Das könnte Ihnen auch gefallen
Kommentar absatzweise anzeigen
Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.
Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.
ICH HAB ES
Kapitel 2: Pertemuan antar pewaris tahta
Kedua tubuh dewasa itu tak berhenti menjamah. Mereka saling membelit dengan si dominan yang mengungkung wanitanya di bawah tubuh besar miliknya. Tangan sang pria bahkan mulai mengoyak kasar inti tubuh yang ada di bawahnya itu. Lenguhan wanita itu bahkan sesekali teredam dengan cumbuan panas sang pria. Sudah lebih dari setengah jam dan pria yang memegang kendali itu bahkan masih berpakaian lengkap.
"Eunghh... Oh, ayolah Max! biarkan aku memuaskanmu juga," mohon wanita itu dengan tangan lancang meraba gundukan keras di balik celana bahan pria bernama Max itu.
"Kau sudah melewati batasanmu, kau tau akibatnya kan?" Ucap Max sambil membenarkan kemeja hitam miliknya yang berantakan. Ia berpaling dan duduk di pinggir ranjang kamar mewah milik sang sahabat itu. Ya, mereka memang masih berstatus sahabat sejak kecil. Max tak bisa memungkiri rasa sayangnya untuk wanita yang kini sibuk membenarkan rok mininya yang terangkat sampai perut itu. Celana dalamnya bahkan sudah basah siap untuk digempur habis-habisan.
"Huh, kau sangat menyebalkan Max! Mau berapa kali lagi kau buat aku rendah diri seperti ini, eh! Apa aku begitu tak menarik untukmu?" ucap wanita itu yang kini sudah sesegukan. Ia terlalu lelah, lelah untuk terus diberikan harapan palsu.
"Kau membuatku tampak paling bersalah disini, Le!" gumam Max, tangannya mengacak kasar rambut miliknya.
"Aku tau kau berpikiran jika aku adalah wanita binal, tapi kau tau... Aku hanya berusaha menghilangkan trauma masa laluku, aku ingin seperti dulu! Sebelum peristiwa itu terjadi dan menimpaku," ucap wanita dengan tangis berlinangnya. Kalimat terakhir itu di ucapkan dengan sangat lirih.
Wanita itu tak sanggup menahan memori sedih. Tubuhnya terlalu lemah hingga membuat punggung lebar Max lah yang jadi penawarnya. Wajah basah penuh air mata itu pun di tempelkan pada kemeja pria itu.
Mendesah panjang, Max tau jika ini dampak yang sangat berat untuk hidup Lea, tapi tak dipungkiri juga ia merasa mulai terkekang dengan ini semua. Bahkan sudah lewat dua tahun, semua ingatan itu sama sekali tak meninggalkan bekas samar, semua malah nampak seperti bayangan hitam pekat yang akan selalu mengikuti kemanapun mereka melangkah.
Max memaksa pergi dari rumah Lea setelah itu. Bukan tak peduli, ia hanya tak ingin kejadian memalukan tadi akan berlanjut. Max memacu mobil mewahnya di tengah lalu lintas kota yang sedikit lenggang, dengan kecepatan normal menurutnya.
"Kata mama suruh pulang, kalau tidak... Brother siap-siap saja besok diberondong mama sama calon mantu. Oh ya, sepertinya dia sudah sangat tak sabar menjadi seorang nenek. Hehehe..." ucapan panjanh seorang wanita yang merupakan adik Max, setelah dengungan ponsel itu dijawab.
"Dasar mama... Ya, ini di jalan, kok!" balas Max singkat. Ia langsung mematikan ponsel dan melemparnya ke kursi penumpang kosongnya. Lagi-lagi pikiran penatnya yang sudah penuh dengan pekerjaan itu di tambahi oleh hal tak penting, desakan orangtuanya untuk mencari jodoh. Sangat memusingkan!
Dilain sisi, setelah peristiwa di klub dua hari lalu, Nathan begitu sangat frustasi. Yang dilihatnya waktu itu memang Rian, tatapan nanar dan penuh kecewa itu membuatnya tanpa sadar berlari dan membuat wanita yang duduk di pangkuannya itu terjengkang dan akhirnya jatuh ke lantai. Nathan tak peduli lagi anggapan kawan-kawannya, ia terus berlari hingga tangan pria yang sedikit lebih kecil darinya itu berhasil digapai. Nafas mereka saling beradu saat mereka saling bertatapan. Nathan sedikit tersengal karena terlalu terkejut dengan kebetulan malam ini. Tapi ia tak bodoh, cengkraman tangannya makin di pererat saat Rian mencoba memanfaatkan itu untuk kabur darinya.
"Ikut aku!" Perintah Nathan tanpa menunggu harus di tanggapi. Mereka masuk ke mobil milik Nathan dan mengunci pintu, menyekap kekasihnya untuk di beri penjelasan paksa atas kesalahpahaman yang di lihatnya, Nathan terlihat mesra dengan seorang wanita.
"Itu tadi salah paham," ucap Nathan mengawali, setelah suasana senyap beberapa saat lalu.
"Semua akan mengatakan kalimat itu saat sedang kepergok," sindir Rian sambil membuang muka.
Nathan frustasi, belum cukup masalah satu, timbul yang lainnya. Pria itu sampai menjambak rambutnya dengan sangat keras. Walau begitu, emosinya harus di tahan.
"Kau harusnya mengerti, itu adalah hadiah dari kawan-kawan ku untuk menyambut kepulanganku. Tak mungkinkan aku langsung menolak? Apa anggapan mereka tentang ku nanti," jelas Nathan berusaha di untuk bernegosiasi.
"Kau akan di anggap gay atau impoten, pria tak mungkin menolak wanita yang nyaris telanjang ada dipangkuannya!" sentak Rian dengan suaranya yang sangat ketus. Kekasih Nathan itu masih tak sudi untuk balas menatap.
"Demi Tuhan, apa aku salah lagi kali ini?"
Harusnya ia tau, Rian selalu saja pintar dalam kata-kata. Nathan bahkan terjebak. Niatan untuk memberi pembelaan diri malah di lalap balik dengan kesalahan mutlak.
"Setelah dua minggu aku akan memutuskan tentang hubungan kita. Ku rasa waktu itu cukup untuk membuat kau sadar akan kesalahanmu."
Dan Nathan berakhir dalam kata-kata yang tak pasti itu, menunggu?
Sungguh, itu adalah dua hari yang lalu. Tapi kata-kata yang dilontarkan Rian terasa terngiang-ngiang hingga saat ini. Jika bukan karena rapat penting perdananya besok pagi, ia pasti akan berada di depan apartemen milik Rian dan menunggu penjaga untuk mengusirnya seperti kemarin.
"Hai, kawan-kawan! Apakah kalian masih hidup?"
Bunyi pesan grup itu membuat Nathan tersadar dari lamunannya. Bibirnya menyungging senyum tipis saat pesan balasan yang lainnya itu dibaca.
"Menurutmu? Aku yakin kau baru saja mendapat kode balasan dari salah satu wanitamu.... Suasana hati yang terlihat sebagus itu, tak bisa di bohongi kawan..." balas Aki menimpali pesan Tommy.
"Aku tidur," tulis Ilham yang seperti menandakan ketidakpeduliannya pada sapaan baik Tommy.
"Bahkan Ilham langsung melarikan diri saat mendapati Tommy yang seperti itu. Sudah ditebak, apakah kau akan curhat bagaimana rasanya wanita itu?" pesan Galang yang kini hadir.
"Sekarang bahkan aku masih bergumul di satu selimut dengannya, kawan..." timpal Tommy dengan beberapa gambar ekspresi kesenangan.
"Dasar gila! Jangan katakan kalau 'Milikmu' itu masih terhubung?!" balas Aki dengan gambar wajah pias.
"Kau begitu mengerti Aki. Kapan-kapan kalian cobalah seperti ku, hai para perjaka tua!" pesan Tommy meledek yang lain. Sebuah gambar terkirim pun lantas di buka oleh Nathan, tubuh yang terlihat terbalut dengan selimut dengan posenya yang sangat menempel.
"Tommy gila! Aku seperti memasuki grup mesum!" tulis Nathan menanggapi keisengan Tommy.
Keesokan paginya, pertemuan penting itupun akhirnya terlaksana.
"Seperti yang kita tau, untuk prospek kedepannya kami harap hubungan antar perusahaan kita lebih dieratkan lagi."
Kalimat penutup itu membuat Nathan tanpa sadar menghembuskan nafas lega. Bahkan ia tak tau jika sedari tadi terus diperhatikan oleh sepasang mata yang menatapnya intens. Nathan tak tau, ia saja sudah terlebih dahulu fokus kepada ponsel yang membuat Nathan menyungging senyum lebar-lebar, tanpa merasa sungkan. Lagipula ucapan penutup itu menandakan akhir dari diskusi pribadi kedua orang yang baru bertatap pertama kali itu, kan?
"Ehem! Kau harusnya menikmati hidangan makan siang ini dulu, Tuan Nathan!" teguran itu membuat atensi Nathan teralih. Wajah rupawan dengan garis rahang tegas itu membuat Nathan secara tidak langsung terintimidasi.
"Oh ya, maafkan saya, tuan," timpal Nathan membalas. Ponselnya pun di matikan dan kemudian di letakkan di atas meja depannya.
"Max. Maxime Nandara kau bisa memanggil sesukamu, Tuan Nathaniel Adikusuma," jawabnya dengan nada tegas, pandangannya seperti orang merendahkan dan Nathan sadar itu.
"Maaf sekali lagi Tuan Max."
Ya, ini sudah kesekian kalinya ia berbuat salah. Ponsel miliknya beberapa kali berdering dengan panggilan masuk ataupun pesan tak penting dari kawan-kawannya. Pada awalnya ia merasa pertemuan bisnis seperti ini tak perlu setegang saat rapat bersama dewan direksi yang penuh dengan penampakan wajah keriput. Tapi nyatanya ia salah, hanya untuk saling memperkenalkan diri sebagai calon penerus di masing-masing perusahaan harusnya bersikap formal, bahkan di restoran sekalipun. Sangat menyebalkan!
"Orangtua kita adalah teman dekat, mereka berharap hubungan antar dua keluarga ini bisa tetap erat. Dan saya berusaha untuk itu, Nathan. Oh ya, di lain pekerjaan saya bisa bersikap seperti seorang kawan pada umumnya," ucap Max tanpa mengalihkan perhatian pada Nathan. Tangannya masih bekerja untuk memotong steak daging didepannya. Nathan secara tidak langsung menelan ludah, pandangan dingin seperti itu. Mana ada yang mau jadi temannya?