(Masih di dalam pesta)

"Pewarna rambut hitam, lensa mata coklat, gaun pink, sepatu pink, tas pink, topeng silver. Aku mau semua itu sudah ada padaku dalam sepuluh menit." perintah Mi Lover pada pria di sebelahnya dengan mata yang tertuju pada sosok Irene.
Thomas Addison, anak buah yang paling bisa di andalkan itu mengangguk paham. Pria itu juga menatap ke arah Irene. Well, jadi nona Mikhailova ingin menjadi Irene malam ini?
Ah, kita lihat saja. Apakah rencana Mi Lover berhasil atau tidak.
***
"Diego... aku ingin pie." suara merdu milik Irene terdengar begitu dekat di telinga Diego. Diego yang awalnya sibuk mengobrol dengan Sehun yang duduk di sebelahnya lantas menoleh, menatap Irene yang juga tengah menatapnya--bahkan sekarang Irene sudah memeluk lengannya.
"Aku ingin makan pie...." Irene mengeratkan pelukannya, menatap Diego bak anak anjing.

Diego tersenyum geli. "Baiklah. Kau ingin pie apa?"
"Apple Pie Mozarella!" pinta Irene semangat.
"Lalu minumannya?" tanya Diego lagi, terkekeh geli.
"Coklat panas!"
Sepuluh menit kemudian, di atas meja yang bertuliskan nama Diego dan Irene sudah tersaji Apple Pie Mozarella lengkap dengan coklat panas--seperti yang Irene mau. Irene memakannya lahap.


Diego tersenyum geli. "Memangnya seenak itu ya?"
"Kenapa? Kau juga mau?" tanya Irene ketus. Dia merasa Diego tengah mengejeknya. Namun...
"Suapi aku. Aku mau coba." pinta Diego kemudian membuka mulut.
"Tidak mau! Ambil sendiri!"
Diego mengangkat satu alis. "Kau harus. Itu bayaran untuk menyediakan makananmu kesini. Di pesta ini tidak ada pie, kau tahu?"
"Dasar penghitungan!" Irene merengut, menatap Diego jengkel kemudian menyuapkan potongan pie besar-besar ke mulut Diego. Penuh. Diego kesusahan, sementara Irene terkekeh pelan sembari melanjutkan makan.
Lalu lagu How Long Will I Love You terputar. Diego bangkit berdiri, mengulurkan tangannya kepada Irene. Irene mengernyit.
"Wanna dance with me?"

"W-what?"
"Dansa pertama kita. Kau mau?"
Irene tersenyum, mengangguk pelan. "Mau. Aku mau."
Irene meraih uluran tangan Diego, membiarkan Diego menghelanya ke bagian ruangan bebas dari kursi--sementara Christian langsung mendekat sembari membawakan topeng untuk mereka.
Diego menerimanya. Tersenyum. Kemudian memakaikan topeng itu ke wajahnya dan wajah Irene. Kini semua orang juga sudah memakai topeng dan berdansa. Diego dan Irene memulai dansa.
Mereka terus berdansa dengan dalam. Irene mengalungkannya lengannya di leher Diego, Diego merangkul pinggangnya, terus merapatkan tubuh mereka. Jantung Irene berpacu, berdebar keras. Perasaan yang belum pernah dia rasakan kini menghantamnya--membuatnya jatuh berkali-kali pada pesona Diego.
Irene melepaskan rangkulannya dari leher Diego. Berdiri canggung, hendak duduk ditempatnya lagi, namun Diego menahan tangannya, makin mendekat, membuat Irene mundur.
Diego tersenyum miring, lalu berbisik di telinganya. "What do you want, Irene?"
Irene ingin berbicara, tapi Diego sudah lebih dulu menarik dagunya hingga hidung mereka bersentuhan. Menatapnya lekat. "Just say. What do you want, Irene?"
"You." bisik Irene serak.
Diego tersenyum, langsung mencium bibir Irene.
Irene tidak bisa berpikir, kakinya lemas, rasanya seperti dia melayang karena ciuman Diego. Irene memejamkan mata, menikmati cara Diego menciumnya. Lembut dan penuh gairah. Tidak terburu-buru. Lebih dalam. Lebih larut. Sebelum kemudian napas Irene hampir habis, tanpa pikir panjang Irene menghentikan ciuman itu dengan cara menggigit bibir bawah Diego, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela, menyembunyikan wajah yang memerah. Sampai suatu saat, tanpa peringatan apapun pandangan Irene menjadi gelap.
Irene tertegun, begitu juga dengan semua orang.
Lampu mendadak mati. Semuanya gelap. Sangat gelap.
Irene langsung bergetar ketakutan. Tubuhnya menggigil... Irene takut gelap. Namun setelahnya, Irene tiba-tiba merasakan ada yang menarik tubuhnya--menjauhi Diego. Irene menjerit, tapi jeritannya tertahan. Mulutnya di bekap. Hidungnya mencium bau asing. Tapi bau itu mampu membuat kepalanya pusing. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Irene sempat merasakan tubuhnya di gendong, lalu disusul dengan suara serak milik pria. Irene bergetar, menatap ke arah pria itu. Mata biru. Tapi Irene tidak mengenalinya. Dia... bukan Diego.
Irene pingsan.
Lampu kembali menyala.
"Irene?" Diego melihat wanita di depannya, pandangannya terlihat khawatir. "Aku mencarimu sejak tadi. Kenapa kau melepaskan pelukanku?" bisik Diego sembari merengkuh pinggang wanita itu, lalu mengecup keningnya. "Apa kau takut?" tanya Diego lagi. Beberapa detik lalu Diego hampir mengira Irene-nya telah hilang, tapi syukurlah, Irene ada disini.
"Aku tidak takut. Hanya kaget saja. Ah, lebih baik kita lanjutkan dansa kita. C'mon!" kata wanita itu--terlihat antusias, langsung mengalungkan lengannya di leher Diego sembari tersenyum manis.
Diego mengerutkan kening. Setahunya Irene takut gelap. Irene tidak mungkin bisa 'setenang' ini setelah apa yang terjadi barusan. Aneh sekali.
"Kau sama sekali tidak takut?" tanya Diego.
Wanita itu mendongakkan kepalanya, menatap lekat-lekat mata biru safir milik Diego yang memandangnya hangat. Tatapan yang belum pernah ia dapat sebelumnya. "Tidak. Jika kau ingin tahu apa yang aku takutkan maka jawabannya adalah kehilangan dirimu. Diego... aku takut kau meninggalkan aku. Jangan pergi dariku, Diego. Jangan." lirih wanita itu.
Diego terdiam. Irene yang di depannya memeluk tubuhnya, menyenderkan kepalanya ke dadanya. Tangan Diego bergerak naik, naik perlahan, hendak membalas pelukannya, tapi... tiba-tiba saja ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Tangan Diego sontak berhenti. Seperti ada petir yang memarahi dirinya. Sesuatu yang menolak. Rasa asing. Dan... entahlah. Tidak jelas.
"Diego... kau berjanji tidak akan meninggalkanku kan?"
Lagi. Diego terdiam, hanya menunduk. Menatap ke arah bola mata coklat itu dengan dalam--memastikan. Warna matanya... hangat tubuhnya... gaunnya... topeng peraknya, semunya--benar-benar mirip dengan Irene. Diego berkali-kali meyakinkan jika wanita yang ia peluk sekarang adalah Irene. Irene yang ia cintai. Tapi kenapa Diego merasakan hal lain? Kenapa Diego malah merasa jika dia bukan Irene? Kenapa tangannya seakan menolak untuk menyentuh wanita ini?
"Diego? Kenapa diam saja?"
Sementara di sisi lain...
Seorang wanita yang baru saja memasuki lantai pesta itu dengan berani menembus keramaian. Melangkah mantap, tanpa ragu menerobos siapapun yang menghalangi jalannya. Biarkan saja, toh tempat ini adalah rumahnya. Tidak salah bukan?
"Ana!" seruan gadis di belakangnya membuat Annastasia Baumbach putri dari Hubertus Baumbach itu berhenti, langsung menoleh, melihat seorang teman kuliahnya berjalan mendekatinya.
"Maureen?!" Ana melotot, tampak senang sekaligus terkejut. "Kenapa kau bisa disini?" tanya Ana penasaran.
Maureen Johannson, seorang gadis asli Amerika itu menyunggingkan senyumnya. "Tentu saja menghadiri pesta keluargamu! Mana mungkin aku tidak datang ke pesta temanku sendiri, Ana?"
Ana tertawa, dia tidak menyangka teman sebangkunya datang kemari. Ah, senang sekali!
"Kau kesini sendirian?" tanya Ana setelah mereka berpelukan.
"Tidak. Aku bersama pacarku. Hans."
"W-what? Kau ganti pacar?" Ana terkejut.
"Hm. Begitulah." Maureen tersenyum malu.
"Haish!" Ana geleng-geleng kepala, tidak percaya jika Maureen bisa berganti pacar secepat ini. Hell, bayangkan saja, dua hari lalu Ana masih melihat Maureen berpacaran dengan Alex, tapi sekarang temannya ini malah sudah punya pacar baru.
"Coba jelaskan kenapa kau putus dengan Alex?!" tanya Ana, memicingkan mata.
"Dia playboy!"
"Serius?" Ana memasang wajah tidak percaya.
Maureen mengembuskan napas. "Ih! Serius, Ana! Alex itu tidak nakal, tapi dia brengsek." Maureen mengepalkan tangan. "Aku benar-benar tertipu olehnya. Bayangkan saja, Ana.... Alex berciuman dengan gadis lain di depan mataku. Dia berciuman dengan temanku sendiri." mata Maureen mulai berkaca-kaca.
"Astaga... ini gila." Ana menutup mulutnya. Tidak menyangka mendengar kisah cinta Maureen.
"Saat itu aku langsung menamparnya. Lalu gadis itu aku siram dengan air. Aku sangat marah, Ana. Aku kecewa." ucap Maureen lagi, kali ini dia menangis.
Ana jadi ikut sedih. Karena itu dia memeluk Maureen dengan erat. Mengelus punggungnya, membisikkan kata-kata penenang.
"Cinta itu memang rumit, Maureen. Kau tidak perlu menangisi pria brengsek itu. Dia tidak pantas! Air matamu terlalu mahal untuk pria yang murah. Alex pria yang murahan. Kau wanita baik, sudah sepantasnya kau berpisah dengannya. Dia tidak layak." ucap Ana, makin mengeratkan pelukannya, sementara tangis Maureen mulai berhenti.
Tapi, Ana tiba-tiba di kejutkan oleh sesuatu di depannya. Dia melihat seorang pria tengah menggendong wanita bergaun pink dengan gaya bridal melintas di depannya menuju pintu keluar belakang. Sontak hal itu membuat Ana melepaskan pelukannya. Tanpa mengatakan apa-apa Ana bergegas pergi mengikuti mereka. Rasa penasaran Ana sangat besar. Apalagi ketika dia melihat wajah wanita yang di gendong itu... sepertinya dia pernah melihatnya.
Sayangnya Ana tidak bisa mengikuti mereka karena beberapa saat kemudian dia malah menabrak seorang pelayan. Membuat pelayan yang sedang berjalan dan membawa makanan pun terjatuh. Nyaringnya suara pecahan piring tak terhindarkan, membuat pria yang tadi di kejar oleh Anna mendadak mempercepat jalannya.
"Tunggu! Jangan pergi!" teriak Anna. Sial. Pasti pria itu sudah menyadari jika dia tengah mengikutinya.
Semuanya pun terlambat. Pria dengan wanita bergaun pink di gendongannya itu benar-benar hilang.
Baiklah. Karena sudah pergi dan Ana tidak tertarik lagi, Ana pun memilih untuk membantu pelayan tadi.
"Maafkan aku. Aku tidak sengaja." Ana buru-buru duduk untuk membantu pelayan itu memunguti pecahan beling yang berserakan.
"Tidak, nona. Maafkan saya, saya yang tidak melihat-lihat. Maafkan saya, nona..." ucap pelayan itu dengan rasa bersalah.
"Bukan kamu. Tapi saya." ringis Ana, dia melirik pecahan beling di atas nampan pelayan itu. "Kalau begitu kau kembali bekerja saja, lain kali kau harus menghindar dari orang yang tidak lihat-lihat jalan ya?"
Pelayan itu tersenyum. Canggung. Baru kali ini dia berinteraksi dengan nona, dan ternyata sifat nona seperti ini--baik hati dan tidak sombong. "Tentu saja, nona. Permisi." pamitnya.
Ana mengangguk. Pelayan itu pun pergi, sementara Ana melihat ke arah pria itu menghilang. Ana berjalan lebih dekat lagi, dia memandang ke sekeliling. Astaga, gelap sekali. Ana takut gelap, karena itu dia tidak berani melangkah lebih jauh lagi.
"Aku harap wanita tadi baik-baik saja." gumam Ana.
Lalu, Ana kembali ke tempat dia bersama Maureen. Ternyata Maureen masih disana.
"Ana darimana? Kenapa tiba-tiba pergi begitu saja?" tanya Maureen bingung begitu Ana sudah ada di depannya.
"Aku melihat hal aneh. Ada seorang pria membawa wanita bergaun pink ke arah pintu belakang. Jika mereka ingin keluar, mereka tidak harus melewati pintu belakang kan?"
"Iya ya. Itu malah bikin orang curiga." komentar Maureen.
"Dan lagi. Jika pria itu tidak berniat jahat kenapa tidak lewat pintu utama? Kenapa dia langsung lari saat aku memanggilnya? Haish!Gerak-geriknya malah membuatku mengira pria itu sedang menculik wanita bergaun pink itu." ucap Ana tidak habis pikir.
"Wait... katamu gaun wanita itu berwarna pink?"
Ana mengangguk.
"Apa rambutnya berwarna hitam?" tanya Maureen, tiba-tiba syok.
"Iya. warna rambutnya hitam, berbeda dari kita."
Mendengar jawaban Ana membuat Maureen makin syok. Bahkan mulut Maureen sudah menganga lebar.
"Warna kulitnya? Putih bening?" tanya Maureen, memastikan.
"Iya."
"Astaga, Ana!! Aku kenal wanita itu!"
Ana kaget. "A-apa? Kau kenal?"
"Satu-satunya wanita yang memakai gaun pink hanya Bae Irene. Wanitanya Mr. Alvaro. Hans yang memberitahuku. Pacarku itu kan anak buahnya, Na." ucap Maureen.
"Bae Irene? Wanita yang sering muncul di berita itu?!" Ana makin syok ketika menyadari dia baru ingat sekarang.
"Iya!" jawab Muareen tegas.
"Astaga. Ini... ini gila. Kita harus melapor ke Mr. Alvaro." putus Ana.
"Oke! Tapi sebelum itu aku mau memberitahu Hans soal ini." kata Maureen, dia mengeluarkan ponselnya. Mencari kontak Hans, lalu langsung menelponnya.
"Hans. Kekasih tuanmu, Bae Irene. Dia.... dia di culik." lapor Maureen pada Hans di seberang sana.
•••
Lagu yang mengiringi dansa sudah habis. Acaranya pun berlanjut dengan makan malam bersama. Diego kembali ke mejanya bersama Irene di sampingnya. Masih mengenakan topeng. Sesuai peraturan, topeng tersebut tidak boleh di lepas sampai acaranya selesai.
"Kau ingin pie lagi?" tanya Diego sebelum meneguk vodkanya.
Bukaannya fokus dengan pertanyaan Diego, Irene malah menatap gelas yang di minum Diego. Menelan ludah. Irene ingin sekali meminumnya. Minuman favoritnya adalah Vodka.
"Tidak. Aku ingin minum vod--Ah, maksudku aku ingin segelas sirup." ralat Irene cepat. Astaga, dia hampir saja keceplosan.
Diego mengerutkan kening, merasa aneh lagi. Sungguh? Irene tadi ingin mengatakan ingin Vodka? Irene tidak pernah seperti ini. Dia sangat menjaga bayi di dalam perutnya. Dia pasti tidak akan minum itu.
"Baiklah. Pelayan!"
Diego memanggil pelayan dan memintanya membawakan segelas sirup. "Makanannya?"
"Steak dan salad buah." pinta Irene.
Mi Lover.
Satu kata. Diego langsung bisa membayangkan sosok Mi Lover. Sejak kecil... wanita itu suka sekali makan steak dan salad buah. Hell, kenapa Irene malah terlihat seperti Mi Lover?!
"Kau suka makanan itu?" tanya Diego, menatap Irene lekat.
"Iya. Suka sekali."
"Kenapa tidak memesan nasi goreng?" tanya Diego lagi. Sengaja memancing. Makanan ini adalah kesukaan Irene sejak kecil.
Irene menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "A-aku..." sial. Irene tidak tahu makanan itu.
"Itu makanan apa?" tanya Irene pelan.
Raut wajah Diego berubah. Datar. Tajam. Dingin. Rahangnya mengeras. "Itu adalah makanan kesukaanmu sejak kecil. Apa kau lupa?" tanya Diego, nadanya terdengar sinis.
"Ti-tidak! Aku hanya-"
"Cukup!" Dugaan Diego benar, sepertinya ada yang tidak beres. "Aku akan memesankan yang terkahir kali untukmu." ucap Diego, suaranya benar-benar dingin, sedingin tatapannya.
Drriing. Ponsel Irene tiba-tiba berdering. Irene mengalihkan matanya dari Diego dan menatap layar ponselnya. Dari Mr. X. Astaga, dia baru sadar jika dia berkeringat dingin. Terbukti dari telapak tangannya yang basah ketika menyentuh ponselnya.
"Diego... Aku mau mengangkat telponku dulu. Aku pergi sebentar." izin Irene sembari bangkit.
Diego hanya mengangguk, tapi matanya tidak menatap ke arah Irene--sibuk meminum vodkanya.
Irene melangkah pergi menuju tempat yang agak sepi. "Kau dimana?"
"Di pinggir Danau Alster. Aku baru saja menenggelamkan wanita itu."
Irene kw tersenyum miring. "Bagus. Bagus sekali."
Irene... kau harus mati. Mati! ucapnya dalam hati.
Sementara di sisi lain...
"Tuan." sapa Christian. Dia berdiri di samping Diego sembari membungkukkan tubuhnya, memberi hormat.
"Apa? Kau mau memberitahuku sesuatu, Chris?" tanya Diego dingin.
Christian menelan ludah. Dia memang ingin memberitahu sesuatu, tapi sepertinya Diego sudah tahu lebih dulu.
"Nona Irene..."
"Seharusnya jika kau tahu dia menghilang kau langsung menyuruh anak buahmu untuk mencarinya." Diego mencengkram gelasnya, matanya berubah tajam. "Kau sudah menemukannya, Chris? tanyanya lagi.
Christian menunduk takut. Matanya sempat melirik ke arah gelas yang di cengkram Diego, sangat kuat, sepertinya akan segera pecah melihat dari tangan Diego yang memutih.
"Sudah tuan, tapi..."
"Tapi apa?"
"Kami terlambat, Tuan... Nona Irene tidak mungkin selamat setelah sepuluh menit di tenggelamkan."
Kretak!
Benar saja. Dugaan Christian benar. Gelas itu pecah. Semua orang yang mendengarnya terkejut. Tapi darah yang mengalir dari tangan Diego lebih membuat mereka terkejut.
Diego bangkit, menatap Christian penuh ancaman. Mata Diego sudah berkilat menyeramkan. Dadanya bergemuruh. Rasa marah sudah naik ke permukaan. Diego ingin meledak, tapi dia tau tempat.
"Tangkap Irene palsu itu." perintah Diego tak terbantahkan. "Lucas ikut bersamaku, beritahu dia." perintahnya lagi--kelewat dingin.
Christian mengangguk paham. Dia menatap Diego yang melangkah pergi. Lelaki itu berlari. Sangat cepat. Seakan tengah mengejar sesuatu yang nyaris hilang.
"Tetaplah bernafas untukku, Irene. Ku mohon..." batin Diego frustasi.

To be continued.
Huhu:'((( Irene selamat gak ya??
Jangan lupa LIKE, KOMEN + SHARE ke temen kalian yaaa!
Terimakasih sudah membaca!
Okee... see you next time!
With♥️Ina.