Happy Reading
***
"15 menit, Vel. Jika kau tidak tahan menungguku. Biarkan Uki yang mengambil fotomu," ucap Javas mengambil alat pengamplas kayu. Ia harus menyelesaikan mengamplas burung phoenix-nya malam ini juga, supaya ia bisa melakukan finishing esok hari.
"No, Vas!!" seru Vella.
"Lagi pula, nantinya juga bukan aku yang membuat patungmu." Javas dengan cueknya menjawab, diiringi dengan suara mesin amplas yang akan mulai bekerja, "Bisa saja Uki…" katanya lagi, "Bisa saja, Pak Amar…" Javas menjepit bibirnya dengan kuat saat permukaan amplas mengusap lembut burung phoenixnya yang sudah terukir sangat cantik ini, "Bisa saja…"
"JAVAS!! Aku membayarmu sangat MAHAL!!" teriak Vella dengan wajah mengeras. "350 juta, Javas!!"
"Tidak ada hitam diatas putih, Vel," sahut Javas datar dengan napas terengah mengamplas bagian tersulit dari lekukan leher burung phoenix-nya ini.
Dengan tanpa memperdulikan tubuhnya yang berbalut kain, bibir Vella berucap sambil berjalan mendekati Javas, "Iya sudah! Berikan surat kerjasamanya." Vella mendengus dengan perasaan dongkol, "Aku akan membayar sesuai dengan harga yang kuajukan tadi."
Dan semua mata tertuju pada lekuk tubuh indah Vella yang benar-benar terlihat aduhai dengan kaki jenjang yang terlihat jelas seperti itu. Dan semua pekerja yang bekerja bersama Javas pun selalu heran dengan bos-nya, karena tidak pernah mengambil kesempatan dengan beberapa wanita yang jelas-jelas ingin menggoda bos-nya secara terang-terangan seperti itu.
"Mau apa!" Uki merentangkan tangannya, menghadang tubuh Vella. Melindungi Javas, dari semburan wanita yang benar-benar menguras emosinya sejak tadi sore.
"Minggir!" Vella melipatkan kedua tangannya, membusungkan dadanya menantang Uki. "Urusanku dengan bosmu," ucap Vella mendelik kesal pada Uki. "Bukan denganmu!"
"Lebih baik kau pulang daripada mengganggu Javas seperti wanita murahan seperti ini!" tegas Uki tidak memperdulikan perasaan dari makhluk yang berjenis kelamin wanita ini.
"Cih!" decak Vella semakin menggila karena disebut sebagai wanita murahan. Namun, ia berusaha tidak memperdulikan Uki. Ia tetap mencari celah untuk melihat Pria tampan yang terlihat sangat seksi dengan serpihan-serpihan kayu yang menempel pada kulitnya yang memiliki beberapa tato itu. "Javas! Aku sudah mentransfer 200 juta! 150 juta-nya akan kuberikan cash, Vas." Vella mendengus dengan manjanya, untuk meraih perhatian Javas.
Mendengar rengekan Vella sejak tadi, membuat Javas kehilangan sedikit konsentrasi. Ia pun dengan terpaksa mematikan mesin amplas, disambut senyum sumringah Vella yang berharap jika Javas menyudahi pekerjaannya itu.
Dengan mengambil napas panjang untuk menormalkan napasnya yang masih terengah-engah, Javas melihat ke arah Vella dengan tatapan tajam, hanya sebentar, kemudian ia memalingkan pandangannya kembali. "Jika kau ingin mengambil uangmu, ambilah!" Javas mengusap-ngusap serbuk halus yang menempel pada permukaan kayu itu, lalu ia meniup pelan pada sela-sela rongga ukirannya itu, seketika debu halus bertebrangan kesana kemari, "Siapkan uangnya, Ki. Bila perlu, 500 juta untuk mengganti ketelanjanganya selama satu jam diruang studioku."
