"Sekarang kau pergi dari sini! Aku tak butuh sekretaris sepertimu." Syifa lantas menekan kepalanya di bawah kemudian melangkahkan kakinya ingin meninggalkan kantor milik Hali. Sebelum dia pergi, datanglah Erwin yang menghalangi jalannya.
"Syifa kau mau ke mana? Tetap di sini." Hali membulatkan mata dan mendekat pada Erwin.
"Papa, kenapa Papa suruh orang yang teledor ini untuk tetap di sini. Dia sudah membuatku kesakitan dan aku tak mau dia menjadi sekretarisku." protes Hali berpangku dada.
"Hali, bisakah kau menunjukkan kedewasaanmu. Dia hanya melakukan hal yang sepele, kenapa kau harus marah seperti anak kecil?"
"Karena dia tak sopan Pa, dia sudah memasuki ruang kerjaku ditambah kepalaku sakit karenanya." tukas Hali jengkel.
"Dia tak sengaja Hali, kalau pun dia masuk ke dalam ruang kerjamu bukankah sudah menjadi tugas sekretaris untuk mempersiapkan ruang kerjamu? Pokoknya Papa tak mau tahu kamu harus terima Syifa. Papa berhutang banyak pada gadis ini." Hali tak bisa berbuat apa-apa selain mendengus.
Dia lalu masuk ke dalam ruangan meninggalkan Syifa dan Erwin. "Maafkan Hali Syifa, dia selalu sepert itu pada orang asing tapi dia itu anak baik."
"Iya pak, saya mengerti. Terima kasih juga karena sudah membela saya."
"Kau pergilah bekerja lagi."
"Baik pak." Syifa lalu berjalan melewati Erwin yang membuang napas kasar. Hali seperti Mamanya yang keras kepala.
Di ruang kerja Hali, pria itu menampakkan wajah masam saat dirinya menelepon Arwan. "Halo, Arwan."
"Halo, Hali. Kau kenapa terdengar kesal seperti itu? Apa ada masalah?" tanya Arwan dari balik telepon.
"Kau datang saja ke kantor, aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Tak pake lama!" Dia bisa mendengar Arwan mengeluarkan decak.
"Iya, iya aku akan datang." Telepon dimatikan. Hali berharap Arwan akan datang lebih cepat.
❤❤❤❤
Sesampainya di perusahaan milik Ayah Hali, Arwan langsung menuju ruangan Hali. Di sana dia terkejut melihat sosok wanita yang pernah bicara dengan Erwin. Kenapa wanita itu ada di sini? Apa dia bekerja juga di perusahaan ini?
Syifa menyadari tatapan aneh dari Arwan dan dia merasa tak enak jika dipandang terus maka dia berinisiatif untuk bertanya pasa teman Hali itu. "Apa anda mencari Pak Hali?"
Arwan mengerjapkan matanya kemudian mengangguk. "Dia ada di ruangannya," lanjut Syifa sopan.
"Terima kasih."
"Sama-sama pak." Dia lalu mendekat dan mengetuk pintu. Tak lama setelahnya pintu terbuka dan muncul Hali.
"Ayo masuk." perintah Hali pada Arwan.
Begitu Arwan masuk, pintu ditutup dengan kasar sehingga suara yang ditimbulkan cukup keras. "Ada apa? Kok emosi begitu."
"Sekretaris baru itu ... Dia menyebalkan." Alis Arwan mengerut.
"Maksudnya?"
"Tadi pagi dia membuat aku menabrak pintu ruang kerjaku sendiri. Sampai sekarang pun aku masih merasakan sakitnya." Bukannya prihatin, Arwan malah tertawa keras. Di dalam otaknya, dia berpikir tentang situasi saat itu pastinya lucu sekali.
"Hei, aku curhat padamu untuk kau dengar dan memberi masukan ini kok kau tertawa, tak lucu tahu!" protes Hali seraya mengerucutkan bibirnya jengkel.
Arwan langsung menghentikan tawanya. "Lalu? Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Papaku, dia bersikeras agar si sekretaris itu bekerja denganku." Mata Arwan mengerjap, ah benar juga. Dia melupakan sesuatu.
"Hali, aku lupa mengatakan padamu tentang wanita itu dan Ayahmu, aku melihat kemarin mereka berdua tengah berbicara di depan rumahmu dan aku yakin dia wanita yang aku lihat."
Hail membulatkan mata. "Wa-wanita itu? Apa kau yakin dia bicara dengan Ayahku?" Arwan mengangguk.
"Di rumahku?" Sekali lagi Arwan mengangguk.
"Bagaimana bisa dia tahu rumahku atau ...." Hali menghentikan perkataannya karena berpikir. Dia lalu memandang pada Arwan dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ayo kita memata-matai Ayahku dan perempuan itu."
❤❤❤❤
Jam kerja usai, Hali dan Arwan terus memperhatikan gerak-gerik Syifa yang menunggu sesuatu di halte terminal. Tak jauh darinya ada dua sosok yang terus mengawasinya. Jantung Hali berdebar dengan cepat. Pikirannya terus berkelabat akan hubungan Syifa dan Ayahnya sampai mobil milik sang Ayah berhenti tepat di depan Syifa.
Hali seperti disambar petir melihat Erwin keluar dan tersenyum. Wajahnya berubah murung. "Jadi itu benar, pantas saja Ayahku itu selalu membela dia rupanya dia itu orang ketiga dalam rumah tangga kedua orang tuaku."
Arwan hanya membuang napas kasar dan menepuk pundak Hali. Keduanya berbincang sebentar dan setelahnya Syifa pun masuk. "Hali, kita bisa berhenti di sini jika kau mau."
Namun Hali menggeleng dengan tegas. "Kita harus tahu di mana wanita yang tak tahu diri itu tinggal. Cepat, sebelum kita kehilangan jejak mereka." Secepatnya mereka masuk ke dalam mobil milik Arwan mengikuti mobil Erwin dengan jarak yang aman.
Hali mengerutkan dahinya melihat jalan yang dilewati bukanlah jalan yang asing bagi Hali. "Hali bukankah ini jalan menuju rumahmu?" Benar saja mobil Erwin masuk ke pekarangan rumah kediaman Singgih.
Arwan memparkirkan mobilnya di luar rumah. Dari tempat mereka berdiri terlihat Syifa keluar lalu pergi menuju gudang belakang. Hati Hali mendidih melihat itu. "Sialan, wanita selingkuhan Papa tinggal di rumah kita! Tak bisa aku biarkan!?"
Hali lantas masuk ke dalam pekarangan rumahnya sendiri diikuti oleh Arwan yang berusaha menenangkannya. Tapi apalah daya amarah Hali sudah berada di ubun-ubun jadi dia tak memperdulikan omongan Arwan.
Pada akhirnya, Hali mengedor pintu dengan kasar. "Iya sebentar," Napas Hali makin memburu. Dia pun membuka kenop pintu dan memasang wajah amarah.
"Syifa keluar kamu!" Mendadak terdengar suara tangis dari seorang bayi. Hali menurunkan pandangan dan terkejut melihat sesosok balita dengan mata berair dan hidung yang mengeluarkan ingus.