App herunterladen
5.88% GADIS 100 MILIAR / Chapter 10: CIUMAN TIBA-TIBA

Kapitel 10: CIUMAN TIBA-TIBA

Gadis itu telah dua kali mengingatkannya makan. Sebuah perhatian yang tidak pernah Andres dapatkan dari orang lain kecuali ibunya. Ya, setiap kali dia menghubungi ibunya atau ibunya menghubunginya, wanita itu selalu menanyakan apakah dia sudah makan dan mengingatkannya untuk menjaga kesehatan. Andres diliputi rasa penasaran apakah gadis itu juga mengkhawatirkannya.

"Kamu mengkhawatirkanku?" Tanyanya.

Andres melihat gadis itu menggigit bibirnya.

"Iya," jawab gadis itu dengan wajah bersemu merah.

Andres merasa kakinya melemah. Dia segera menurunkannya. Gadis itu mendongakkan kepala. Dia terlihat khawatir. Andres bertanya-tanya apa gadis itu tahu dia baru saja akan jatuh pingsan. Andres menghela napas lalu tersenyum untuk memberitahu dia baik-baik saja. Alih-alih menjawab senyumnya atau mengatakan sesuatu, gadis itu malah menyandarkan kepalanya di dadanya dan kini tangannya dilingkarkan di pinggangnya. Tubuhnya merapat dan pelukannya semakin erat. Hembusan napasnya terasa hangat di dadanya. Andres mengangkat kedua tangannya dan merangkul bahunya. Se siente bien [Ini terasa pas], gumamnya dalam hati.

Entah berapa lama mereka berada dalam posisi seperti ini. Andres sempat mengira gadis itu tertidur, namun pelukannya masih sama eratnya. Dia membelai rambutnya sambil menciuminya. Gadis itu menggeliat dan melepaskan pelukannya ketika ciumannya semakin dalam menyibak rambutnya, menyentuh kulit lehernya. Andres dengan enggan menghentikan aktivitasnya dan ikut melepaskan pelukannya.

Gadis itu meraih pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke dapur. Andres menurut saja. Dia pun duduk ketika gadis itu mendorong tubuhnya ke atas kursi. Dia mengamati tangan mungilnya yang mengambil bungkusan makanan dan membukakan untuknya. Gadis itu memindahkan kursinya ke sebelahnya dengan cara menariknya sehingga menimbulkan suara berdenyit di telinganya yang membuatnya bergidik. Andres tetap diam. Gadis itu duduk di sebelahnya. Tangannya sibuk menyendoki Paella, nasi khas Spanyol, dengan garpu. Ini bukan waktu yang tepat makan Paella. Biasanya Andres dan orang Spanyol pada umumnya memakannya pada jam makan siang. Karena dia ingat gadis itu belum makan nasi selama dua hari, dia membelinya malam ini. Dia berpikir masih bisa mentolerir. Akan tetapi, dia tidak pernah membayangkan makan Paella di tengah malam begini.

"Aku tidak suka disuapi." Andres memberi tahu.

Gadis itu menoleh padanya lalu menaruh garpunya.

Andres menarik kursi gadis itu hingga berdempetan dengannya. Tangan kirinya merangkul pundaknya dan menariknya dalam pelukannya. Dia menempatkan kepala gadis itu di pundaknya. Dia membelai rambutnya dengan tangan kirinya sambil mengambil garpu dengan tangan kanannya lalu mulai makan. Ternyata ini berhasil membuat nafsu makannya kembali. Andres mendaratkan sebuah kecupan di ubun-ubun gadis itu setelah menghabiskan makanannya.

***

Pagi ini Andres bangun jam 5 pagi. Dia membuka mata dengan mood yang bagus. Dia melakukan berbagai rutinitas paginya seperti biasa. Dia sedang mengolesi roti dengan pasta tomat ketika pandangan matanya menangkap kehadiran gadis itu yang sedang memandanginya dari kursi makan.

"Aku tidak melihatmu datang," dia memberi tahu.

Gadis itu tersenyum, "kamu terlalu sibuk dengan masakanmu."