"Ok!" sahut Uki menaikkan satu alisnya, mengejek Vella yang mulai mendengus kesal. Sepertinya dia akan menangis. Uki bergerak kesamping, membuka hadangannya pada Vella, meminta secara tersirat padanya untuk pergi dari sini.
Seketika Vella bisa melihat Javas, pria yang berkeringat seksi dengan aura penuh pesona. Membuat Vella berusaha mengembalikan logikanya jika Javas baru saja menghinanya secara tersirat.
"Kau menyebalkan, Vas!" Mata Vella meremang menahan tangis. Javas sudah menghinanya! Tapi, ia tetap tidak bergeming pada tempatnya menikmati ciptaan Tuhan yang mampu membuat hati dan pikirannya berteriak gelisah tak tentu arah. Tenang, Vel!
"Aku hanya ingin dibuatkan patung olehmu, Vas," lanjutnya dengan suara serak dan rendah.
"Kenapa harus aku?" tanya Javas. Melipatkan kedua tangannya di dada, wajah Javas sangat datar dan dingin saat melihat Vella yang matanya mulai dilapisi kaca. "Carilah pemahat lain, bayar para pemahat itu sesuai dengan kesombongan orang kaya yang kau miliki." Kata Javas dingin.
"Javas," suara Vella semakin merendah, ia tiba-tiba tahu apa kesalahannya. Dengan sedikit berdehem kaku, menormalkan suaranya yang serak ia mengatakan, "Karena kau adalah pemahat terbaik di negara ini. Aku tahu tentangmu sudah lama." Vella menatap sendu mata biru Javas yang sangat menghanyutkan itu. Bukan Javas yang menghinanya tapi, ternyata dirinyalah yang telah menghina Javas sejak tadi. "Ini pertemuan pertama kita, Vas. Mungkin kau tidak suka dengan caraku yang memaksamu seperti ini ta-tapi a-aku tidak bermaksud untuk menyombongkan apapun dihadapanmu, Vas."
Javas hanya diam, ia semakin lekat menatap mata kecoklatan pemilik tubuh yang terbilang sempurna itu. Hal inilah yang paling Javas tidak suka, karya-nya hanya dihargai dengan banyaknya uang yang mereka bayarkan. Karya-nya hanya dianggap sebagai alat bisnis tanpa memikirkan usaha dibalik pembuatannya. Mereka semua yang memesan hasil pahatannya hanya digunakan sebagai ajang gengsi dan pamer saja. Dan mereka semua terkadang tidak memperdulikan Estetika Seni yang dibuat dari hati serta perjalanan dari hasil karya itu itu sendiri.
"Maafkan aku, Vas." Vella menunduk dalam. Tanpa Javas menggurui ia benar-benar mengetahui apa kesalahannya.
"Ok!" sahut Javas, memejamkan mata dengan penuh takzim. "Masuklah kedalam!" kata Javas berlapang dada. Lalu ia membuka matanya, melihat Vella dengan tatapan sedikit melunak. Tatapan Javas yang seperti ini bagai gelombang air laut yang siap menggulung secara mesra bagi siapa saja wanita yang melihatnya.
Entah, mengapa mendapat perintah serta tatapan selembut sutra itu. Otak dan hati Vella secara refleks saling mengatakan "Iya" tanpa adanya perlawanan. Dengan langkah ringan dan hati senang Vella berbalik badan, kembali masuk ke dalam studio Javas.
Padahal Vella benar-benar ingin memaki Javas yang sudah berani menghina putri anggota Dewan Pemerintah namun saat melihat mata biru menyenangkan nan seksi ditambah suara berat Javas, membuatnya tunduk sekaligus tidak bisa bergeming dari pesona tubuh Javas yang sedang bertelanjang dada dan berkeringat itu.
Apalagi, Javas menamparnya dengan seribu kata tersirat tadi, hem!
"Penyelesaian yang sempurna," batin Uki. Jika Javas adalah dirinya, entah sudah jadi apa wanita sombong itu.
Javas menepuk bahu Uki, sebelum ia melangkahkan kaki menuju studio, "Jika kau ingin, ambilah!"
"Kesempatanmu, Vas. Kau sering melakukan ini tapi kau tidak pernah mengambil kesempatan ini--padahal para wanita itu dengan suka rela menyerahkan tubuhnya padamu. Dan lagi wanita sombong itu sudah berani menghina mu tadi," ucap Uki panjang lebar. "Tidak ingin kau beri pelajaran?"
Javas mengangkat salah satu sudut bibirnya, menyeringai dengan senyuman penuh arti, "Aku sedang malas mengurus kontrak kerja sama," ucap Javas mengedikan bahu.
"Untuk saat ini tidak ada yang lebih penting dari 'sky'. Lagipula tubuh wanita hanyalah objek keindahan yang tidak sempurna dimataku. Dan itu tidak lebih," Lanjut Javas mengelap keringat yang membanjiri dada bidangnya, lalu mengibas-ibaskan handuk untuk menghilangkan serpihan kayu yang menempel di kulitnya yang memiliki beberapa tato. "Dan rasanya pun sama saja," ucap Javas santai, memakai kaosnya dengan asal. "Benarkan? Yang jelas sensasinya sebelum itu," kekeh Javas melihat Uki yang menatapnya dengan tatapan seperti biasanya. Aneh, psiko dan jijik!
"Hish, kau ini!!" Uki menjitak kepala Javas dengan gemas, "Sekali-kali kau harus bercinta penuh perasaan dengan wanita. Kau belum pernah merasakan itu, 'kan?"
Javas mengusap kepalanya dengan menampilkan wajah cengonya. Ia mengangkat bahunya, sebagai jawaban akan ketidaktahuannya. Yang ia rasakan setiap bercinta dengan wanita. Rasanya, hanya itu-itu saja. Iya ... hanya itu-itu saja…?
"Jangan-jangan anjingmu sudah tidak perawan, Vas!" Lanjut Uki dengan tatapan menyelidik, bercanda.
"Astaga! Tuhan!" salak Javas, mengusap kepalanya. Disambut kekehan oleh para pekerjanya, "Aku tidak sehina itu, Uki!!" Javas mendelik kesal pada Uki. "Tapi, Swanna semakin lama semakin seksi saja," kekeh Javas.
Ia selalu merindukan Swanna, anjing kesayangannya yang selalu ditinggal untuk bekerja hingga larut malam seperti ini. Swanna adalah jenis anjing Alaskan Malamut, berusia 3 tahun yang memiliki bulu putih bak salju dengan warna mata sejernih lautan. Sama seperti pemiliknya.
Javas mendapatkan Swanna di tong sampah dekat pabrik-nya 3 tahun lalu. Awalnya ia tidak tahu jika Swanna adalah jenis Alaskan Malamute. Yang ia tahu, ia hanya kasihan pada anjing manis nan lucu itu jadi tanpa pikir panjang saat itu Javas mengadopsinya, menjadikan Swanna sebagian 'Number One In My Life'.
"Boleh juga jika sekali-kali aku…"
"Tuhan! Gila!" Uki menepuk punggung Javas dengan kuat.
"Ahhh, gilaaa! Sakit!" sentak Javas. Ingin sekali ia menusuk jantung Uki dengan tatah yang tergeletak di meja kerjanya. Javas mendengus, meninggalkan Uki berjalan ke arah studionya.
Yang Uki bisa lakukan hanyalah menggelengkan kepalanya dengan heran, geli dan juga merinding melihat kelakuan sahabatnya ini. Candaan Javas, kadang membuatnya tidak bisa berkata-kata lagi. Bukan karena candaan mereka tentang anjing malamut itu, hanya saja Uki tahu betul tentang penyimpangan yang dimiliki oleh sahabatnya--Javas Deniswara itu.
***
Salam
Busa Lin
Happy Reading
***
"Kau hanya akan diam seperti itu?" tanya Javas yang siap membidikkan kamera kearah Vella yang sudah tanpa busana. "Ayolah, biarkan kamera ini mengabadikan tubuh indahmu," ucap Javas sedikit memuji sebab ia semakin tidak sabaran untuk hal ini. Sejak 5 menit yang lalu Vella hanya diam saja diatas panggung mini yang memang ia siapkan untuk para modelnya.
Dipuji seperti itu wajah dan tubuh Vella benar-benar bereaksi berlebihan. Ia semakin merapatkan salah satu tangannya yang menutup kedua bukit ranumnya yang terlihat tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Sangat pas jika Javas memegangnya. Dan tangan Vella yang lainnya dengan malu-malu menutup mahkota bunganya yang terlihat bulu-bulu halus yang menghiasinya di sana.
"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu, Vel." Javas menatap Vella dengan jengah dibalik lensa kameranya.
"A-aku harus ber-pose seperti apa?" Vella balik bertanya dengan perasaan yang benar-benar salah tingkah. Ternyata sensasinya seperti ini. Jantungnya seakan mau meledak. Sebab ini kali pertama ada seorang pria yang menatap tubuhnya secara intens seperti ini.
"Terserah kau," ucap Javas menekan tombol shutter, seketika lampu flash menyala. Mengambil asal pose yang tampak kaku dan malu-malu itu. "Lihatlah." Kepala Javas menunjuk ke salah satu muka dinding yang tersorot lampu dari proyektor yang terhubung dengan laptop yang merekam jejak hasil bidikannya itu.
"I-itu…" Mata Vella mendadak bergetar malu melihat foto dirinya yang tampak seperti patung tidak memiliki karakter didalamnya.
Ini seperti...
Mayat! Vella memang cantik namun terlihat seperti mayat hidup. Kaku, pucat, dingin dan tidak bernyawa. Itu yang ada dipikiran Javas.
"Apakah aku harus membuat manusia kaku seperti itu? Apakah aku harus membuat mayat hidup? Beri lebih banyak nyawa di dalam sana, supaya aku tidak menyia-nyiakan uangmu," tukas Javas dengan suara bariton mengintimidasi Vella.
Untuk pemuja wanita diluar sana. Yang sama seperti Javas ini. Vella termasuk wanita yang memiliki kecantikan diatas rata-rata. Tubuhnya pun terbilang sempurna. Antara tubuh bagian atas dan tubuh bagian bawahnya pun tampak sempurna. Lihatlah bagian pinggang kebawah yang dianugerahi dengan kaki jenjang, itu sangat terlihat proporsional untuknya. Apalagi jika ditambahkan stiletto merah akan menambah kesan seksi bagi pemilik tubuh bak model internasional itu.
"Eh, i-iya, Vas. Aku ha-hanya bingung harus berpose seperti apa." Vella menunduk malu tubuhnya meremang gelisah. Ini ruangan ber-Ac namun rasanya seperti di sauna. Sangat hangat, panas dan keringatnya pun mengucur deras dari berbagai sisi. Vella benar-benar grogi dengan tatapan Javas yang mampu menariknya jatuh. Bergulung ombak hingga ke tengah lautan, hingga ia tidak mampu menatap lebih lama pemilik mata biru sedalam lautan itu.
Apakah semua wanita yang bekerja dengan Javas akan merasakan sensasi ini?
"Ok! Menurutlah padaku," Javas menegakkan tubuhnya. Diikuti anggukan patah-patah dan pasrah dari Vella, Javas bersedekap penuh kharisma dihadapan Vella yang hanya berjarak 3 meter darinya. "Kita akan selesaikan ini dalam waktu 15 menit."
Dengan tanpa mengikis jarak diantara mereka, Javas berjalan santai ke depan meja kerjanya. Ia duduk di salah satu sudut meja itu. Mengambil seluruh konsentrasinya untuk memberikan nyawa dalam pengambilan foto itu, "Lepaskan tangan yang menutupi bagian indah itu." Instruksi Javas, "Keduanya!" tegas Javas. Ia tidak ingin Vella meragu sedikitpun.
Seketika kedua tangan Vella sudah ada disamping kanan kirinya. Memperlihatkan secara utuh tubuh tanpa busananya.
"Berdiri dengan tegap! Angkat kepalamu, lihat aku!"
Dengan sedikit memberikan kepercayaan pada dirinya sendiri, Vella menaikkan kepalanya. Memberanikan diri menatap mata Javas.
"Good!" Javas menganggukan kepala, "Cantik!" ucap Javas memberikan pujian supaya menambah kepercayaan diri Vella.
Walau satu kata, hal itu membuat Vella benar-benar merasa menjadi wanita tercantik di hadapan Javas.
"Serongkan sedikit tubuhmu," titah Javas. "Kekanan, Vel! Sedikit saja! Jangan halangi aku untuk melihatnya!" seru Javas memutar bola matanya dengan gemas. Vella benar-benar tidak mengerti bagian mana saja tubuhnya yang benar-benar terlihat seksi dan indah.
"Sampirkan rambutmu ke bahu!"
"Seperti ini?" tanya Vella yang mengambil rambutnya dan menumpuknya di bahu kirinya.
"Hem! Rapikan sedikit. Sisakan bagian terpendeknya. Gantung di telinga kananmu lalu pilin kasar."
"Seperti ini?" Vella memilin anak rambut itu dan meletakkan di samping telinga kanannya, sesuai dengan instruksi Javas.
"Good! Rambutmu sangat indah. Tebal dan bervolume. Aku suka dengan rambut warna kecoklatan seperti itu." Puji Javas dengan tulus.
"Te-terimakasih, Vas." Vella benar-benar tersipu malu dengan pujian Javas. Jadi seperti ini cara mainnya. Javas tidak akan segan memuji jika ia menurut apapun yang diinstruksikan Javas.
"Busungkan dadamu, perlihatkan padaku! Beri tahu aku betapa luar biasa indahnya ke dua buah dadamu yang menggantung dengan indah itu."
Vella membusungkan kedua buah dadanya dengan percaya diri. Sedikit menyombongkan dirinya karena ia ingin mendapat pujian lagi dari Javas. Ia ingin memperlihatkan pada Javas bagaimana milikinya ini mampu membuat seorang Pria tampan nan seksi itu tidak akan bisa berpaling dari kedua buah dadanya yang masih kencang, kenyal dan belum pernah tersentuh oleh pria manapun.
"Terlalu berlebihan, Vel. Kau ingin mengadukan kedua buah dadamu dengan siapa?" tanya Javas memutar bola matanya. Melipat bibirnya supaya tidak tertawa melihat tingkah Vella yang masih berusaha menggodanya. Bukannya fokus memberikan 'nyawa' yang dimintanya. "Mau mengadukannya denganku?" Javas semakin menggoda Vella dengan nada penuh seduktif.
"Ma-maaf, Vas." Vella dengan perlahan menurunkan dadanya. Wajahnya bersemu merah menahan malu. Kadang ia lupa jika, ia sedang bertelanjang.
"Jangan fokus padaku. Hargai tubuhmu. Berikan 'Soul' pada semua pose yang kau perlihatkan padaku." Javas menghembuskan napas. Ia berjalan mendekati Vella. Menebarkan aura mengintimidasi yang berkarisma namun kali ini terasa sangat hangat dan bersahabat.
"Agar saat aku membuat patung mu nanti, aku bisa menghargai setiap lekukan tubuhmu itu. Menghormati Pencipta yang sudah menciptakan tubuh seindah dan sesempurna ini. Dan bekerja sama-lah denganku supaya saat aku membuat patung mu nanti pikiranku tidak mesum, jorok dan kotor yang akan berujung pada fantasi liar untuk meniduri mu nantinya, ok." Lanjut Javas panjang lebar.
"I-iya." Mata Vella berlapis kaca kembali. Terharu dengan setiap ucapan Javas yang diutarakannya. Ini pertemuan pertamanya dengan Javas namun Javas selalu memberikan banyak arti dalam hidupnya. "Javas, aku minta ma-maaf." Entah mengapa hanya itu yang bisa Vella katakan sejak tadi.
"Profesional, Ok!" Javas menatap lekat mata kecoklatan milik Vella yang tampak sendu. Memegang kedua bahu Vella dan ia pun bisa merasakan tubuh Vella yang tegang dan berkeringat. Bahkan, ia bisa merasakan betapa kencangnya jantung Vella yang berdebar.
"I-iya, Vas. Aku a-akan bersikap profesional dan tidak akan berusaha menggodamu lagi … eh, ma-maksudku..." Vella langsung membulatkan matanya. Ia tidak sadar sudah mengatakan 'menggoda' di depan Javas. Sebab tangan Javas yang terasa kasar saat menyentuh kulitnya, membuat tubuhnya seperti di sengat aliran listrik dan membuatnya kehilangan sedikit akal sehatnya tadi.
Javas hanya memberikan senyum datarnya pada Vella. Ia paham betul apa yang dirasakan wanita ini.
"Ok, kita lanjut lagi!" Javas menepuk pelan bahu Vella. Membangkitkan kembali atmosfer kepercayaan diri Vella.
Javas memutari tubuh Vella, "Dari sini biar aku ambil alih!" kata Javas tepat dibelakang Vella, dengan cepat ia mengambil kedua tangan Vella menyentaknya dengan gerakan begitu kasar namun terasa sangat sensual untuk siapa saja wanita yang diperlakukan seperti ini.
Javas menyatukan kedua tangan Vella di belakang kepala, menautkan jemari Vella dengan begitu lembut, "Ok!" Kemudian ia merenggangkan kedua tangan Vella, yang otomatis membuat dada Vella membusung dengan sendirinya. "Pertahankan seperti ini," bisik Javas dengan suara berat yang menyebarkan napas hangat di telinga Vella.
Tangan Javas merangkak turun melewati ketiak, bagian pinggir dada Vella dan berakhir di pinggang atas pinggul Vella. Dengan cepat kedua tangan Javas membenarkan pinggang Vella, menekan perutnya. Yang otomatis membuat pantat sintal Vella sedikit menungging bergesekan dengan celana basah Javas yang penuh dengan keringat.
"Majukan sedikit kaki kirimu," ucap Javas mendorong tumit kaki Vella dengan kakinya secara perlahan. "Ok, tekuk lututmu sedikit." Instruksi Javas dengan senang hati.
Vella hanya bisa menurut. Walau tubuhnya sudah benar-benar terbakar api gairah namun Vella harus tetap profesional. Profesional!
Javas sedikit menjauhkan diri. Ingin melihat apakah Pose seperti ini cocok atau tidak untuk Vella. Ia sebenarnya ingin menonjolkan kedua buah dada indah milik Vella yang masih tampak ranum itu. Ia ingin memperlihatkan pada semua orang khususnya Vella sendiri jika Vella memiliki pinggul dan kaki yang tampak proporsional--lebih kearah sempurna.
"Good!" ucap Javas puas dengan arahan gayanya. "Emmm, kita beralih ke ekspresi wajah. Cantik saja tidak cukup jika wajahmu kaku dan seperti mayat."
"Javas, aku bukan mayat," cebik Vella memanyunkan bibirnya.
Javas tidak memperdulikan cebikkan Vella, ia tetap fokus pada pekerjaannya. "Jangan pejamkan matamu," ucap Javas saat jemarinya menelusuri wajah Vella, menatap lekat matanya. Merekam dalam memory-nya. Kadang bidikan kamera tak senyata bidikan mata asli yang memiliki daya tangkapan yang benar-benar sesuai realita yang ada.
"Kau memiliki mata seperti kacang almond. Sangat pas di wajah tegas namun terlihat lembut seperti milikmu. Hidungmu pun tidak terlalu mancung namun tetap cocok disandingkan dengan bibir yang terlihat sedikit tebal tapi sangat seksi ini."
Sembari merasakan deru napas hangat Vella yang sudah terasa berat, ibu jarinya bermain lembut di bagian bibir bawah Vella. Menyaksikan betapa tersiksanya Vella. Yang menahan segala gairah yang membuncah di dalam tubuhnya. Reaksi tubuh yang diberikan Vella pun terlalu berlebihan padahal ia sudah mengatakan jika ia hanya ingin bersikap profesional.
Javas lebih dari tahu jika Vella menginginkan dirinya. Ingin ia menyentuhnya lebih dari ini. Namun Javas tidak punya waktu untuk bermain-main dengan tubuh wanita sampai acara pemerannya terlaksana.
"Ok!!" sentak Javas, sudah cukup merekam dalam otaknya.
Sentakan Javas membuat Vella sedikit terkejut. Membangunkan dunia fantasi gila yang beberapa detik lalu menghanyutkan dirinya.
"Ini terakhir! Berikan aku tatapan sensual mu." Kata Javas turun dari panggung mini itu menuju kearah kameranya, "Kau boleh menggodaku dengan tatapan sensual itu. Jangan lupa mainkan bibirmu!" titah Javas mengambil kameranya. Bersiap membidik tubuh Vella. "Buat aku merasakan nyawa di dalam mata indahmu. Mainkan bibir indahmu. Buat aku ingin mencium bibirmu itu."
"Good seperti itu, Vel! Aku akan mengambil pose ini dari berbagai sudut!" seru Javas membangkitkan semangatnya sendiri. "Jika aku bilang 'POSE' ganti pose-mu, Ok."
"OK!" Tingkat kepercayaan diri Vella mulai meninggi. Ia tidak malu-malu lagi menunjukkan pose yang elegan, berkelas dan tidak tampak murahan di depan Javas.
"Ok, 1 … 2 … 3! Pose!"
"Good! 1 … 2 … 3! Pose!"
"Buka lebar tanganmu! Kaki tekuk! Good!"
…
Setelah 15 menit berlalu, sesi pemotretan pun selesai. Javas sudah mendapat apa yang di mau. Foto-foto ini akan dipakainya untuk membuat patung Vella nanti. Dan foto ini juga yang akan digunakan untuk memutuskan ukiran apa yang pantas untuk menunjukkan eksistensi seorang Vella Houston--seorang anak dari salah satu anggota pemerintah daerah ini.
Javas dan Uki mengantar kepergian Vella hingga keluar dari pabrik.
"Terima kasih, Vas." Vella menjabat tangan Javas. Mulai dari saat ini dan seterusnya ia benar-benar akan menghormati Javas tanpa terkecuali. "Maafkan aku iya?" lanjut Vella dengan wajah yang berseri-seri.
"It's ok," ucap Javas datar namun sudah terdengar santai.
"Jika aku jadi Javas aku tidak akan memaafkan wanita angkuh sepertimu," ketus Uki yang berdiri disamping Javas. Bersedekap menatap tajam kearah Vella.
Mendengar ucapan Uki yang selalu blak-blakan, Javas hanya bisa menahan tawanya. Sungguh Uki tidak bisa menjaga perasaan wanita.
"Cih, aku tidak membutuhkan maafmu," ucap Vella tidak kalah ketus.
"Tidak masalah!" Uki mendengus dengan kesal.
"Semoga, patungku segara jadi iya, Vas." Kata Vella tidak memperdulikan Uki.
"Akan selesai dalam waktu 3 hingga 6 bulan. Mungkin?!" jawab Javas mengangkat kedua bahunya. Ia tidak bisa memprediksi kapan waktu yang tepat untuk menyelesaikan karyanya.
"It's Ok," jawab Vella sedikit terkejut dengan estimasi waktu yang di berikan. "Aku pulang iya, Vas. Terima kasih sekali lagi," kata Vella sembari berpamitan di hadapan mereka berdua.
"Hem," sahut Javas singkat.
***
Salam
Busa Lin
Das könnte Ihnen auch gefallen
Kommentar absatzweise anzeigen
Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.
Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.
ICH HAB ES