App herunterladen
62.5% Istri Sementara / Chapter 5: Bab 5

Kapitel 5: Bab 5

Setelah dua jam Seno kembali ke kamar, suara air yang mengalir masih terdengar, tetapi suara tangisan Hanum sudah tak terdengar lagi. Merasa penasaran Seno membuka pintu kamar mandi, terlihat jika Hanum sudah tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, dengan sedikit cemas Seno berjalan menghampiri sang istri.

Seno jongkok dan segera mengecek keadaan Hanum, badannya terasa sangat dingin. Bahkan bibirnya terlihat bergetar. Tanpa menunggu lama, Seno mengangkat tubuh mungil istrinya dan membaringkannya di atas ranjang. Setelah itu ia mengambil handuk untuk mengeringkan rambut panjang Hanum. Tak lupa Seno juga mengganti pakaian Hanum dengan yang kering.

Setelah itu Seno menutupi tubuh Hanum dengan selimut, tak lupa ia membalurkan minyak kayu putih agar tubuh istrinya terasa hangat. Saat ini Seno tengah duduk di sebelah Hanum, ia memandangi wajah sang istri yang masih pucat. Hanum memang cantik, tetapi sayangnya dia bukan wanita yang Seno cintai.

"Kalau saja mama tidak memaksaku untuk menikah, mungkin kamu tidak akan bertemu pria sepertiku. Kamu memang cantik, tubuhmu juga indah. Namun sayang, kamu bukan tipeku," ungkap Seno. Setelah itu ia bangkit dan beranjak dari dalam kamar.

Saat ini Seno tengah berada di ruang kerjanya. Pria bermata elang itu tengah sibuk dengan pekerjaan yang belum terselesaikan. Masih ada setumpuk dokumen yang harus Seno periksa. Sesekali ia melirik jam yang bertengger di dinding, ada rasa gelisah salah dirinya. Seno juga merasa khawatir, takut jika sampai sesuatu yang buruk menimpa Hanum, istrinya.

Sementara itu, di kamar mata Hanum mulai bergerak, perlahan ia membuka matanya. Setelah kelopak matanya terbuka dengan sempurna, Hanum mencoba untuk bangun. Perlahan ia menyenderkan kepalanya di punggung ranjang, kepala yang terasa berat membuat Hanum memejamkan matanya untuk sejenak. Wanita berambut panjang itu melirik jam yang berada di atas nakas.

"Jam sembilan. Kepala aku pusing banget." Hanum memijit pelipisnya.

Selang beberapa menit pintu kamar terbuka, terlihat seorang pria berjalan masuk. Pria itu tak lain adalah Seno, ia melangkahkan kakinya mendekati sang istri yang masih duduk di atas ranjang. Seno menatap wajah Hanum yang masih terlihat pucat, sementara Hanum hanya diam bahkan wanita berambut panjang itu menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap wajah pria di hadapannya itu.

"Kamu sudah bangun." Seno menjatuhkan bobotnya di sebelah Hanum.

"Sudah, Mas." Hanum menundukkan kepalanya.

Seno menghela napas. "Makan dulu, aku tidak mau kamu sakit. Nanti aku sendiri yang repot."

"Tapi aku .... "

"Aku bilang makan. Bi Siti sudah menyiapkannya." Seno memotong ucapan Hanum, bahkan matanya melotot membuat nyali Hanum semakin menciut.

"I-iya, Mas." Hanum menundukkan kepalanya.

Selang beberapa menit bi Siti datang dengan membawa nampan yang berisi sepiring nasi beserta lauknya. Tak lupa segelas air putih, dengan segera bi Siti menaruh nampan tersebut di atas meja yang berada di kamar tersebut. Setelah itu perempuan setengah abad itu beranjak keluar dari kamar majikannya.

"Sekarang kamu makan dulu, setelah itu lakukan tugasmu," titah Seno..

Hanum mengernyitkan keningnya. "Tugas? Tugas apa, Mas."

"Tugasmu sebagai istri." Seno beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Hanum masih terdiam, ia mencoba mencerna ucapan suaminya itu.

Dua puluh menit telah berlalu, Hanum juga sudah selesai dengan ritual makan malamnya. Saat ini Hanum tengah duduk di atas ranjang, sementara Seno baru kembali ke kamar sebelah menyelesaikan pekerjaan kantornya. Pria berkemeja hitam itu melangkahkan kakinya mendekati ranjang di mana Hanum berada. Seno duduk di sebelah sang istri, ia menatap wanita di hadapannya

itu yang tengah menunduk.

"Sudah malam, sebaiknya sekarang kamu tidur," titah Seno. Seketika Hanum mendongak.

"Em, Mas tidak .... "

"Besok pagi aku ada meeting, jadi aku harus bangun lebih awal. Dan tugas kamu adalah menyiapkan semua keperluanku, mengerti," potong Seno dengan cepat.

"Iya, Mas." Hanum menganggukkan kepalanya, ia bisa bernapas lega sekarang.

"Ya sudah, ayo tidur." Seno naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya di sebelah istrinya. Setelah itu Hanum pun ikut merebahkan tubuhnya. Ia memilih untuk memunggungi suaminya agar mudah memejamkan matanya.

***

Pagi telah menyapa, mentari pun telah keluar dari perpaduannya. Burung-burung berterbangan ke sana kemari dengan kicauannya yang merdu. Hembusan angin pagi menerpa dedaunan kering, terpaannya mampu membuat bunga yang bermekaran menggoyangkan tangkainya. Pagi ini Hanum bangun lebih awal, ia tidak ingin berbuat salah lagi yang dapat memancing kemarahan sang suami.

Pukul enam pagi, Hanum telah selesai masak, sarapan pagi sudah tersaji di atas meja. Dan sekarang ia harus menyiapkannya keperluan Seno, mulai dari menyiapkan air untuk mandi, kopi susu kesukaan Seno, dan juga pakaian serta tas kerja. Setelah semuanya siap, Hanum bergegas untuk membangunkan sang suami.

"Mas, bangun sudah siang." Hanum mengguncangkan tubuh Seno dengan pelan.

Seno menggeliatkan tubuhnya. "Jam berapa sekarang."

"Jam enam, Mas," ucap Hanum. Seketika Seno terlonjak kaget mendengar jika waktu sudah menunjukkan pukul enam.

"Apa! Hanum kenapa kamu baru bangunin aku. Hari ini aku ada meeting, bisa-bisa aku terlambat." Seno berteriak kaget membuat Hanum tersentak kaget.

Dengan cepat Seno bangkit dari tempat tidur dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Sementara itu Hanum segera membereskan tempat tidur yang masih berantakan. Hanya butuh lima belas menit Seno keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Pria berbadan kekar itu berjalan menuju ranjang, untuk bergegas memakai pakaian kerjanya.

Untuk mempercepat waktu, Hanum membantu Seno untuk memakai pakaiannya.

Mulai dari memakai kemeja, serta dasi dan tak lupa jas berwarna hitam. Setelah semua selesai Seno dan Hanum beranjak keluar dari kamar. Keduanya bergegas turun ke bawah untuk menuju meja makan. Namun, untuk pagi ini Seno hanya meminum kopi yang sudah sang istri siapkan.

"Mas nggak sarapan dulu?" tanya Hanum.

"Aku sudah terlambat. Ingat, jangan ulangi kesalahan yang kemarin kalau masih ingin melihat matahari terbit." Seno meletakkan cangkir tersebut di atas meja.

"Iya, Mas." Hanum menganggukkan kepalanya.

"Ya sudah, aku pergi sekarang," ucap Seno. Lantas pria berjas hitam itu mengambil tas kerjanya dan beranjak meninggalkan meja makan.

Hanum menghela napas, ia mengikuti langkah suaminya. Setibanya di teras depan, Hanum memilih untuk berdiri di teras. Sementara Seno bergegas masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan oleh mang Asep. Setelah Seno masuk, mang Asep segera menjalankan mobilnya. Hanum masih berdiri di teras sampai mobil suaminya menghilang dari pandangan mata.

Selepas itu Hanum segera masuk ke dalam rumah, sebelum membereskan meja makan Hanum akan sarapan terlebih dahulu. Namun sebelum itu, wanita dengan balutan dress berwarna biru itu memanggil bi Siti untuk menemaninya sarapan. Awalnya bi Siti menolak, tetapi Hanum memaksanya, karena bukan sekali dua kali saja.

"Ayo dong, Bi jangan sungkan-sungkan." Hanum menyodorkan piring yang berisi tumis kangkung.

"Iya, Nyonya." Dengan sedikit ragu bi Siti menyendok makanan yang Hanum sodorkan.

Hanum dan bi Siti sangat menikmati sarapan pagi mereka. Meski bi Siti hanya seorang pembantu, tetapi Hanum selalu memperlakukannya dengan baik dan juga sopan. Selesai makan, kedua wanita itu segera membereskan meja makan. Hanum selalu membantu bi Siti untuk mengerjakan tugas rumah, meski telah dilarang. Namun Hanum tidak peduli, baginya bekerja lebih baik dari pada hanya berdiam diri.

***

Hembusan angin sore terasa sangat menyejukkan, sore ini Hanum memilih untuk menyendiri di halaman belakang rumah. Memang bosan seharian berada di rumah, tetapi ia tidak ingin membuat Seno marah. Hanum tidak mau mengundang kemarahan suaminya. Itu sebabnya ia memilih untuk menurut, dari pada harus bertengkar. Saat Hanum hendak bangkit dari duduknya, tiba-tiba Rara datang.

"Halo, Mbak. Mbak Hanum lagi nggak sibuk kan." Rara berjalan menghampiri Hanum.

"Rara, enggak memangnya kenapa?" tanya Hanum, heran.

"Temenin Rara ke toko buku yuk. Ada beberapa buku yang harus Rara beli," ajaknya. Rara berharap semoga kakak iparnya mau menerima ajakannya.

"Maaf, Ra. Aku nggak bisa, kamu ajak temen atau .... "

"Ayolah, Mbak. Cuma sebentar kok, nggak lama," potong Rara dengan cepat.

"Maaf, Ra. Mbak nggak bisa." Hanum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

"Apa mas Seno yang udah ngelarang, Mbak untuk keluar rumah," celetuk Rara, hal itu mampu membuat Hanum menghentikan langkahnya.

"Kamu memang benar, Ra. Tapi ya sudahlah, semua itu nggak penting. Aku berada di sini bukan kemauan mas Seno, tapi karena terpaksa," batin Hanum. Dadanya terasa sesak saat mengingat ucapan serta perlakuan Seno.

Hanum memutar tubuhnya seraya tersenyum. "Tebakanmu salah, Ra. Mbak nggak mau pergi karena, mbak sedang nggak enak badan. Jadi lebih baik kamu pergi sama temen kamu ya."

"Hah, ya sudah deh. Nanti Rara pergi sama Wulan, Mbak Hanum cepat sembuh ya. Mbak Hanum sudah minum obat kan." Rara berjalan menghampiri kakak iparnya itu.

"Sudah kok, kamu tidak perlu khawatir seperti itu." Hanum tersenyum, ia harus bisa menyembunyikan kesedihannya.

"Ya sudah deh, Rara pergi dulu ya. Nitip salam buat mas Seno." Rara mencium punggung tangan Hanum.

"Iya. Nanti, mbak sampaikan," ujar Hanum, setelah itu Rara pun beranjak pergi.

Setelah Rara pergi, Hanum memutuskan untuk ke kamar, lantaran waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Hanum akan mandi terlebih dahulu, setelah itu ia akan kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam.

***

Waktu berjalan begitu cepat, pukul sembilan malam Seno baru keluar dari kantor. Pria berjas itu bergegas menuju parkiran untuk mengambil mobilnya. Setelah masuk ke dalam mobil, Seno melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Rasa lelah serta penat membuat pria bermata tajam itu ingin cepat-cepat sampai di rumah. Terlebih saat mengingat jika di rumah sudah ada yang menunggunya.

Walaupun tidak ada rasa cinta untuk Hanum, tetapi saat melihat bagaimana wanita berusia dua puluh tahun itu meladeni serta melayaninya, membuat Seno ingin cepat sampai di rumah. Terkadang Seno merasa bimbang, haruskah ia mempertahankan pernikahannya itu, atau mengakhiri setelah wanita pujaannya kembali. Seno memijit pelipisnya ketika memikirkan hal itu.

"Apa mungkin aku jatuh cinta dengan wanita yang baru saja aku kenal, ini sangat mustahil. Cintaku hanya untuk Cristie, hanya dia yang akan menjadi pendamping hidupku." Seno menghembuskan napasnya, setelah itu ia kembali fokus untuk menyetir.

Hanya butuh satu jam kini Seno sudah tiba di rumah, pria berkemeja putih itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dengan jas sudah terselampir di lengan. Hanum yang melihat suaminya telah pulang, dengan segera ia bangkit dari duduknya. Hanum berjalan menghampiri Seno, lalu mengambil alih jas dan tas kerjanya.

"Mas mau mandi dulu, atau mau makan?" tanya Hanum.

"Aku mau mandi dulu," jawab Seno.

"Aku siapkan air dulu, Mas." Hanum beranjak dari hadapan suaminya.

Setibanya di kamar, Hanum meletakkan jas dan tas  kerja tersebut di tempatnya. Setelah itu Hanum  segera masuk ke dalam kamar mandi menyiapkan air untuk mandi suaminya. Setelah selesai wanita berambut panjang itu keluar dari kamar, terlihat jika Seno tengah melepas dasinya.

"Airnya sudah siap, Mas," ucap Hanum. Sementara Seno hanya berdehem.

Seno beranjak masuk ke dalam kamar mandi, sementara Hanum akan menyiapkan pakaian untuk sang suami. Belum sempat ia membuka almari, tiba-tiba ponsel Seno berdering. Awalnya Hanum tidak peduli, karena ia tidak pernah mau berurusan dengan urusan sang suami. Namun, lama-lama Hanum merasa penasaran, dengan ragu-ragu ia mengambil ponsel Seno.

"Pesan dari siapa ya," batin Hanum. Perlahan ia membuka isi pesan di ponsel suaminya.

@Cristie

[ Malam, Sayang. Bagaimana kabarmu, kamu masih ingat denganku kan. Tidak lama lagi aku akan kembali ke Indonesia, maaf ya karena baru sempat kasih kabar ]

Deg, jantung Hanum terasa berhenti berdetak, bahkan dadanya terasa nyeri saat membaca pesan tersebut. Pesan yang jelas-jelas dikirim untuk Seno dari Cristie, wanita yang sangat Seno cintai dan kagumi. Mungkinkah wanita itu benar-benar akan kembali, itu artinya Hanum akan tersingkir. Tiba-tiba saja Hanum terlonjak kaget saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Ia gelagapan sendiri saat menyadari jika Seno keluar dari kamar mandi.


next chapter
Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C5
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen