"Sekali lagi maaf," ucap Ardhan lagi tapi tak dihiraukan Rendra. Ardhan hanya bingung dengan sikap Rendra yang tak bersahabat itu. Seolah dirinya adalah musuh hingga sikapnya tak suka pada Ardhan.
Rendra hanya mendengus kesal dengan memberikan tatapan tajam pada Ardhan tanpa mengucap sepatah kata pun.
Ardhan merasa aneh dengan sikap orang yang baru ditemuinya itu. Dia merasa kalau Rendra seperti memasang wajah permusuhan dengannya. Padahal ini awal bertemu.
"Dia kenapa si? Sensi banget liat aku?" batin Ardhan lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang rawat Bapak nya.
-------------
"Bu, Ibu ada kenalan pemilik kebun lagi gak?" tanya Ardhan di sela menunggu Bapaknya istirahat.
"Memang kenapa Dhan?" tanya Ibu Sakinah tanpa menjawab pertanyaan Ardhan.
"Huffftt Ardhan lagi pusing, Bu. Calon pemasok kebun yang Ardhan temui membatalkan kerjasama sama Ardhan. Alasannya, kebunnya sudah dibeli orang dengan harga yang sangat tinggi," jelas Ardhan seraya menghela nafas berat.
"Kok bisa gitu ya?" tanya Ibunya ikut heran.
"Entah, Bu. Kemarin itu hari yang amat melelahkan dan penuh dengan kepusingan Bu?" ucap Ardhan tanpa memberitahukan tentang masalah penipuan reservasi di Cafe nya. Ardhan tak ingin membuat Ibunya khawatir.
"Kamu yang sabar ya, Dhan. Orang berbisnis itu banyak cobaan dan rintangannya. Tapi dengan begitu Ardhan jadi bisa belajar. Dan menjadikan hal itu pengalaman untuk masa depan," nasihat Ibunya pada Ardhan.
Sakinah merasa Iba dengan Ardhan. Di usia nya yang masih sangat muda Ardhan sudah berusaha menggantikan peran Bapaknya. Dengan bantuan Ardhan usaha Bapak Ibunya bisa sampai sekarang ini. Ibunya merasa bangga dengan putra sulungnya. Dia anak penyayang keluarga dan tak pernah membantah orang tuanya. Dan berharap Ahsan, adik Ardhan akan mengikuti jejak Putra sulungnya tersebut.
"Buk, Kak, besok Ahsan ada acara di kampus. Acara camping gitu buat penyambutan mahasiswa baru," ucap Ahsan yang tiba-tiba ikut nimbrung antara Kakak dan Ibunya.
"Berangkat jam berapa Dek?" tanya Ardhan.
"Cckk... Udah dibilang gak usah panggil dek kali kak. Ahsan udah gede," ucap Ahsan kesal pada kakakanya.
"Diihh, ditanya kok malah sewot. Ya, kan emang adeknya kakak, masa dipanggil Om?" Ledek Ardhan yang membuat Ahsan kembali berdecak.
"Cckk. Dibilangin juga. Besok Ahsan Berangkat pagi, Bu. Tapi gimana ya Bapak kan lagi sakit," keluh Ahsan menundukkan kepala.
"Ya, emang kenapa sama Bapak? Orang udah ada Ibu sama kakak yang jagain kok. Udah kamu fokus sama sekolah aja, Dek," ucap Ardhan lagi dan Ibu nya hanya tersenyum dengan Kakak beradik itu.
"Hmmmm anak-anak Ibu sudah besar. Kalian saling akur ya sampai nanti-nanti. Meski Bapak Ibu gak ada lagi. Kalian jangan bertengkar," ucap Ibu Sakinah sendu sembari memeluk lengan Ahsan dan mengusap bahu Ardhan.
"Ibu kok ngomong gitu?" ucap serempak kakak beradik itu. Ibu Sakinah tersenyum menanggapi.
"Umur seseorang gak ada yang tahu, Nak. Kapan saja Bapak atau Ibu pasti meninggalkan kalian semua," Ibu Sakinah mulai meneteskan air mata.
"Kami tahu, Bu. Kematian tak akan bisa dihindari. Tapi bisakah saat masih hidup sehat tak usah membicarakan hal itu, Bu? Biarkan kita menikmati kebersamaan kita. Sanpai maut yang memisahkan. Saat itu tiba, biarkan kami mengenang kenangan indah kita, sekalipun dengan tangis. Sekarang kita berdoa agar kita diberkahi umur yang panjang. Dan bisa hidup bersama selama sisa umur kita," jawab Ardhan bijak.
Ibu Sakinah dan Ahsan mengangguk bersamaan, dan saling memeluk kedua Anaknya. Usia nya telah senja. Tak mungkin bisa selamanya bersama kedua Anaknya.
******
Anaya hendak mencari makan di kantin. Sudah ada dua penjaga yang disiapkan Rendra di depan kamar rawat Ayahnya. Ia melangkah menuju kantin, menunggu Ayahnya di rumah sakit ternyata melelahkan juga dan lagi perutnya sekarang tak bisa diajak kompromi. Semenjak di rumah sakit Anaya tidak selera makan. Dari kemarin mungkin hanya sekali makan dalam sehari, itu pun sangat sedikit, padahal Rendra sudah menyiapkan semua makanan untuk Anaya, tapi jarang disentuhnya.
Anaya sudah memilih makanannya, niat hati ingin makan dengan nyaman di kantin. Tapi dia urungkan karena di pintu seberang, ia melihat Ardhan sedang memilih menu disana. Anaya berbalik badan.
"Kenapa ada Ardhan disini??" monolog Anaya sendiri. Ia segera meminta waitress disana untuk membungkus makanannya. Lalu segera beranjak pergi dari sana. Saat menoleh lagi pandangan Ardhan dan Anaya bertemu hanya sebentar. Karena Anaya segera mengalihkan pandangan dan berlari keluar kantin. Ia tahu Ardhan mengerjarnya. Tapi Anaya masuk kedalam toilet. Saat melihat Ardhan sudah berlari melewatinya. Anaya menghembus nafas lega.
Saat pandangannya menoleh ke sekitarnya. Banyak pandangan mata tak enak didepannya. Para lelaki memandang aneh kearahnya. Anaya bingung. kenapa banyak lelaki di toilet? Ia mengedarkan pandangannya mencari sebuah tulisan.
FOR MEN.
Tertulis huruf besar semua dengan tanda gambar lelaki. Anaya menepuk jidat dan segera berlari keluar. Stupid.
*****
Keesokan harinya.
Ardhan sedang memapah Bapaknya yang hendak ke kamar mandi. Menuntunnya sampai ke kamar mandi, dengan membawakan selang infus ditangan sebelah kiri. Tubuh Bapaknya kini tak sekekar dulu saat Ardhan masih sekolah. Badan yang segar serta otot yang kuat, kini tinggallah badan yang kurus karena seringnya kesehatan yang kurang baik.
Raut muka Bapaknya yang dulu awet muda, kini sudah banyak garis halus serta rambutnya sudah mulai memutih. Itulah sosok yang memperjuangkan kehidupan keluarganya, mengentaskan keluarganya dari kekurangan menjadi lebih dari berkecukupan hingga sekarang.
"Gimana kerjaannya, Dhan?" tanya Bapak sekembalinya dari kamar mandi.
"Alhamdulillah semua lancar, Pak," jawab Ardhan sekenanya.
"Ibumu udah cerita sama Bapak tadi, Dhan. Katanya pemasok sayuran yang mau diajak kerjasama sama kamu batalin rencananya ya, Dhan" tanya Bapak yang diangguki lemah oleh Ardhan. Kini Ardhan duduk di kursi disamping ranjang rawat Bapaknya.
Sembari mengupaskan buah untuk cemilan Bapak. Ahsan sudah pergi camping di kampusnya, sedangkan Ibunya , Ardhan menyuruhnya pulang lebih dulu untuk istirahat.
" Iya, Pak. Doakan Ardhan dapat pemasok baru ya, Pak. Kalaupun belum ada, mungkin niat usaha bikin market sayuran segar ditunda dulu," jelas Ardhan.
"Dhan, dulu itu lima tahun yang lalu Bapak ketemu sama temen lama Bapak. Dia itu kayak mengultimatum Bapak agar anak Bapak katanya gak boleh deketin Anaknya. Saat dulu itu yang udah besar itu kamu, Dhan. Bapak pikir mana ada Ardhan deket sama perempuan," cerita Bapaknya yang membuat Ardhan menghentikan aktifitasnya mengupas buah.
Ardhan memandang Bapaknya, mendengarkan dengan seksama.
"Kemarin Ibumu itu cerita. Katanya dulu kamu pernah pacaran sama anak gadis yang akhirnya malah bubar karena kamu diajak nikah? Bener?" tanya Bapak yang diangguki Ardhan dengan menunduk sambil melanjutkan aktifitasnya.
" Kemungkinan masalah kamu di toko ada kaitannya dengan itu, Dhan. Waktu itu hubungan Bapak sedang gak baik-baik saja. Mungkin karena itu teman Bapak mengancam Bapak kalau kamu deketin Anaknya lagi, dia bisa lakuin apa aja," ungkap Bapak yang membuat Ardhan heran jadinya.
"Kenapa Bapak gak ngomong, Pak. Kalau Bapak diancam?" tanya Ardhan dengan geram.
"Bapak gak tahu persis masalah di Toko ada kaitannya dengan itu atau tidak. Tapi sebaiknya kamu hati-hati, Nak," nasihat Bapak pada Ardhan.
"Terima kasih, Bapak udah cerita. Ya, meskipun terlambat. Nanti Ardhan cari tahu dulu ya, Pak." Jawab Ardhan berusaha tenang. Meski hatinya menjadi kesal setelah mendengar cerita Bapaknya. Ardhan tak ingin Bapaknya ikut memikirkan masalah yang tengah menimpanya. Ardhan hanya ingin kesembuhan Bapak.
"Kamu sekarang udah dewasa, Nak. Kamu bebas menentukan pasanganmu. Perjuangkan apa yang mesti kamu perjuangkan. Tapi jangan memaksa kehendakmu jika memang dia tak berpihak padamu," pesan Bapak yang membuat Ardhan menghentikan aktifitasnya lagi. Kenapa Bapaknya bicara seperti itu? Seolah sangat tahu apa yang tengah menimpa anaknya. Yah. mungkin benar, setiap Orang tua bisa merasakan apa yang sedang dialami oleh Anaknya.
Dan benarkah Ardhan memaksakan kehendaknya untuk bisa bersama Anaya? Bahkan dia belum memulai apa-apa untuk kembali dengan Anaya. Apalagi masalah Toko dan Cafe, yang membuatnya pusing dan ditambah lagi sekarang Anaya entah dimana keberadaannya.
*****