App herunterladen
5.18% I FEEL ALONE / Chapter 23: I FEEL ALONE - Semuanya sia-sia

Kapitel 23: I FEEL ALONE - Semuanya sia-sia

Terasa sangat begitu sulit bagi gue bisa mencari tempat untuk berbagi cerita. Sebegitu sulitnya gue buat mencari telinga yang mau mendengar, tapi kenapa hanya gue yang merasa sulit sedangkan kalian tidak? Seingat gue, gue selalu berusaha ada di saat kalian butuh, tapi kenapa di saat gue butuh kalian semua tak ada. Kenapa?

Percayalah yang di harapkan dari seseorang yang sedang rapuh itu hanya sebuah saran dan nasihat. Dia yang sedang rapuh tak minta hal yang lebih, dia hanya berharap akan hal itu saja, karena dengan mendapatkan hal itu dia merasa lebih baik.

Iya gue tahu saran dan nasihat tidak dapat mengubah keadaan, tapi dia akan merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Gue pernah mendapatkan dua pasang telinga yang mau mendengar semua cerita gue, tapi sayangnya gue gak mendapatkan 1 bibir yang mau memberi nasehat dan juga tak mendapat 1 buah hati yang mau memahami.

Semuanya terasa sia-sia saja.

Seharusnya saat orang itu berbagi cerita tentang masalah hidupnya, ada dua telinga yang mendengarkan keluh kesahnya, 1 buah bibir yang mau berucap dan memberinya nasihat atau semangat dan juga 1 buah hati yang mau memahami apa yang sedang ia alami.

Itu saja cukup, dia yang sedang rapuh tak membutuhkan materi, dia hanya membutuhkan sebuah perasaan. Perasaan yang mau ikut memahami.

"Rin, Sel gue mau curhat boleh?" tanya gue saat kami sedang bersantai di kelas.

"Boleh Vitt tinggal cerita aja," jawab Rindi, kemudian Sela juga mengangguk mengiyakan.

Gue mulai menceritakan sebagian hal yang sedang gue rasakan sekarang. Gue menceritakan betapa susahnya gue menjalani hidup dalam keadaan yang seperti ini.

Betapa sakitnya gue mendapat perlakuan yang tak pantas buat gue rasakan, bahkan tanpa sadar sebulir air mata menetes membasahi pipi gue, mungkin karena gue terlalu serius saat bercerita.

Tapi selama gue bercerita, gue baru sadar kalau sedari tadi mereka hanya fokus pada fokusnya masing-masing, Rindi fokus pada novel yang sedang ia baca dan Sela fokus pada cerita webnovel yang tengah ia baca.

"Oh gitu," jawab Sela tanpa melirik ke arah gue. Tatapannya masih pada layar ponselnya.

"Sabar aja Vitt," ucap Rindi yang juga masih fokus pada lembar halaman novelnya.

Mereka berdua berucap tanpa ekspresi, bahkan mereka berdua berucap tanpa menatap gue, gue yakin mereka hanya mengucapkan kata-kata yang umum diucapkan ketika orang sedang bercerita.

Hem, gue menarik napas gue dalam-dalam. Awalnya gue ingin mendapatkan sebuah saran dari mereka, tapi ternyata saat gue sudah cape-cape menceritakan semuanya, mereka malah mengabaikan gue.

Gue serasa sedang curhat sendirian. Apa kalian pernah mengalami hal yang sama dengan yang gue alami sekarang? Jika tidak kalian beruntung, tak seperti gue.

"Hem iya Sel, Rin, makasih udah mau dengerin," ucap gue sambil tersenyum miris.

Sakit! Itulah yang gue rasakan saat gue sudah berbicara panjang lebar dengan penuh keseriusan, namun mereka dengan mudah hanya memberikan respons dengan sebatas kata 'oh' dan 'sabar'.

Iya gue sabar, saking sabarnya gue lupa kalau di sini ternyata hanya gue yang menganggap kalian teman, sedangkan kalian tak begitu. Gue sabar ketika mendengar semua curhatan kalian, tapi kalian?

Apa bisa bersabar meluangkan 15 menit waktu kalian untuk menunda kesibukan kalian dan fokus pada cerita yang tengah gue ceritakan? Tidak bukan? Gue pernah memberikan nasihat kepada kalian dari permasalahan yang sudah kalian ceritakan, tapi kalian?

Ketika kalian lihat gue yang begitu ceria berjalan tanpa beban pikiran, itu semua salah. Gue punya banyak beban pikiran yang tak pernah kalian tahu, bahkan kalian bayangkan saja mungkin tak pernah.

Kalian hanya beranggapan bahwa hidup gue enak dan tak mempunyai beban, tapi kenyataannya banyak beban yang gue tanggung sekarang. Terlebih lagi hidup gue yang sekarang hanya dipenuhi oleh bayangan masa lalu yang sama sekali tak ingin gue ingat.

Gue gak punya teman karena gue cuek? Haha salah. Gue gak punya teman bukan sebab gue cuek, tapi gue cuek sebab gue gak punya teman.

Gak ada yang perlu gue pedulikan di hidup gue sekarang, karena tak ada juga yang peduli sama gue, bahkan orang tua gue juga sudah tak mau peduli sama gue. Jadi, untuk apa gue harus care, lagi pula kepada siapa gue harus care? Gak ada bukan?

Au sakit. Kenapa setiap gue mendengar atau mengingat kata orang tua hati gue selalu sakit? Kenapa? Ada apa dengan mereka? Sebegitu sulitnya hati gue buat menerima mereka? Ah gue rasa bukan karena itu, namun hati ini terlalu sadar bahwa hadirnya teramat tak begitu di harapkan.

Tuhan kenapa aku di takdirkan sendiri?

Gue selalu merasa sendiri. Terasa begitu lengkap bagi gue, sebab apa? Sebab orang tua sudah tak lagi peduli sama gue, kembaran apa lagi, adik? Sama saja.

Semua keluarga gue sudah tak ada yang peduli dan menganggap gue ada. Mungkin mereka sudah beranggapan kalau gue sudah tiada, hehe. Teman? Sama. Mereka semua tak ada dan gue gak merasakan kehadiran mereka di hidup gue.

Pacar? Sampai saat ini belum ada yang bisa membuat gue merasakan kehadirannya. Sampai sekarang belum ada yang bisa mengubah perasaan gue. Jadi, sampai saat ini gue masih merasa sendirian.

Gue melihat ke arah paha gue. Gue memegang pelan bekas luka yang kini sudah mulai mengering, namun percayalah perihnya masih tersisa. Ketika gue sadar, gue juga berpikir buat apa gue melakukan ini semua?

Gak ada juga kan yang peduli sama gue ketika gue melukai diri gue sendiri dan ini semua tidak dapat mengubah keadaan juga. Kalau gue melukai diri sendiri, hanya gue yang tahu dan hanya gue yang bisa merasakan bagaimana sakit dari luka yang sudah gue timbulkan.

Itu semua terpikir ketika gue sadar, tapi! Ketika gue emosi, itu semua tak terpikir. Apalagi ketika hati gue merasa sakit, yang ada di pikiran gue saat itu hanyalah bagaimana menyalurkan rasa sakit dalam hati gue ke tempat yang lain dan mungkin ini adalah cara yang gue pilih untuk menyalurkan semua rasa itu. Sungguh sakit ketika harus menahan rasa sakit di hati.

Kenapa gue tiba-tiba tersenyum saat melihat bekas luka yang masih tersisa di tangan gue. Pikiran gue teringat akan dia, iya dia. Dia orang dingin berparas tampan, tapi ucapannya tak sebaik rupanya. Karena apa? Karena kalimat yang dia ucapkan itu sangat tajam.

Gue baru tersadar kalau dia sudah beberapa kali hadir di hidup gue. Namun selama itu gue belum tahu siapa nama dia, bahkan sampai saat ini gue belum tahu siapa dia. Ah bodo amat gue gak peduli!

Sebenarnya lo itu siapa sih? Kenapa lo selalu datang?


next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C23
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen