihat ke arah suaminya. "Pah, papah, kemarilah," panggilnya dengan suara bergetar. "Lihat, Pah. Javas sudah bisa bicara, sangat lancar …," ucap Maya melambaikan tangannya menyuruh suaminya mendekat. "Dia sangat tampan 'kan? Sesuai prediksiku dulu."
Mahad tersenyum kecil melihat wajah Maya yang berseri-seri dan memerah menahan tangis bahagianya, "Kau sangat merindukannya, sayang?"
Maya dengan cepat mengangguk dengan air berlinang, "Sangat, hiks. Aku sangat merindukannya."
"Eh," Alis Javas mengernyit, ia menggaruk kepalanya, tidak mengerti dengan situasi ini.
Lalu Javas melihat Mahad yang sedang melangkah. Dan dengan cepat ia mengikat asal rambut ikal sebahunya. Entah mengapa ia ingin terlihat rapi di depan Pria tua yang dipanggil "Papa" oleh wanita ini.
Apa hubunganku dengan mereka berdua? Kenapa aku seperti terikat dengan mereka? Jangan-jangan aku anak mereka? Cih, tidak mungkin! Javas terkekeh dalam hatinya. Ia yakin betul laki-laki yang sedang bermain dengan Swanna adalah putra mereka bukan dirinya.
"Maafkan istri saya sebelumnya, Javas Deniswara."
Deg!
Dipanggil dengan nama lengkapnya seperti ini, hatinya semakin hangat dan membuncah riang. Orang tuanya tidak pernah memanggil namanya dengan hangat namun penuh wibawa seperti ini. Yang ada hanya teriakan menakutkan seperti iblis, teriakan memanggil penuh tekanan dan teriakan perintah penuh luka yang selalu di dengarnya.
"Kau pasti tidak ingat kami. Saya Mahad," Mahad mengulurkan tangannya mengajak Javas bersalaman.
"Javas, tuan." Javas menerima uluran tangan Mahad dengan hangat.
"Hem, dan ini Maya, istri saya."
"Ahh, jadi ini yang namanya bibi Maya." Javas terkekeh, jadi ini wanita yang disebut-sebut wanita gila itu sejak tadi.
"Iya ini bibi Maya. Kau mengingatku?" tanya Maya dengan mata berbinar.
Javas menggeleng pelan, "Wanita itu yang memberitahuku," ucapnya acuh tanpa melihat Sari.
Dan Maya tahu siapa yang dimaksud Javas, "Tidak masalah, boleh bibi memelukmu?"
Javas ragu menerima permintaan Maya. Ia paling takut dengan wanita, apalagi wanita yang sudah tua seperti Maya.
Lantas Javas melihat ke arah Mahad meminta izin padanya. Mahad dengan senang hati mempersilahkan Javas memeluk istrinya.
Tanpa menunggu aba-aba, Maya dengan cepat memeluk Javas dengan erat. Menangis sesenggukkan dalam dekapan Javas.
"Eh, Bi." Javas mengangkat kedua tangannya tinggi. Ia takut menyentuh wanita ini.
"Kenapa lama sekali, hiks. Dulu kau sangat rapuh, sekarang tubuhmu sangat gagah, Vas." Maya menepuk-nepuk punggung Javas yang terasa keras.
Javas hanya terkekeh mendengar setiap penuturan Maya. Merasa nyaman dipeluk oleh Maya dengan perlahan dia menurunkan tangannya, menyentuh punggung Maya. Memberanikan diri untuk memeluk tubuh Maya yang terasa rapuh.
"Kau pasti banyak olahraga. Pasti pacarmu banyak 'kan?" cerca Maya yang tidak bisa mengendalikan dirinya karena terlalu merindukan Javas.
"Haha, ini karena pekerjaanku sebagai buruh kasar, Bi," ucap Javas mengusap punggung Maya dengan lembut. "Maaf, aku tidak mengingatmu, Bi."
Maya menggeleng cepat, "Kau ini!" Maya melepas pelukannya, memukul kecil dada Javas, "Tidak masalah, bibi akan mengingatkanmu, ok. kau akan ingat semuanya." Maya kembali memeluk Javas. Dia benar-benar merindukan bayi kecilnya yang sudah dianggap putra kandungnya sendiri.
Javas menggeleng ragu, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga, apa yang harus ia lakukan. Jika bukan Maya, mungkin wanita yang bergelayut manja dalam pelukannya ini akan ditebas dengan pisau.
"Mana Javas ingat, Mah." Mahad menggelengkan kepalanya gemas melihat wajah polos Maya. "Kau sekarang 28 tahun 'kan?" tanya Mahad pada Javas, mencoba melepas pelukkan istrinya yang merekat seperti lem. Sepertinya Javas sudah tidak nyaman di peluk oleh wanita tua ini.
"Eh, i-iya, tuan."
"Dengar!" Mahad menyentil dahi Maya, "sudah 26 tahun berlalu, ok."
Maya mencebik kesal atas perlakuan suaminya.
Lantas mereka berdua pun tertawa bersama atas kepolosan Maya.
Bagaimana dengan Yasa dan Sari?
Dan Ocean?
"Umurmu tidak jauh beda dengan putra Bibi," ucap Maya membenarkan kaos yang dipakai Javas.
"Putra Bibi?"
Maya mengangguk, ia melihat Ocean yang masih asyik bermain dengan anjing putih yang terlihat menggemaskan itu. Malah sekarang Ocean sudah duduk dilantai dengan nyaman. Untung saja putranya tidak iri. Biasanya dia sangat overprotektif pada dirinya.
***
Salam
Busa Lin
Biar nggak terlalu sepi bacanya aku kasih lagu buat nemenin kalian …. Hahah!
Enjoy!
Title track :*)
Rihanna - Kiss It Better
Happy Reading
***
Anjing ini benar-benar menarik perhatian Ocean. Dia bisa sedikit melupakan rasa gugupnya dengan mengalihkan perhatiannya pada anjing ini.
"Guk … guk!" bahasa Swanna, "Kau siapa?" Swanna menggoyangkan ekornya kekanan dan kiri. Menandakan jika ia sangat menyukai dan merasa nyaman berada didekat Ocean.
"Sssttt, jangan berisik." Ocean menyuruh anjing ini diam. Walau dia belum tahu hubungan antara orangtuanya dengan pria itu namun dia tidak ingin mengganggu suasana haru di antara mereka bertiga.
"Aku Ocean, salam kenal …," bisik Ocean lirih, mengedipkan matanya menatap mata indah Swanna, "Kau jantan atau betina? Punya nama? Siapa namamu? Pria itu pemilikmu, 'kan? Dia orangnya seperti apa? Baikkah? Galakkah? Yang mana? Pasti dia galak 'kan? Kau pasti sering dimarahi. Eh, kau tidur dengannya, iya? Bagaimana rasanya tidur dipelukannya? Pasti rasanya sangat hangat dan nyaman, iya 'kan?" tanya Ocean tanpa henti berharap Swanna dapat berbicara dan menjawab pertanyaannya. Setidaknya jika anjing ini bisa bicara, dia tidak merasa sendiri di tempat asing ini.
"Mau jadi temanku? Aku punya kekasih, dia sangat menyukai anjing. Jika pemilikmu mengijinkan, aku akan mengenalkannya padamu, heum. Mau? Jika tidak diizinkan aku akan menculikmu." Ocean mengecup dan menggigit kecil pipi Swanna dengan gemas, "Dasar menggemaskan! Sayangnya Papaku tidak mengizinkan memelihara binatang. Kau lihat pria tua itu?"
"Guk … guk … guk!" Swanna melompat kecil, berlari mengitari Ocean dengan girang.
"Hahaha, dia Papaku, sangat mengerikan 'kan?"
"Guk … guk!"
"Dan itu Mamaku, cantik bukan?"
"Guk … guk!"
"Aihhh, lucunya." Ocean tertawa riang bermain dengan anjing ini.
"Namanya Swanna. Makhluk paling menyebalkan di dunia ini. Maklum dia betina!" seru Javas dengan mata tertuju pada Ocean, dia ingin mencuri perhatian mereka berdua.
Sejak tadi saat Maya sedang bercerita dengan amat antusias, sebenarnya dia tidak lepas melihat Ocean yang sedang bermain dengan anjingnya. Tidak biasanya Swanna terlihat 'welcome' dengan orang baru. Biasanya Swanna akan menggeram penuh waspada pada orang yang tidak dikenalnya tapi tidak dengan Ocean justru Swannalah yang selalu mencari perhatian Ocean. Mungkin anjing punya insting yang lebih peka dari manusia biasa. Mereka bisa membedakan mana manusia yang tulus dan tidak tulus pada dirinya.
"Hem, menarik. Tidak pernah ada yang bisa sedekat ini dengan Swanna. Jika Swanna menyukainya, bisakah aku mendapatkannya?" batin Javas sedang menilai Ocean dengan cermat. Dia tidak mau salah langkah. Ocean putra Mahad dan Maya, tidak mungkin dia seperti dirinya.
Hem …. Penampilan dan gerak tubuhnya pun normal. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari Ocean. Tapi, feelingnya tidak pernah salah. Dia selalu mendapatkan apa yang dimaunya, Ok!
"Eh, i-iya, na-nama yang cantik," ucap Ocean dengan gugup. Dia hanya berani melihat Javas dengan sekilas lalu berpaling lagi mengelus Swanna kembali. "Untung ada kau," bisik Ocean mengecup Swanna lagi, "Jadi namamu Swanna. Pantas kau sangat cantik. Matamu juga sangat indah," katanya lagi, dengan salah tingkah yang sesungguhnya.
"Betina?" tanya Ocean untuk menghilangkan gugup.
"Heum, Namanya saja Swanna," jawab Javas menyunggingkan senyum dengan gemas.
"Ohh, i-iya, tadi kau juga sudah mengatakannya." Ocean mengangguk dengan cepat, bodoh!
"Swan, kemari!" perintah Javas supaya Swanna bisa lepas dari laki-laki yang belum dikenalnya. Agar dia bisa melihat dengan jelas seperti apa laki-laki ini sebenarnya.
Ocean masih diam ditempat, melihat kepergian Swanna yang mendekati pemiliknya. "Senangnya bisa bermanja-manja dengannya," batinnya, memperhatikan bagaimana pria itu mengecup hidung Swanna dengan begitu mesra dan penuh kasih sayang. Memberikan senyum indahnya untuk Swanna dan hei … "Lihatlah tangannya yang berurat, bagaimana jika tangan itu yang mengelus leherku? Bagaimana jika mata sedalam lautan itu yang menatapku dengan penuh sayang? Bagaimana jika yang dipanggil 'Honey' itu aku? Bagaimana jika ujung hidungnya yang mancung yang menyusuri tubuhku? Bagaimana jika yang menjilati rahang tegas itu adalah aku, bukan Swanna? Bagaimana jika bibirnya yang kecoklatan itu yang mencium …?"
Gluk!
Astaga! Matanya mengerjap bingung.
Ihhh, Qanshana, kau punya Qanshana Oce. Mintalah padanya, ok! Qanshana pasti akan memberikannya padamu.
Dan ….
Deg!
Kenapa celanaku jadi menyempit! Apa yang terjadi padaku. Sial!
"Oce, kemari sayang."
"A-apa, Mah?" Sahut Ocean cepat, mendongakan kepala melihat Mamanya. Menormalkan pikiran gilanya dan menyembunyikan sesuatu yang menggembung di balik celananya.
"Kemari, Oce. Berdirilah," Maya tersenyum gemas pada Ocean.
"I-iya, Mah." Ocean masih diam, dia bingung.
"Kemari, Oce. Cepat." Maya semakin gemas, melambaikan tangannya menyuruh Ocean mendekat.
"Ocean!!"
"Iya, Mah."
Ocean beranjak dari duduknya, merapikan pakaiannya sedikit, melirik ke bawah memastikan sesuatu di sana, ok, aman.
Sebelum dia melangkahkan kaki, ia melihat Yasa dan Sari yang wajahnya sudah berlipat kesal, ada apa? Ocean mengedikan bahu tidak paham saat membaca ekspresi mereka berdua. Jangan-jangan memang benar jika mereka adalah musuh. Huh!
"Ocean, astaga!" Maya semakin gemas melihat Ocean yang tidak kunjung jalan.
"I-iya, Mah, iya."
Dengan gugup Ocean berjalan kearah mana mereka bertiga berdiri.
"Ocean, kemari," Maya langsung menarik tangan Ocean untuk berdiri lebih dekat dengan Javas.
Lebih dekat dengannya? Aku tidak mimpikan? Ternyata jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Javas sangat tampan dan teramat manis. Ocean ingin sekali menyentuh wajahnya saat ini juga. Tapi, bisakah aku menyentuh wajah ini? Bolehkan bibirku mendarat di setiap sisi wajahnya? Bolehkah aku …?
Deg!
Ocean seperti terkena sengatan listrik? Sekujur tubuhnya bergetar halus, jantungnya pun berdebar dengan sangat cepat seperti ada yang menambuhnya dan sepertinya ada sesuatu yang menggetarkan hatinya yang paling terdalam.
"Ini Javas Deniswara, Oce."
"JAVAS DENISWARA," batin Ocean girang. Ok, namanya Javas … Javas. Tenang, Oce. Jangan seperti cacing gila, Ok.
"Dulu Papamu yang memberikan nama untuk Javas."
"Eh?"
"Apa?"
Ocean dan Javas serempak melihat kearah Mahad. Mereka berdua benar-benar terkejut dengan pernyataan Maya. Lalu tanpa sengaja mereka berdua saling tatap, mempertanyakan hal yang sama dalam diam.
"Hem …," Mahad menipiskan bibir, membenarkan ucapan Maya. Kenapa harus diberitahu sekarang? Jika tidak dipaksa Maya saat itu, sebenarnya dia setengah hati memberikan nama untuk Javas. Dan lagi pasti urusannya akan panjang jika Ocean ….
"Papa hutang penjelasan padaku?!" Ocean mencebikkan bibir menatap mata Papanya dengan kesal.
"Hem …," lagi-lagi Mahad hanya ber-hem ria, tidak ingin memperpanjang urusan ini.
Maya hanya terkekeh melihat wajah Ocean yang siap memberondong suaminya dengan sejuta pertanyaan.
"Dan ini, Ocean, anak bibi, Vas."
"Eh." Ocean langsung melihat Mamanya, kenapa tiba-tiba sekali? Tidak ada basa-basinya.
"Yang sopan," ucap Maya menyuruh Ocean mengulurkan tangannya.
Dengan setengah keberanian dan dengan setengah jiwanya yang berteriak panik dan gugup, tangannya terulur dengan tidak percaya diri.
"Oce ...."
Deg!
Gluk! Salivanya tertelan kasar, berdeham kecil untuk membersihkan kerongkongannya yang terasa kering walau sudah tersiram oleh salivanya sendiri.
"Ehem, Ocean Cakrawala," ucapnya.
Ahhh!
Ocean berteriak kelabakan dalam hati saat merasakan hangatnya tangan Javas yang terasa kuat dan kasar saat menggenggam erat tangannya.
"Javas Deniswara. Senang berkenalan denganmu, Oce …." Javas mengedipkan mata. Dia benar merasakan adanya sesuatu hal yang bisa dirasakan dari sentuhan tangan ini. Sepertinya feeling akan radar kesensitifitasannya yang bekerja sedari tadi memang benar adanya. "Bagaimana membuktikan feelingku?" batinnya semakin erat menggenggam tangan Ocean.
"Eh, boleh saya memanggilmu hanya nama tanpa tuan? Kita seumuran 'kan? Aku akan berbicara non formal padamu, Ok."
"O-ok, bo-boleh. Jus-justru aku senang. Eh," Ocean menggelengkan kepalanya, "Kau bebas memanggilku apa saja. Ehem … senang berkenalan denganmu … ehem, Ja-Javas … Javas," ucap Ocean dengan wajah menghangat. "Apa-apa ini kenapa jantungku berdebar sangat cepat!" teriak Ocean dalam hati. Mana tangannya belum dilepaskan lagi. Ku elus saja atau bagaimana?
Astaga!
"Ehemmm, sepertinya kau harus merapikan dirimu, Vas! Ikutlah makan malam dengan kami!" seru Sari dengan wajah ditekuk kesal. Sudah hampir 15 menit mereka berdiri dan berbincang di sana tanpa melibatkan dirinya dan suaminya. Mereka berempat benar-benar menghiraukan dirinya yang berdiri bagai patung tak berarti di pojok ruangan ini.
"Hemmm," Javas melepas genggaman tangannya dari Ocean. Dia mengusak-asik rambutnya dengan malas.
"Yahhh, kok dilepas?!" Ocean menggerutu dalam hati. Sepertinya tangan ini tak akan dicuci selama 3 atau sampai 1 minggu lamanya.
Hiks! Ada apa denganku! Sepertinya aku membutuhkan Qanshana.
"Bergabunglah dengan kita, Vas." Mahad bersuara dengan aura dominan.
"Iya, tuan," ucap Javas menundukkan kepala dengan sopan.
"Bibi tunggu. Bersiaplah. Tidak perlu terlalu berlebihan yang penting rapi, Ok." Maya mengusap lembut bahu Javas lalu mengacak-acak rambut Javas dengan gemas.
"Eh, i-iya, bi." Javas mengangguk dengan cepat. "Setelah aku memberi makan Swanna, aku akan merapikan diri dan bergabung dengan kalian."
"Ok!" seru Maya senang.
"Mah, ih, udah." Ocean merangkul tangan Mamanya, "Sejak tadi Mama hanya memperhatikannya," ucapnya sembari menarik tangan Maya.
"Iya, iya, dasar anak manja." Maya mengusap pucuk kepala Ocean dengan gemas.
***
Ocean ganjen sekali, inget ada Qanshana, Oce -_-
Salam
Busa Lin
Das könnte Ihnen auch gefallen
Kommentar absatzweise anzeigen
Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.
Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.
ICH HAB ES