Andres tertawa. Dia mengira gadis itu masih tertidur di kamarnya saat ini. Dia tidak menyangka dia akan pergi ke dapur dan menontonnya memasak. Dia menyukai kejutan kecil ini. Ah, dia selalu menyukai tatapan mata bulatnya dan senyum di wajahnya itu.

Mereka sudah duduk berhadapan.

"Ini burger Spanyol?" Tanya gadis itu.

"Kami menyebutnya Serranito."

"Kamu yang membuat sendiri rotinya?"

"Tidak. Ada supermarket Spanyol di pusat kota."

"Tapi kamu bisa membuatnya sendiri?"

"Iya. Kalau ada waktu luang."

"Bagaimana cara makannya?"

"Kamu boleh makan dengan tanganmu."

Gadis itu mengambilnya lalu mulai menggigit.

"Mmm ini enak," pujian itu keluar dari mulutnya.

Andres tersenyum senang.

"Apa kamu seorang koki?" Tanya gadis itu.

Andres menyelesaikan memotong Serranito-nya menjadi dua bagian sebelum menjawab pertanyaan gadis itu.

"Tidak. Ya, aku ingin, tapi aku hanya memasak untukku sendiri."

"Kamu memasak untukku," gadis itu mengingatkan.

"Itu pengecualian. Aku tidak bisa membiarkanmu mati kelaparan."

"Wah, kamu memang peduli. Terima kasih," gadis itu tersenyum riang lalu menggigit Serranito-nya lagi.

Andres mengangkat sebelah alisnya. Gadis ini.. Dia berumur 27 tahun tapi tingkahnya seperti remaja 17 tahun. Bahkan adik perempuannya tidak semanja ini.

"Kamu mau makan apa nanti siang?" Tanya Andres setelah mereka selesai makan.

Gadis itu menyipitkan matanya.

"Jangan bilang terserah."

"Kamu mau memasaknya untukku?" Tanya Gadis itu.

"Aku tidak bisa. Tidak ada waktu. Aku akan meminta Mustar membelikannya untukmu."

"Kalau begitu aku mau mie ayam ceker."

Dari begitu banyak menu makanan nusantara yang ada di kepalanya, mengapa gadis ini menyebut mie ayam ceker?

"Kamu belum pernah memakannya?"

"Sudah."

"Tapi tidak kaki ayamnya." Gadis itu tertawa. Cara gadis itu menyebut ceker dengan kaki ayam membuat bulu kuduknya meremang.

"Aku memakannya," jawab Andres membela diri.

Dia pernah memakan ceker ayam, tentu saja. Itu kesukaan ibunya, tapi tidak termasuk makanan favorit Andres.

"Sungguh?"

Mata bulat gadis itu mengamati. Andres merasa tersinggung.

"Mengapa kamu keheranan begitu? Apa aku terlihat seperti seorang penakut?"

"Tidak. Aku punya beberapa teman bule dan mereka bahkan mau muntah melihatnya."

"Aku punya darah Indonesia, kamu ingat?"

"Tapi aku tidak pernah melihatmu masak makanan Indonesia."

"Aku tidak bisa memasak makanan Indonesia."

"Mengapa? Kukira lebih mudah."

"Bagaimana kamu bisa mengatakannya lebih mudah, sedangkan kamu sendiri tidak bisa masak?" Sindir Andres dengan nada cukup tajam.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya.

"Hmph. Bisanya mengejek orang," dia bergumam sendiri.

Andres tertawa. "Kamu tersinggung?"

"Ya!" Suranya meninggi dan wajahnya berubah masam.

Andres tertawa lebih keras.

"Belajarlah memasak biar aku bisa memujimu."

Mata gadis itu berkilat, "kamu akan mengajariku?"

"Hmm.. Tidak gratis," jawab Andres setelah berpikir sejenak.

"Apa syaratnya?"

"Kamu harus menciumku tiap pagi."

"Dasar mesum! Lupakan saja."

Andres memberi tawaran, "aku tidak memintamu memberiku ciuman panas. Cukup satu kecupan di pipi."

"Mengapa harus di pagi hari?"

"Kamu mau di malam hari?"

"Aku serius!" Suaranya melengking lagi.

Andres sendiri tidak tahu mengapa dia memintanya di pagi hari. "Agar aku lebih bersemangat menjalani aktivitasku?"

"Oke. Aku setuju," jawaban tiba-tiba gadis itu membuatnya terkejut.

"Kamu bisa menciumku sekarang. Anggap saja sebagai percobaan. Jika ciumanmu berhasil, aku akan mulai mengajarimu masak nanti malam."

"Jangan gila!"

Andres tertawa lagi mendengarnya. Dia menyadari fakta ketiga bahwa dia senang menggodanya. Gadis itu berdiri dan mengambil semua peralatan makan. Mata hijaunya mengikutinya yang berjalan ke arah wastafel dan mulai mencuci alat makan. Ada perasaan yang membuat Andres bahagia dan tersenyum sekarang. Apa perasaan ini juga yang dirasakan gadis itu ketika menontonnya memasak?

Setelah beberapa menit, Andres beranjak dari tempatnya menuju kitchen island. Membersihkan dapur sudah menjadi bagian dari aktivitas memasaknya. Dia selalu meninggalkannya dalam keadaan bersih. Gadis itu sudah selesai dan berdiri di sampingnya.

"Kamu bisa balik duluan," perintah Andres.

Gadis itu mengangguk. Andres melihatnya menjijit lalu mendaratkan sebuah kecupan singkat di pipinya. Ciuman tiba-tiba itu membuat jantungnya berdetak kencang. Gadis itu langsung berlari kabur sebelum tangannya berhasil menangkapnya.

***

Zizi berdiri di pinggir balkon kamarnya. Sinar matahari pagi mulai terasa menyengat kulitnya. Dia bertahan karena beberapa menit yang lalu dia melihat mobil hitam terparkir di depan rumah. Dua orang pria berpakaian rapi muncul dari dalam rumah berjalan ke arah mobil itu. Seorang dari mereka membuka pintu penumpang untuk yang lain. Mereka adalah Ajudan dan pria itu.

"JANGAN LUPA MIE AYAM CEKERKU!!!" Zizi berteriak kencang agar suaranya sampai ke bawah.

Pria itu tidak jadi masuk. Kepalanya menengadah, mencari asal suara.

"DISINI!" Zizi melambaikan tangannya sambil berjinjit.

"JANGAN MELONCAT-LONCAT SEPERTI ITU! KAMU BISA JATUH!" Pria itu berteriak marah dari bawah sana.

Zizi membela diri, "TIDAK APA-APA! PAGARNYA TINGGI!"

Pria itu berteriak lagi untuk memberitahunya, "AKU MAU BERANGKAT KE KANTOR!"

"IYA! HATI-HATI!" Jawab Zizi sambil melambaikan tangannya.

Pria itu tersenyum sambil ikut melambaikan tangan. Zizi tertawa melihatnya.

Sebelum pria itu masuk ke dalam mobil, Zizi memberanikan diri bertanya, "APA AKU BOLEH KELUAR RUMAH? AKU JANJI TIDAK AKAN KELUAR PAGAR! AKU BOSAN DI KAMAR TERUS!"

"IYA! BOLEH!"

Jawaban pria itu membuatnya kegirangan. Dia bertanya lagi, "BOLEH AKU TURUN SEKARANG?"

"IYA! TURUNLAH SEKARANG!"

Zizi segera menghambur ke dalam kamar. Dia menyempatkan diri mampir di depan cermin dan terpaku pada penampilannya. Lihatlah wajahnya yang kusam dan rambutnya berantakan. Dia bahkan belum mandi. Zizi berlari ke depan meja hias. Dia membuka laci, mengambil kapas dan pembersih wajah, lalu membersihkan wajahnya. Dia tidak seperti pria itu yang butuh waktu hampir setengah jam membersihkan wajahnya. Dadanya berdesir mengingat kejadian itu apalagi ketika pria itu tiba-tiba menciumnya. Zizi mengibas-ngibaskan kepalanya untuk mengusir pikirannya. Dia tidak mau tertular virus mesum pria itu.

Zizi melanjutkan aktivitasnya. Dia mengambil BB Cushion untuk mempersingkat waktu. Setelah permukaan wajahnya terlihat rata, dia mengambil lipstik yang mengandung pelembab karena bibirnya terlihat kering. Tubuhnya membeku ketika menyadari kini bibir merahnya terlihat basah. Perasaan khawatir menyergapnya memikirkan respon pria itu jika melihat bibirnya seperti ini. Dia sempat akan menghapusnya sebelum muncul pikiran lain. Pria itu tidak mungkin mau menunggunya lama. Zizi yakin pria itu akan segera berangkat apalagi kalau Zizi bisa lebih berlama-lama lagi.

Ini sudah beberapa menit berlalu, belum lagi ditambah waktu yang dibutuhkannya untuk sampai ke depan pintu utama di lantai bawah. Zizi mengambil sisir dan menyisir rambutnya dengan santai. Setelah itu, dia mengoleskan lotion di kedua tangan dan kakinya. Dia mungkin akan berada di luar selama berjam-jam. Zizi ingin berkeliling dan duduk di atas rumput di bawah salah satu pohon rindang. Zizi berdiri dan menyemprotkan parfum di leher dan bajunya.

Tubuhnya mematung ketika berhasil membuka pintu utama dan langsung melihat pria itu sedang bersandar di pintu mobil, menatap lurus padanya. Dia mulai gemetaran. Pria itu pasti akan memarahinya karena telah membuatnya menunggu lama, sangat lama, mungkin sudah lebih dari setengah jam. Zizi segera berjalan cepat menghampirinya.

"Mengapa kamu-" Mereka berbicara berbarengan.

Pria itu mengisyaratkan Zizi berkata duluan.

"Mengapa kamu belum berangkat?" Tanya Zizi dengan suaranya yang tiba-tiba memelan.

Pria itu bertanya balik dengan mata menyipit dan nada yang terdengar menuntut, "katamu tadi mau turun?"

Zizi tidak membalas ataupun membela diri. Dia masih terkejut mendengar jawaban pria itu dan dia tidak tahu harus mengatakan apa. Otaknya berhenti beroperasi.

"Mengapa kamu lama sekali turunnya?" Tanya pria itu dengan kesal sambil memperhatikan wajahnya lebih teliti.

"Aku... " Zizi malu kalau harus mengakui dirinya berdandan terlebih dahulu sebelum keluar kamar.

"Kamu membuatku telat." Pria itu memberi tahu dengan gamblang menunjukkan eskpresi kekesalannya.

"Maaf." Zizi mendesah dengan penuh penyesalan.

Seulas senyum tersungging di bibir pria itu lalu tangannya terulur untuk mengacak-acak rambutnya. Padahal baru saja disisir, batin Zizi.

"Jangan terlalu lama di luar," pesannya kemudian.

Zizi mengangguk.

Pria itu berbalik, membuka pintu mobil lalu masuk. Ajudan yang kehadirannya tidak Zizi sadari sebelumnya segera menutup pintunya lalu beranjak ke depan membuka pintu kemudi untuknya sendiri. Kaca mobil di depan Zizi terbuka. Kepala pria itu melongok ke luar jendela.

"Kemari!" Pria itu menyuruhnya mendekat.

"Ada apa?" Tanya Zizi sambil membungkukkan tubuhnya.

Tangan pria itu meraih tulang rahangnya, menarik wajahnya lebih dekat lalu menempelkan bibirnya di bibir Zizi.


AUTORENGEDANKEN
Giralda_Blanca Giralda_Blanca

Hola, buenos días! [Hai, selamat pagi!]

Aku penasaran sama responmu tentang cerita Zizi dan Andres. Tolong sempatkan berkomentar ya, meskipun satu kata atau satu emoticon ^^

Muchas gracias [Terima kasih banyak]

next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C10
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen