Happy Reading
***
Ocean hanya mendengar pembicaraan mereka berdua tanpa ikut menyahut obrolan mereka.
Dalam benaknya, benarkah ia mencintai Qanshana Maheswari? Wanita yang ditemuinya tanpa sengaja di dek kapal pesiar saat ikut merayakan pernikahan sahabatnya tiga tahun yang lalu. Dan sejak pertemuan yang tidak sengaja itu, entah bagaimana caranya mereka berdua bisa menjadi sepasang kekasih dan menjalani hubungan sampai 3 tahun lamanya.
Yang jelas Qanshana-lah yang terlebih dulu mengutarakan isi hatinya dan walau setengah hati menerimanya, mungkin sikap manja dan perhatian Qanshana-lah yang mampu membuat seorang Ocean menerima cinta Qanshana saat itu.
Orang tua mereka berdua pun setuju dengan hubungan ini. Justru hubungan ini terbilang amatlah sangat mulus dalam kisah percintaan mereka. Tidak ada pertentangan keluarga, tidak ada drama tolak menolak antar keluarga, yang ada kedua keluarga benar-benar sangat mendukung dan berharap hubungan mereka berdua berlanjut ke jenjang yang lebih serius.
Qanshana terlahir dari keluarga yang cukup terpandang di negara ini, perusahaan keluarganya bergerak dalam bidang konstruksi sedangkan perusahaan keluarga Ocean bergerak dalam bidang tambang batu bara. Menjadikan keluarga mereka berdua masuk dalam jajaran keluarga kelas atas dalam strata sosial kaum elite sosialita kelas super eksklusif. Mungkin ini sebabnya, mengapa hubungan Ocean dan Qanshana sangat amat didukung oleh seluruh lapisan keluarga besar mereka berdua.
…
Ocean menghembuskan napasnya berulang kali. Mendengarkan pembicaraan kedua wanita yang terdengar seru itu. Mata coklat hazelnya, lama kelamaan meneduh dalam keremangan cahaya mobil.
Hidupnya amatlah sempurna, ia memiliki segalanya. Harta yang berlimpah, kekasih yang teramat cantik dan karir yang cemerlang. Namun, dalam benaknya. Kesempurnaan hidup yang ia dapatkan justru menjadikan adanya sedikit ruang hampa didalam hatinya. Dan Ocean tidak tahu bagaimana cara menutup ruang hampa itu.
Jujur, Ia benar-benar merasa tidak nyaman dalam hubungan ini. Ada sesuatu hal yang ingin ia teriakan dalam hati saat sedang bermesraan dengan Qanshana. Ia harus berpura-pura menjadi lelaki sejati didepan kekasihnya ini. Berpura memuja Qanshana sebagai wanita yang pantas dipuji dan cara pandang Qanshana saat melihat dirinya, jujur membuatnya risih dan tidak nyaman.
Satu rahasia dari hubungan mereka selama tiga tahun ini adalah Ocean sama sekali tidak pernah bercinta dengan Qanshana.
Seks! Tidak ada dalam kamusnya!
Jangankan Qanshana, dengan wanita manapun saja ia tidak pernah bercinta dan dalam artian khusus Ocean masih perjaka tulen. Entah dengan Qanshana, apakah diluar sana kekasihnya itu pernah bercinta dengan pria lain atau tidak. Ocean benar-benar tidak peduli dengan hal itu.
Jujur, ia sama sekali tidak pernah menyentuh Qanshana melebihi dari ciuman bibir dan kecupan di bahu kekasihnya itu. Dan itu membuat Qanshana terharu dan semakin mencintainya sebab yang ada dipikiran kekasihnya itu. Jika ia tidak pernah mau merusak kehormatan wanita yang dicintainya.
Sungguh! Bukan itu! Bukan!
Dan entah mengapa seseksi apapun Qanshana berpakaian dihadapannya hal itu sama sekali tidak meningkatkan libido akan gairah bercintanya.
Pernah Ocean menyangka jika ia terkena Impotent, sebab burung kebanggaannya tidak pernah merespon dengan baik setiap kali Qanshana memberikan rangsangan. Tapi, menurut dokter semua alat reproduksinya normal. Sebab saat diberikan rangsangan oleh perawat laki-laki atau perempuan saat itu, burung kebangaannya menegak dengan sempurna dan sehat dengan urat-urat yang menunjukkan kejantanannya sebagai seorang pria yang sehat dan normal. Dan cairan madu putihnya setelah diperiksa pun normal. Justru Dokter mengatakan jika cairan madu itu siap kapan pun membuahi indung telur dalam rahim seorang wanita.
Semuanya normal! Lantas apa yang salah dengan dirinya?
Pernah suatu hari, Qanshana menggodanya. Menggunakan lingerie merah tipis memperlihatkan seluruh lekuk tubuhnya. Namun tetap saja, hanya berakhir dengan ciuman panas penuh gairah tanpa adanya penyatuan antara keduanya. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengalihkan gairahnya yang tidak tersalur dengan baik.
Dan Qanshana selalu merasa jika ia benar-benar ingin menjaga mahkota bunganya sampai suatu saat rencana pernikahan yang disusun kedua keluarga besar mereka akan terwujud.
Dan sampai detik ini pun Qanshana belum tahu jika dirinya masih perjaka tulen. Yang Qanshana tahu jika dirinya adalah Casanova yang senang gonta-ganti pasangan wanita hanya untuk menghangatkan ranjangnya saja. Dan jiwa playboynya tobat karena bertemu dengannya.
Tapi masalahnya bukan itu! Bukan!
Bagaimana menjadi playboy jika ciuman pertamanya saja dengan Qanshana Maheswari? Bagaimana menjadi cassanova jika bibir ini saja hanya pernah menyentuh kulit Qanshana Maheswari. Tidak lebih!
Adakah yang salah dari dirinya? Entahlah.
Dan yang membuatnya bingung bukan main adalah Para Wanita Gila yang selalu memujanya bak Dewa Yunani yang jatuh dari langit. Pasti dan selalu, saat ia datang ke klub untuk menghilangkan penat, ada saja wanita berpakaian ketat, menonjolkan segala aset berharga mereka, menghampirinya dengan begitu percaya diri. Menggodanya dengan gerakan seduktif mengajaknya untuk one night stand. Bahkan ada yang terang-terangan memakai bikini di depan matanya, hanya untuk bisa mendapatkan kepuasaan darinya.
Cuh! Bodo amat! Mau memakai bikini, kek! Mau telanjang, kek! Bodo amat! Yang jelas...
Brr!
Tiba-tiba saja bulu kuduk Ocean meremang jika mengingat betapa agresifnya dan mengerikannya wanita malam yang singgah di klub malam, yang hanya ditujukan untuk kaum elit saja. Dan lagi, yang Ocean tahu para wanita itu juga dari kalangan kelas atas bukan kupu-kupu malam yang biasa menawarkan jasanya.
Padahal mereka tahu jika Ocean sudah memiliki Qanshana, putri dari konglomerat yang dikabarkan hartanya tidak akan habis 7 turunan. Iya … tetap, ada saja yang menggodanya. Qanshana seolah tidak ada gunanya, sebagai kekasihnya.
Dan sikap dingin dan angkuh yang dimiliki Ocean hanyalah kedok, supaya tidak ada satu wanita pun yang mendekatinya, Menggodanya apalagi menyentuhnya seenak jidatnya.
His!!
"Kenapa, Oce?" tanya Qanshana mengusap lengan Ocean setelah menutup telepon dari Grace--Mamanya Ocean.
"Malam ini bermalamlah di mansionku, Qans."
"Boleh," ucap Qanshana, "Tapi jangan macam-macam!"
"Tidak akan. Aku hanya butuh teman tidur malam ini." Ocean mengedikan bahu dengan cuek.
"Hanya teman tidur?" tanya Qanshana menaik turunkan alis menggoda Ocean. Biasanya Ocean akan meminta di dongengkan saat ia pulang berlibur dari luar negeri.
"Hem,"
"Tidak mau mendengar ceritaku berlibur selama tiga hari di Belanda?"
"Boleh juga, sekalian kau mendongeng untukku."
"Siap, bos!" seru Qanshana dengan riangnya. Hubungannya dengan Ocean tidak hanya melulu soal seks. Bercerita sepanjang malam dan bercanda dengan Ocean itu sudah cukup membuatnya merasa senang.
Beradu rayuan penuh seduktif yang berakhir dengan perang bibir diantara keduanya, hal seperti ini pun sudah menjadikan Qanshana menjadi wanita paling beruntung di dunia.
Dan lagi, Selama 3 tahun berpacaran dengan Ocean, mereka sama sekali belum pernah bercinta. Belum pernah sekalipun mengadukan penyatuan antara mahkota bunganya dengan burung Ocean. Yang kata orang jika mereka saling bertemu, bisa membawa para penikmatnya terbang hingga ke nirwana.
Entahlah! Having Seks, sepertinya tidak ada dalam kamus Ocean. Mungkin, Making Love…? Astaga, Entahlah! Ocean tidak pernah menuntut soal hal itu.
Dan lagi, Qanshana pun masih menyandang status perawan ting ting. Mahkota bunganya sama sekali belum pernah di sambangi oleh Ocean. Bahkan, jari-jari dan bibir Ocean pun belum pernah menyapa mahkota bunganya sama sekali.
Adakah yang salah dengan dirinya? Entahlah, yang jelas Qanshana tahu jika Ocean tidak ingin merusak hidupnya.
Jadi teman tidur hingga pagi, It's Ok!
No Seks! I'm Ok!
I Love, Ocean! Ini baru benar!
Untuk itu sahabatnya selalu meledeknya. Karena selama berpacaran 3 tahun, ia tidak pernah melihat barang sedikitpun burung gagah miliki Ocean. Jangankan burung Ocean, milik pria lain saja ia tidak pernah lihat. Menurut sahabatnya, kejantanan seorang Pria diukur dari seberapa panjang kepakan sayap dan besarnya burung itu. Dan menurut sahabatnya lagi, merugilah ia jika tidak pernah mencicipi burung indah milik Ocean.
Hesh, tidak apa! Pikirnya, ia akan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin tenggelam dalam lautan penuh cinta bersama Ocean di malam pertama setelah pernikahan mereka, yang entah kapan terlaksana. Karena sampai sekarang pun Ocean belum melamarnya, sampai detik ini pun diantara mereka belum ada pembicaraan khusus mengenai pernikahan. Hanya orang tua merekalah yang selalu bersemangat, memaksa mereka berdua untuk segera menikah.
Tanpa sadar!
Karena bergelut dalam pikiran masing-masing.
Mobil Ocean memasuki halaman Mansion yang teramat luas ini. Walaupun ini sudah malam, namun lampu taman tetap bisa memperlihatkan betapa indahnya halaman mansion milik Ocean. Ocean selalu menyebut Mansionnya dengan sebutan 'Sky', sebab jika pagi hari kalau tidak tertutup mendung, langit biru yang indah akan memantul ke dalam mansionnya ini.
"Kau tidak membawa apapun, Qans?" tanya Ocean baru menyadari sesuatu jika Qanshana tidak membawa kopernya.
"Kau baru sadar?" Qanshana bertanya balik dengan gemas pada Ocean.
"Mungkin kau terlalu manis Qans, jadi aku melupakan segalanya," ucap Ocean menggandeng tangan Qanshana dengan mesra.
"Uhh, gombalnya!" Qanshana tertawa kecil, "Pinjam bajumu, iya?"
"Telanjang lebih manis, Qans."
"Dasar mesum!" Qanshana mencubit gemas perut keras milik Ocean. Tawanya yang renyah memenuhi 'Sky' yang teramat lengan ini. "Aku mandi duluan iya, Oce?"
"Jangan terlalu lama, kau belum makan malam, Qans." Ocean sedikit berteriak mengatakan hal itu, sebab Qanshana sudah berlari menaiki tangga yang didesain transparan menuju kamarnya.
"Tidak ikut mandi, Oce?" Qanshana geli sendiri dengan pertanyaannya, yang jelas-jelas Ocean akan menjawab…
"No! Thank's, Qans."
***
Salam
Busa Lin
Happy Reading
***
Sementara di waktu yang sama, di tempat berbeda.
Di sebuah pabrik yang memiliki studio pribadi di dalamnya, Javas Deniswara sedang disibukkan dengan pekerjaannya mengukir 'Burung Phoenix' sejak sore tadi.
Di sela-sela kesibukannya, Javas masih harus melayani beberapa pelanggannya yang terus saja memesan hasil pahatannya. Padahal ia sudah mengatakan untuk beberapa hari kedepan ia tidak akan menerima pesanan apa pun.
Jujur, Javas sudah sangat lelah meladeni beberapa pelanggannya yang rewel atas pesanan hasil Karya Pahatan yang ia buat. Bukan karena hasil pahatan Javas yang jelek atau ada kecacatan didalamnya, hanya saja para pelanggannya berlomba-lomba ingin diistimewakan, ingin didahulukan dan memaksanya untuk menyelesaikan dengan segera dalam waktu yang cepat dan singkat atas pembuatan pahatan kayu yang mereka pesan.
Dan mereka semua tidak tanggung-tanggung dalam memesan pahatan karya yang dihasilkan oleh Javas, sebagian besar dari mereka memesan Patung diri mereka sendiri, memesan patung hewan kesayangan mereka, memesan patung para pejabat negara guna dihadiahkan untuk menaikan jabatan dan macam-macam. Dan yang membuat Javas heran, walau ia sudah mematok harga yang tinggi karena kadang enggan mengambil pekerjaan itu tapi mereka semua rela membayarnya bahkan mereka siap merogoh kocek yang lebih banyak hanya untuk mendapatkan pahatan dari tangan emas Javas.
"Vas, jika lelah sudahi dulu," ucap Uki memberikan segelas kopi hitam pada Javas. Ia tidak tega melihat wajah Javas yang terlihat mulai kelelahan itu.
Uki adalah asisten pribadi, partner kerja sekaligus sahabat Javas sejak mereja duduk dibangku kuliah. Uki pun sama dengan Javas, dia adalah salah satu Pemahat yang cukup diandalkan oleh Javas.
Javas memiliki toko Mebel yang ia bangun dengan susah payah bersama Uki sahabatnya setelah 5 tahun melalui kesusahan dan hinaan dari berbagai pihak yang tidak menyukai karyanya bahkan dari sesama pemahat pun ia kerap kali mendapat cemoohan yang selalu membuat Javas terpacu untuk bekerja lebih keras dari biasanya. Karena satu hal yang selalu Javas Deniswara ingat. "Kau hanya akan berakhir di pinggiran terminal dengan alat tatah yang berkarat, Vas. Kau tidak akan pernah bisa seperti kami."
Berbekal hinaan itu, Javas selalu memacu dirinya sendiri dan selalu bekerja keras untuk mendapatkan mimpinya, untuk membungkam mulut-mulut yang telah menghinakan dirinya. Dan setelah 5 tahun berlalu dari semenjak ia lulus kuliah dengan susah payah, akhirnya Javas memiliki toko mebelnya sendiri yang Ia beri nama 'SKY MEBEL' karena ia ingin toko mebelnya akan selalu berada di atas. Karena Sky selalu berada diatas dan Sky tidak pernah berada dibawah.
Dan inilah Javas Deniswara saat ini, Pria muda nan tampan berusia 28 tahun pemilik toko Mebel terbesar di negaranya dan ia pun memiliki Pabriknya sendiri. Memproduksi hasil karya-nya sendiri dibantu dengan 10 pekerja pilihannya sendiri yang didapatkan dari hasil seleksi ketat yang ia ajukan.
"Thank you," ucap Javas dengan napas terengah mengambil gelas itu, lalu menyandarkan tubuhnya pada sebuah kursi kayu. Tubuhnya yang bertelanjang dada pun naik turun dengan napas tersengal menahan lelah. Mata biru-nya yang selalu mampu menghipnotis para wanita pun sedikit terlihat sayu karena sudah beberapa hari ini Javas kurang tidur. Rambut ikalnya yang terikat pun sudah basah dan lepek, entah sudah berapa hari Javas tidak mencucinya. Karena yang ia lakukan saat pulang ke mansionnya; mandi seadanya, makan secepatnya, tidak lupa memberi makan anjing peliharaannya, tidur, bangun, tidur, bangun berangkat ke pabrik.
Dan toko Mebelnya, sudah ada 3 orang kepercayaannya yang ditugaskan untuk menjaga 'Sky'.
"Kau lelah, Vas. Ingat pameranmu 4 hari lagi." Uki mengelap keringatnya sendiri yang mengalir di dada bidangnya.
Semua pekerja di sini rata-rata mereka bertelanjang dada, sebab Pabrik ini walau sudah memiliki kipas angin besar yang tergantung di setiap sudut pabrik, tetap saja hawa panas dan pengap masih terasa di pabrik ini.
Ini alasan mengapa Javas menolak pesanan dari para pelanggannya, karena Javas akan melakukan pameran tunggal pertamanya yang ia beri judul 'Sky In My Dream' dan akan ada 15 hasil karya Javas yang dipamerkan di pameran tunggalnya. Javas sudah menunggu ini selama 3 tahun lamanya, dan sebagian hasil karyanya sudah ia buat selama periode 3 tahun itu dan tinggal Burung Phoenix-nya saja yang belum ia selesaikan.
"Hem," Javas pun mengamati lekat hasil karyanya. Ia masih mengukir 'Burung Phoenix' yang akan menjadi salah satu karyanya yang akan dipajang di Pameran tunggal miliknya. Ini mimpinya selama ini yang akan menjadi kenyataan.
Javas teringat akan sesuatu, ia melirik studio pribadinya yang berada di sudut ruangan Pabrik, "Kau sudah mengambil foto Vella?" tanya Javas bangkit dari duduknya, ia merenggangkan tubuhnya yang kaku karena selama berjam-jam yang ia lakukan hanya duduk namun, tangannya yang aktif bergerak. Lantas ia melepas ikat rambut yang mengikat rambut ikalnya yang basah oleh keringat. Seketika bulir keringat menetes dari ujung rambut Javas dan hal itu menambah kesan seksi yang begitu menawan dari pemilik tubuh yang terlihat kekar dengan otot-otot yang mencuat halus.
Dilihat dari bentuk tubuhnya, terlihat sekali jika Javas adalah seseorang yang selalu bekerja lebih dengan menggunakan fisiknya karena tidak hanya mengukir dengan memainkan alat tatah, terkadang Javas pun harus membelah kayu-kayu gelondongan secara manual dengan kapak-kapak dari berbagai ukuran.
Javas jarang sekali menggunakan 'Senso-nya. Karena bagi Javas, alat senso adalah hal yang paling menakutkan untuk dirinya. Dan khusus untuk pemotongan Kayu Berdiameter besar yang membutuhkan alat senso, Javas sudah menyiapkan tempatnya sendiri. Asalkan ia tidak melihat Senso itu saat memotong kayu, bagi Javas tidak akan ada masalah.
"Aku menunggumu, Vas!!" salak Vella dari dalam studio. Yang studio itu memang berada di dalam pabrik, "Tidak mungkin aku memperlihatkan tubuhku pada Uki!!" katanya lagi dengan wajah memberengut kesal. Sudah satu jam ia menunggu Javas di dalam studio dengan tubuh hanya terlilit kain seperti ini.
Javas mengangkat bahunya dengan cuek. Salahnya sendiri, padahal ia sudah mengatakan jika ia sedang mengejar targetnya.
Sesuai kesepakatan dengan Javas. Lebih kepada kesepakatan sepihak, Vella akan diambil fotonya oleh Javas dengan tanpa busana. Karena Vella ingin mendapatkan apa yang didapatkan oleh teman-temannya yang lain.
Jika ia, menginginkan Patung dirinya dari hasil pahatan tangan Javas dengan tanpa busana dan mendapatkan berbagai ukiran indah di seluruh tubuh patung itu nantinya. Membayangkannya saja membuat perut Vella seperti tergelitik. Dan Justru ia membayangkan jika tangan Javas-lah yang menyentuh kulit-kulit tubuhnya secara langsung dengan penuh damba.
Pasti akan ada sensasinya sendiri!
"Heh! Bukankah sudah kukatakan berulang kali, Javas sibuk! Sibuk! Nona Vella!" sahut Uki tidak kalah berteriak pada Vella.
Pukul 5 tadi Vella tiba-tiba masuk kedalam pabrik, mencari Javas dengan muka percaya diri. Menawarkan membuatkan patung dirinya dengan bayaran yang … iya, lumayanlah!
Tanpa Javas mengatakan 'Iya ataupun tidak' dan mengabaikan peringatan dari Uki, Vella langsung masuk ke dalam studio Javas, menunggu Javas disana dengan memperagakan berbagai pose yang akan ditunjukkan pada Javas. Namun selama satu jam Javas sama sekali tidak mendatanginya.
"Vas, ayolah!" rengek Vella, yang hanya berani mengeluarkan setengah kepalanya, tidak mungkin ia keluar dengan penampilan seperti ini.
"Vas, ayolah…" Uki dengan kesal menirukan suara manja Vella yang berusaha meraih perhatian Javas yang terlihat acuh tak acuh.
Dan semua pekerja yang berjumlah 10 orang, yang berada di dalam pabrik pun hanya bisa terkikik geli mendengar suara bos-nya yang selalu meledek klien wanita yang secara terang-terangan ingin menggoda Pemilik Toko Mebel sekaligus Pabrik ini.
***
Salam
Busa Lin
Kommentar absatzweise anzeigen
Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.
Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.
ICH HAB ES