App herunterladen
1.09% Elbara : Melts The Coldest Heart / Chapter 4: Pergi Menjemput Alvira

Kapitel 4: Pergi Menjemput Alvira

El menaikkan motor besarnya disusul oleh Mario dan Reza yang melakukan hal yang serupa dengan dirinya.

"Kita jadi mampir gak, El?"

Tanpa menjawab pertanyaan Mario, Ia langsung saja melajukan motornya. Seakan-akan sudah mengerti dengan tindakan El, mereka berdua segera mengikuti motor cowok itu dari belakang tanpa basa-basi sedikitpun.

Mereka memang berencana mampir ke kedai kopi yang dirancang khusus sesuai dengan desain yang El inginkan. Ah iya, pemilik kedai tersebut adalah Uncle-nya El jadi bisa dengan bebas request desain yang diinginkan cowok satu ini.

Jarak dari SMA Adalard ke kedai Kopi Del'i memakan waktu hanya sekitar 10 menit lamanya, tidak jauh dan juga tidak terlalu dekat, jarak standar apalagi bagi para pengguna motor. Setelah sampai di sana, mereka langsung saja memesan tempat yang sering di tempati. Dan sekali lagi, tempat itu hanya di khususkan untuk dirinya bersama para sahabatnya yang berada di pojok ruangan. Sekeren itu? tidak, ini terasa biasa saja bagi El.

"Uncle mana, Han?" tanya El pada salah satu pelayan yang sudah dianggap dirinya sebagai orang kepercayaan yang sudah sangat membantu mengolah kedai ini membuat perlahan demi perlahan keuangan hasil jual meningkat.

Rehan Erlangga, cowok dengan postur tubuh yang sedikit kurus namun lumayan tampan, berumur 5 tahun di atas El itu mulai memusatkan perhatiannya. "Biasa, lagi pergi keluar nurutin istrinya belanja." ucapnya dengan terkekeh kecil, seolah-olah sudah biasa akan hal ini.

El hanya sedikit tersenyum simpul, dengan kepala yang mengangguk. "Pesanannya kayak biasa ya, Han." ucapnya, lalu menolehkan kepala ke arah kedua sahabatnya. "Lo berdua mau minum apa?"

Mario menyandarkan tubuh pada sofa empuk yang kini telah menyapa permukaan punggungnya, seolah-olah berkata jika dirinya tidak boleh bangkit dari sana. "Kasih gue racikan kopi yang terbaik ya, Han. Inget ya jangan manis-manis karna gue udah manis, perlu lo catat." ucapnya dengan nada songong namun tentu saja dibuat-buat karena kini dia tengah mengulum sebuah senyuman menggelikan.

"Mimpi lo." ucap El sambil melepaskan tas dari punggungnya, lalu ia melakukan hal yang sama seperti Mario, bersandar di sofa. Astaga nikmat sekali setelah hampir setengah hari dirinya menghabiskan waktu di sekolah akhirnya bisa merasakan tempat duduk empuk seperti ini lagi.

"Jahat lo El, gue kan emang manis apalagi banyak banget cewek yang nempel ke gue." balas Mario.

El melirik sahabatnya yang satu itu, lalu berdecih kecil. "Bangun, udah sore bukan siang lagi." ucapnya dengan nada datar.

Mendengar perkataan Mario pasti tidak akan ada habisnya. "Kalau gue, gue mau kopi yang rasanya manis kayak ucapan dia yang bilang sayang banget tapi lebih milih pergi tanpa alasan yang jelas." ucap Reza yang ternyata memiliki otak sebelas dua belas dengan Mario, baiklah mereka dua insan yang memang tidak ada bedanya. Sama-sama tukang galau, suka tebar pesona pula tapi sampai detik ini belum memiliki pacar.

El menaikkan sebelah alisnya, sedangkan Mario dan Rehan sudah menahan tawanya berusaha untuk tidak kelepasan supaya tidak mengganggu pengunjung lainnya.

"Kenapa jadi bucin lo? di PHP in cewek lagi ya? kasian banget ganteng-ganteng gak laku, disia-siain cewek mulu ih miris." ucap Mario dengan nada meledek. Ia mengambil napas dalam-dalam supaya tidak berlanjut sampai tertawa terbahak-bahak, bisa-bisa ia ditendang keluar kedai oleh El.

Reza menatap Mario dan Rehan secara bergantian dengan kesal, ia merasa di nistakan oleh kedua sahabatnya. "Ngambek ajalah gue daripada dinistain mulu disini sama lo lo pada, males gue."

Rehan menyudahi kekehannya, sangat menggelitik. "Yaudah ini jadinya lo mau pesan apa, Za?" tanyanya berusaha kembali menetralkan mimik wajah yang sedari dari menahan tawa.

"Samain aja kayak El, gue penasaran sebenarnya selama ini yang dia minum itu apaan sih."

Rehan mengangguk lalu permisi meninggalkan mereka bertiga untuk menyampaikan orderan.

"Kepo lo jadi cowok." ucap El dengan ketus, ia kini menatap majalah yang memang di sediakan pada setiap meja, menampilkan foto Alvira di sampulnya. Ah ia lupa bilang jika adiknya sudah resmi menjadi model remaja di salah satu majalah terkenal di Indonesia, memang adik yang sangat patut untuk di banggakan.

"Alvira cantik banget deh, gue gebet boleh gak?" tanya Reza sambil menyilangkan kakinya.

Pada detik itu juga, El langsung saja menatap tajam ke arah Reza. "Nyari mati lo?!"

Mario menepuk pundak Reza dengan raut wajah prihatin miliknya. "Sabar ya, gue tau lo tabah menghadapi ini semua karena gak diizinin jalin kasih sama bidadari kayak Alvira soalnya lo kayak cowok comberan sih makanya El gak setuju." ucapnya dengan nada rendah seperti menirukan gaya seperti sedang menenangkan seseorang.

"Jauh-jauh lo dari gue, bau jengkol mulut lo." ucap Reza sambil mengibaskan tangan di hadapannya, seperti benar-benar terlihat jika Mario memang bau jengkol. Padahal tidak, itu hanya siasat dia supaya cowok ini berhenti untuk bertindak menyebalkan di muka umum. Ia takut jika dirinya khilaf malu-maluin El di kedai kopi milik Uncle-nya.

El menatap mereka berdua dengan tatapan yang sangat datar, astaga memang benar ya Mario dan Reza selalu mempunyai topik pembicaraan yang tidak pernah berujung. Bahkan dari hal yang bersangkutan ataupun tidak, semuanya di bahas tanpa ada titik terang.

Drtt...

Drtt...

El mengalihkan pandangan, menatap layar ponselnya yang kini menampilkan username 'Alvira' dan senyuman simpul hadir di permukaan wajahnya.

"Halo." ucap El sebagai salam pembuka.

"Halo Kak Bara? Kakak bisa jemput aku gak? Mobil aku mogok, aku gak bisa pulang. Mommy daddy aku telpon nomornya gak aktif, aku telpon Mang Ujang buat jemput tapi katanya dia lagi di tempat servis mobil." Terdengar suara Alvira yang benar-benar sangat ceria dari seberang sana.

"Kirim lokasi,"

"Masih di depan sekolah, nih Kak Bara... mana udah sepi gak ada orang lagi huft." Terdengar cengiran khas milik Alvira lalu beralih menjadi helaan napas ringan.

"Kenapa gak balik?"

"Ini kan hari Selasa, aku habis latihan ekskul dance, kakak lupa?"

"Hm."

"Jemput ya? Buruan, aku takut soalnya udah mulai sepi nih beneran deh aku gak bohong. Hati-hati dijalan ya, Alvira sayang kakak."

Pip

El mematikan sambungan telepon tanpa membalas ucapan Alvira, lalu mulai memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. "Gue cabut duluan," Ia mengambil tas hitam miliknya dan memakainya kembali.

Mario dan Reza mengangguk saja, lagipula mereka juga pasti tau ingin pergi kemana El saat ini. Mereka tidak pernah mempermasalahkan sifat cowok itu yang terlalu cuek bahkan kepada sahabatnya sendiri. Karena sifat seseorang tidak mudah untuk diubah, apalagi dari dalam hati El belum ada niatan untuk berubah.

Setelah keluar kedai dan berada di parkiran, El langsung saja melajukan motornya tanpa banyak basa basi lagi. Ia menutup kaca helmnya dengan tangan kiri, lalu memacu kecepatannya lebih tinggi lagi. Ia tidak pernah membiarkan Alvira sendirian tanpa pengawasan siapapun. Baginya, Alvira itu segala-galanya.

Tidak perlu memakan waktu lama, ia sudah sampai di pintu gerbang SMA Adalard. Ia mulai mengedarkan pandangan untuk mencari sosok yang beberapa menit lalu menghubungi dirinya.

Sampai kedua bola matanya melihat Alvira sedang mengobrol dengan seorang cewek yang tentu saja ia kenal. Dengan segera, ia melajukan motornya mendekati halte sekolah dan berenti tepat di depan kedua cewek itu duduk.

"Naik," ucap El pada Alvira ketika motor besarnya itu sudah berhenti.

"Kok cepet banget sih sampainya? kan aku masih ingin mengobrol sama Kak Nusa." ucap Alvira dengan senyum yang di tekuk. Lihat, padahal tadi ia sendiri yang bilang suruh buruan karena takut lingkungan sekitar sekolah sepi.

"Naik."

Alvira menghela napasnya. "Kak Nusa, nanti kapan-kapan kita ngobrol lagi ya. Aku udah di jemput nih, bye!" ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah Nusa yang kini menatap penasaran ke arah cowok yang mengendarai motor tersebut.

"Hati-hati ya, Ra." ucap Nusa sambil melambaikan tangannya juga, senyuman simbul tercetak jelas di permukaan wajahnya.

Dengan senyuman manisnya, Alvira yang sudah naik ke atas motor besar itu pun langsung saja memeluk tas milik El sebagai alat berpegangan untuk kedua tangannya. "Berangkat, bos!"

El langsung saja menepis tangan Alvira dengan lembut, lalu mengganti posisi tasnya menjadi tersampir di dada bidangnya ah tidak lebih tepatnya kedua tangan mungil itu di persilahkan untuk memeluk tubuhnya dari belakang. "Biar selamat," ucapnya dengan datar.

Alvira terkekeh. "Dasar modus!"

Setelah itu, El langsung saja melajukan motornya tanpa melihat ke arah Nusa yang menyimpan berjuta pertanyaan di dalam benaknya.

Kembali lagi pada El, ia melirik Alvira yang sudah menyandarkan kepala pada punggungnya. "Mampir ke kedai kopi Uncle, mau?"

"Pasti ada Kak Mario sama Kak Reza, ya?"

El hanya mengangguk saja walau ia yakin jika Alvira pasti tidak akan bisa melihatnya.

"Yaudah ayo, udah lama aku gak minum kopi di sana." ucap Alvira sambil menegakkan tubuhnya. "Interiornya masih sama kak? atau sekarang semakin instagramable? ah sampai sana pokoknya kakak harus potoin aku, gak mau tau! Titik gak pakai koma!"

El hanya mengangguk singkat, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menyenangkan hati sang adik.

Lihat? Perbandingan sifat mereka sangat jauh berbeda. Ibaratnya bisa di artikan seperti langit dan bumi.

"Kak, kakak kenal Kak Nusa?"

"Iya."

"Oh kirain gak kenal."

"Kenapa?"

"Gak apa-apa, aku gak cerita sama dia kalau Kak Bara itu kakak kandung aku."

"Bagus."

Alvira menaikkan sebelah alisnya, baru saja ia ingin bertanya tentang perihal 'bagus' yang dilontarkan El, Tiba-tiba terasa getaran dari ponselnya berada di saku bajunya menyita perhatian. Ia segera mengangkat teleponnya.

"Halo, Vira."

"Mommy? kenapa, Mom? kangen ya sama Vira? bilang aja deh iya!" Ucap Alvira sambil terkekeh kecil, berseru di atas motor adalah hal yang paling menyenangkan karena suaranya teredam hembusan angin.

El melirik ke arah kaca spion bagian kanannya yang memang sengaja ia arahkan ke belakang.

"Kangen dong, kamu lagi dimana? Maaf tadi mamah gak bisa angkat telpon dari kamu."

"Gak apa-apa Mom, aku udah sama Kak Bara. Mommy kan kerja untuk kita, supaya aku dicap jadi bos besar kayak Kak Bara."

"Bisa aja kamu. Yasudah hati-hati di jalan ya. Bilang sama Bara untuk tetap jagain putri kecil Mommy."

"Siap laksanakan, Mommy!"

"Lebih baik kalian langsung pulang saja. Mommy bawa banyak makanan untuk kalian. Love you."

"Yeay! Love you too, Mommy!"

Alvira kembali memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya, lalu menyampaikan apa yang dikatakan sang Mommy. "Kak, kata Mommy kita langsung pulang aja." ucapnya dengan bersemangat, bersemangat membayangkan makanan yang dimaksud oleh orang tuanya itu.

"Hm."

...

Next chapter


next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C4
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen